Teater bagian dari seni yang menampilkan kompleksitas seni itu sendiri. Jarang sekali teater dianggap sebagai penampilan yang klise dan semata buang waktu ketika seorang penikmat hadir dan duduk menyimak di depan panggung. Teater selanjutnya dapat dipahami suatu perhelatan karya seni lengkap dan atraktif juga logis. Kelogisan pementasan teater itu sendiri dimulai dari penghadiran se-atmosfir mungkin dari sisi kenyataan kehidupan sang tokoh pemeran, berikut konflik, latar dan bahkan gaya bahasa sebagai ingatan bagi para penikmat/penonton.
Banda Aceh melakukan berbagai even pertunjukan karya pentas teater yang kian bergaung sejak awal 2015 hingga jelang akhir tahun tersebut. Perhelatan teater Aceh di pusat ibu kota provinsi Syariah ini menunjukkan kekuatan baru seni pementasan teater masa kini, terlepas kualitas apalagi kuantitas tidak menjamin kualitas itu sendiri. Nol adalah teater kampus yang sempat menghebohkan pada fase patut dicatat, penampilan Teater Nol lewat naskah “Ling-Lung” menghenyakkan ketika tanpa sadar Banda Aceh masih memiliki penikmat yang bisa dikatakan reaktif apresiatif terhadap apapun yang Nol tampilkan bagi penikmat teater di Aceh. Selanjutnya Teater Rongsokan Aceh juga melakukan hal yang sama, hanya saja pemangku kepentingan di masing-masing komunitas teater yang awalnya bernaung di wilayah Lembaga Perguruan Tinggi tersebut tentu memiliki kekhasan tersendiri dalam langkah dan perwujudan kiprah mereka.
Dalam pada itu muncul pula Prodi Teater ISBI Aceh yang menjadi pemain baru dalam perteateran di Aceh dengan sambutan luar biasa terkait para pemainnya itu sendiri adalah mahasiswa bidang seni pertunjukan teater. Mereka memang dipersiapkan menjadi seniman Indonesia dari Aceh, salah satunya yah seniman teater. Prodi Teater ISBI Aceh mengirim peserta ke Padang untuk sekaligus mewujudkan kerja akademik di sana. Selaku salah satu Institut Seni dan Budaya Indonesia, ISBI Aceh wajib melahirkan pementasannya, meskipun tingkat semester mahasiswa mereka masih berada pada awal-awal perkuliahan, tetapi tanggung jawab berpraktek teater telah dilakukan dengan mulus di luar sana.
Terkait perhelatan seni yang menumpuk jadwalnya pada bulan-bulan seni di Banda Aceh, ternyata tetap terjadi hingga akhir tahun 2015. Nol mementaskan “Meja Makan” naskah Z. Nurul Liza di Gedung Balai Kota-Banda Aceh, sekaligus pada malam yang sama, 5 Desember 2015 tersebut Prodi Teater ISBI Aceh mementaskan “Wageupap” naskah Teuku Afifuddin di lokasi teater outdoor Gedung Museum Tsunami Aceh. Tidak dapat dihindarkan, penonton yang ingin sekaligus menikmati dua pementasan tersebut harus mengorbankan salah satunya.
Ibrahim Sembiring Meliala seorang peneliti sastra dari Kementerian dan Kebudayaan Balai Bahasa Provinsi Aceh menelpon penulis mempertanyakan hal terkait terbenturnya dua acara pementasan tersebut sekaligus, apakah lantas fungsi Silter (Silaturahmi Teater) yang dilakukan selama ini belum mampu menjadi wadah komunikasi antar penggerak teater di Banda Aceh, sehingga persoalan benturan jadwal dua acara tersebut sampai terjadi demikian? Terlepas hal demikian, pendapat tentang perlunya manajemen pagelaran pertunjukan kesenian pernah disampaikan dalam salah satu esai yang dimuat oleh Moritza Thaher yaitu hikayataceh.com.
Terlepas dari persoalan tersebut, pementasan teater diharapkan mampu terus menggeliat, para seniman teater juga harus mewujudkan kiprahnya dalam kondisi perteateran yang kian membaik selama ini. Hal ini masih menjadi pekerjaan rumah bagi komunitas teater untuk dapat saling sinergi melakukan pergerakan teater yang efektif dan konsekuen. Mahdalena Mustika dalam suatu tanggapan esai Muhrain “Pengkaji Seni, Perlukah?” HikayatAceh menyatakan: beberapa kali pementasan teater dipanggungkan secara tunggal dengan penerapan manajemen pertunjukan yang baik dan bukan sempilan, jelas terbukti padat penonton… kuncinya adalah manajemen pertunjukan dipakai atau tidak?
