Dewasa ini kita dihebohkan dengan suguhan sumpah-serapah, dari berbagai ranah, lintas generasi, hingga sekaliber tokoh sekalipun. Sampai-sampai, headline media pun ikut-ikutan memeriahkan kata-kata kotor dengan maksud (mungkin) untuk memancing animo masyarakat agar mengikuti perkembangan berita yang didalamnya memuat fenomena berupa tren dengan penggunaan kata maupun kalimat bergenre sarkas.
Entah kenapa, pengunaan diksi, kalimat, bahasa maupun ucapan yang demikian menjadi objek yang amat menjual akhir-akhir ini. Masih segar dalam ingatan kita, betapa hebohnya ‘pungo’ sampai ‘sesat’. Meski sekup kedua kata tersebut tidak bermazhab teumeunak, tetapi masih dalam aliran yang sama; sumpah-serapah. Terlepas daripada tujuannya baik, anggaplah untuk saling menginggatkan. Cuman, penulis mencium gelagat adanya unsur kesegajaan. Menggunakan kata kontroversi (mungkin) dengan bumbu sensasi yang pada muaranya menciptakan kehebohan.
Dalam narasi sumpah-serapah, sesungguhnya setiap entitas memiliki lagamnya masing-masing. Baik itu negara, provinsi, suku, daerah, hingga pada tingkat geografis; kita akan menemukan perbedaan sumpah-serapah antara orang yang berdomisili di sekitaran pinggir laut yang tingkat sumpah-serapahnya lebih fasih dan kental dalam pengucapan dengan kadar frekuensi yang lebih sering. Dibandingkan dengan orang-orang yang bermukim di daerah pegunungan yang kadar sumpah-serapahnya agak melengking dan nyaring. Untuk tingkat daerah, juga memiliki khasnya masing-masing. Di Jakarta kita akan akrab dengan kata ‘bajingan’, Bandung (Sunda) dengan ‘pikaanjingeun’, Jawa Timur dengan ‘jancuk-nya’, dan masih banyak daerah lainnya dengan segudang pembendaharaan sumpah-serapah.
Timbul pertanyaan, lantas bagaimana dengan Aceh? Narasi sumpah-serapah Aceh dikenal dengan sebutan ‘teumeunak’ yang di dalamnya terhimpun banyak kata maupun kalimat kotor semisal: ‘jak oek leumo’, ‘jak pap ma’, ‘puko ma’, ‘jak oek ku’. dll, dst. Dalam kehidupan masyarakat Aceh, teumeunak sudah menjadi budaya yang mau tak mau harus kita akui. Apakah ini buruk? Jawabanya relatif, tergantung dari sudut pandang mana ingin dilihat dan sisi mana hendak dibedah.
Hemat penulis, teumeunak sebenarnya adalah seni emosional masyarakat Aceh itu sendiri, ketika hendak menyuarakan, menggambarkan, atau menyampaikan sesuatu hal. Meski teumeunak lebih banyak konotasi negatifnya, tetapi tidak semua teumeunak dialamatkan untuk sesuatu yang berunsur kejengkelan maupun letupan emosi. Tak jarang, terkadang sangking senang sekalipun, teumenak sering dilontarkan. Sebagai contoh: seorang supoter sepakbola kala menyaksikan gol indah tercipta, ia akan bersorak sembari teumeunak: pap ma! lagak that ie peulop bola.
Jadi, teumenak dalam narasi sumpah-serapah masyarakat Aceh tidak serta merta menjadi acuan untuk menjudge bahwa semuanya salah/buruk. Terlepas bahwa penggunaan bahasa dengan muatan makna tak jauh dari rasis, selangkangan, hingga urusan intim. Namun, perlu diingat bahwa teumeunak memiliki porsi tersendiri yang harus dipahami. Jika sudah keterlaluan, ia akan mendatangkan malapeka. Bukankah sesuatu yang berlebihan itu tidak baik? Bahkan, sering endatu kita berpesan: bek tiga that teumenak, kufo keuh entrek.