Senada dengan hal tersebut, manajemen pertunjukan merupakan wilayah yang menjadikan teater sebagai seni dapat diapresiasi secara layak dan bertanggung jawab. Keberadaan penonton penting pula mendapat perhatian para penggagas pagelaran teater, karena penonton adalah bagian dari pertunjukan teater itu sendiri, sama halnya ketika karya seni sastra puisi, apabila antologi puisi semakin ramai dicetak dan diperbanyak namun manajemen pembaca tidak diperhatikan maka yang terjadi adalah karya tanpa penikmat, tulisan tanpa pembaca, terkait teater tanpa penonton. Sehingga dengan demikian, setelah suatu kehidupan sastra dan seni semisal teater ingin melangsungkan penghelatannya, maka penghayatan dan apresiasi terhadapnya harus pula dibangun secara seksama bersama-sama para pelaku dan pekerja kesenian tersebut.
Pengalaman banyaknya benturan jadwal pementasan teater terjadi pula dalam berbagai masa sebelumnya. Hal ini semata-mata dapat dianggap sebagai dua sisi sekaligus, bernilai positif sekaligus negatif. Penonton harus memilih hendak menonton pementasan yang mana, dengan mengambil yang satu dan mengorbankan yang lain. Tentu ini sangat merisaukan bagai penikmat teater itu sendiri. Seandainya di malam yang sama penonton hanya menonton Nol mentas dan meninggalkan Prodi Teater ISBI Aceh mentas, dengan alasan cuaca lebih mendukung menonton dalam gedung daripada luar gedung, hal ini pun tidak dapat memenuhi alasan yang ideal, sebab di saat yang sama, ketika Prodi Teater ISBI Aceh sebagai lembaga pendidikan teater membeberkan karya mereka di awal-awal tahun pendirian Institut Seni tersebut, penonton sangat antusias menyambut kehadiran mereka mentas meskipun di tengah hujan gerimis yang membasahi tempat duduk setengah lingkaran tersebut. Para penikmat teater harus kecewa di saat justru terjebak dalam jadwal yang bentrok keduanya.
Apresiasi Terhadap Dua Pementasan
Teater Nol dalam naskah “Meja Makan” mempertontonkan kritik mendasar terhadap dunia kekerasan perempuan, sebagai tematik acara yang ikut menghadirkan mereka untuk mementaskan pertunjukan tersebut. Penonton dengan tekun mengikuti sejak awal dialog antar tokoh berlangsung. Usungan tematik yang cukup berat tersebut pada akhirnya dijawab lewat pertunjukan realis, Teater Nol Unsyiah Aceh melaksanakan pementasan semata-mata mengarahkan penonton untuk mampu menghargai perempuan, namun adegan-adegan yang berlangsung dalam pementasan mereka justru mempertontonkan kekerasan terhadap perempuan, bagi seorang Gading Hamonangan, hal tersebut tentu belum tepat sasaran. Ketika untuk mengkampanyekan anti kekerasan kepada perempuan lantas justru mempertontonkan “kekerasan/adegan” di hadapan para penonton yang sedang bersiap menikmati pembelaan-pembelaan terhadap kaum perempuan, namun takpelak justru kekerasan ikut hadir dalam pementasan bertajuk “Meja Makan” tersebut. Sampai-sampai salah seorang anak kecil yang dibawa ibunya menangis histeris melihat adegan kejamnya tokoh suami terhadap tokoh istri di adegan tamparan dan perlakuan melibas “perempuan” dengan tali pinggang. Ironis.
Prodi Teater ISBI Aceh dalam pementasan mereka malam itu menurut Ibrahim Sembiring Meliala sudah berhasil menampilkan denyut penokohan berikut hukum-hukum panggung yang melingkupi unsur pertunjukan/pementasan, hanya saja menurutnya, antar satu adegan dengan adegan berikutnya masih dibutuhkan movement dialog yang tepat waktu, sehingga penonton tidak dibiarkan menunggu terlalu lama aksi dialog antar dialog pemainnya. Terlepas dari itu, animo keikutsertaan penonton dalam mengekspresikan Wageupap sebagai tontonan segar dan penuh intrik lucu dan menghenyak kesadaran penonton secara atmosfir pementasan selanjutnya dapat dipakai sebagai evaluasi bermakna bagi perjalanan pertunjukan ISBI Aceh di kemudian hari. Kebutuhan-kebutuhan penikmatan oleh penonton telah mencapai kepada kesadaran naskah agar tidak sampai membicarakan hal yang tak ada kaitannya dengan kehidupan masyarakat Aceh sebagai penikmat utama pertunjukan teater di Aceh itu sendiri, sebab interpretasi pertunjukan pada akhirnya harus melahirkan makna yang mendalam bagi penikmat.
Seiring batasan-batasan pencapaian yang diraih oleh dua komunitas teater tersebut, siapapun penonton tidak ambil peduli siapa yang mementaskan, dari asal mana pemain dan pekerja teater tersebut berasal, sebab hukum pertunjukan bagi seorang penonton yang awam dan terdidik sekalipun, pertunjukan teater harus menghibur dan paling tidak mampu melahirkan kebergunaan, sehingga basah melintasi hujan dan kehilangan momen menonton kedua pementasan itu sekaligus harus terbayarkan. Tanpa penonton tidak akan berguna segala yang mereka perankan baik di atas pentas maupun di luar pentas.
Muhammad Rain adalah Peneliti Teater, Kritikus Puisi, Guru/Dosen Sastra, Pembina Asosiasi Guru Penulis Indonesia Provinsi Aceh.