Teumeunak dalam kadar tertentu dapat dimaklumi, ini bukan berarti pembenaran. Akan tetapi, menjadi tidak elok bila sudah melewati batas. Yang batasan sumpah-serapah itu sendiri mempunyai kelemahan; ia tidak memiliki standar yang jelas sebagai acuan tolak ukur. Ini menyangkut tetang bagaimana kebiasaan suatu komunitas, daerah, hingga individu. Dalam komunitas nelayan misalnya, teumeunak sudah menjadi keseharian, juga kita akan akrab dengan hal yang sama di daerah pingiran laut. Bahkan, untuk level individu bertambah bias. Seorang individu yang bukan siapa-siapa, bila ia kerap kali menyampaikan sumpah-serapah, sepedas apapun itu, akan menjadi biasa saja dan tidak mengundang reaksi berlebihan dari mayoritas masyarakat. Kalaupun ada, paling hanya satu dua orang yang menegur. Tetapi, jika yang melakukannya adalah tokoh, ini berbahaya! Kenapa? Karena tokoh adalah tauladan yang setiap gerak-geriknya diperhatikan hingga ditiru banyak orang. Meski kemudian ada dalih yang mengatakan tokoh juga manusia biasa, benar memang. Namun, perlu dicatat, ketika seorang individu sudah ditokohkan atau menjadi tokoh, konsekuensinya adalah privasinya sudah tidak sama dengan privasi non-tokoh. Kalaupun tetap ngotot dengan asumsi bahwa seorang tokoh punya hak atas dirinya sendiri, publik juga lebih punya hak terhadap tokoh idolanya ataupun tokoh yang dibencinya. Itu perlu digarisbawahi.
Narasi sumpah-serapah senantiasa mengalami dinamika, baik secara pembendaharaan kata, kalimat, nilai, hingga tolak ukur. Kesemua itu menjadi kelebihan sekaligus kelemahan yang mewarnai khazanah kebudayaan (tutur) itu sendiri. Karena itu, kita perlu arif dalam merawat, mengawasi dan menjaganya. Jangan sampai generasi berikutnya tidak tau bahwa daerahnya memiliki khas sumpah-serapahnya tersendiri.
Arus globalisasi yang terus berderu menggerus zaman dengan segala daya tarik dan pengaruhnya, tidak luput pula dalam memberikan pengaruhnya terhadap narasi sumpah-serapah. Melalui industri perfileman misalnya, kata dan kalimat semacam: ‘fuck’, ‘fuck you’, hingga ‘fuck off’. Adalah kata maupun kalimat sumpah-serapah beraliran internasional. Hampir di segala belahan dunia, rasa-rasanya kata dan kalimat ‘fuck’ sudah menjadi hal yang tidak asing lagi. Sumpah-serapah impor ini paling sering dan manjur dikampanyekan lewat filem. Asimilasi budaya luar lewat corong sumpah-serapahnya, sesungguhnya telah berhasil memengaruhi generasi kita, tanpa terkecuali Aceh. Di warung kopi, penggunaan ataupun pengucapan kata ‘fuck you’ sudah lazim kita dengar dilontarkan oleh anak muda Aceh terutama yang berdomisili sekitaran kota, terlebih anak gaul. Entah sadar atau tidak, sengaja atau bukan, kenyataan seperti ini sudah bukan hal tabu di sekitar kita.
‘Fuck you’ seolah-olah memiliki kasta lebih tinggi dan diangap moderen lantaran terkesan meu-internasioanal. Padahal, atas nama sumpah-serapah sama saja kedudukannya, tidak mengenal embel-embel internasional, daerah, hingga individu. Tetap saja namanya sumpah-serapah. Persoalannya adalah meskipun konotasinya tidak baik, sumpah-serapah khas daerah tetap harus dikedepankan karena ini juga penting dalam merawat apa yang kita miliki. Masak mau ‘jak pap leumo’ kalah pamor dengan ‘fuck you’, yang teumeunak itu sendiri adalah tuan rumah di nanggroe endatu.
Akhrinya, kita berharap kiranya narasi sumpah-serapah tidak salah diartikan. Keberadaannya memiliki tempat tersendiri. Jangan asal-asalan, karena ketika sumpah-serapah tidak lagi mengenal batasan, kehadirannya hanya akan menimbulkan kegaduhan. Polemik yang terus bermunculan dewasa ini dengan isu publik yang kian seksi saja, telah merengut banyak waktu, tenaga, energi hingga fikiran kita semua. Dengan begitu, produktifitas menjadi menurun. Seharusnya banyak hal yang lebih substansi dan bermamfaat daripada hanya terus berkutat pada hal-hal yang lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaat. Sebagai bahan renungan, ada baiknya kita mengingat kembali sebuah petuah: “biasakan benar!, bukan membenarkan yang biasa”. Selain hati, fikiran serta akal sehat, sesungguhnya; lidah dan pena yan baik adalah dua hal yang membangun sekaligus merawat peradaban manusia. Bila keduanya terlalu liar, bersiaplah malapeka merajalela dimana-mana. Seburuk apapun narasi sumpah-serapah itu sendiri, satu hal yang pasti: ia akan terus hidup, ada, dan tetap akan mewarnai kehidupan manusia hingga akhir masa. Wallahualam.
Ichsan Maulana merupakan mahasiswa Jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas Syiah Kuala. Email: [email protected]