Beberapa hari belakangan, media sosial di Aceh dihebohkan dengan kemunculan video ceramah seorang ustadz muda asal Aceh dan dikenal kerap mengadakan zikir massal di sejumlah tempat. Video berdurasi beberapa menit itu, berlatar pada salah satu acara penting yaitu Milad GAM ke 39, Tak ada masalah pada permulaan video. Namun, memasuki pertengahannya, muncul sejumlah kata-kata yang dianggap tidak layak diucapkan oleh seorang tokoh agama panutan umat.
Lantas, video tersebut pun tersebar luas dan tak terbendung. Facebook menjadi tempat luapan kritikan, hujatan, dan sumpah serapah. Sebagian yang lain muncul berusaha membela sang ustadz yang saban hari lidahnya fasih melantunkan dan mengajak umat berzikir.
Tulisan ini bukan bermaksud mencari kesalahan atau pembenaran, apalagi menghukum sang ustadz lewat dalil agama atas tindakannya tersebut. Patut diakui, pada dasarnya setiap bahasa memiliki ragam dialektika. Kekayaan kosa kata menjadikan bahasa yang satu berbeda dengan lainnya.
Di Aceh, selain bahasa Aceh ada 13 jenis bahasa daerah yang tersebar di beberapa kabupaten/kota dan masih aktif dituturkan hingga sekarang. Bahkan di salah satu desa di Kabupaten Simeuleu, merujuk pada pernyataan Anies Baswedan pada kegiatan Kongres Peradaban Aceh beberapa hari yang lalu, terdapat satu kampung dimana masyarakatnya berbicara dengan bahasa yang berbeda dari bahasa Simeuleu pada umumnya.
Irama, ritme, langgam, dan dialek yang berbeda menjadikan bahasa-bahasa di daerah begitu kaya. Selain itu, diakui atau tidak bagi setiap bahasa terdapat kosa kata kasar yang digunakan sebagai bentuk luapan emosi atau ekspresi lainnya sewaktu bertutur. Dalam bahasa Inggris kita sering mendengar fuck, shit, asshole, dan sebagainya untuk mengekspresikan rasa emosi, gusar, dan mungkin bentuk umpatan kepada lawan bicara. Sama hal nya dengan bahasa Arab di Makkah. Meskipun berada di kota suci, para penuturnya juga menggunakan kata-kata kasar untuk mengungkapkan emosi mereka.
Tak jauh berbeda dengan bahasa Aceh. Meskipun terletak di daerah yang dijuluki Serambi Makkah dan penduduknya digelar dengan bangsa teulebeh ateuh rueng donya, hari ini masyarakat Aceh sering menggunakan kata-kata “tong sampah” baik dalam luapan emosi hingga bahagia sekalipun. Kadang-kadang, isi “kebun binatang” pun ikut terbawa.
Kata-kata tersebut tentu memilki konotasi negatif dan dianggap tabu oleh masyarakat. Dalam bahasa Aceh, kata tabu dapat dibagi dalam beberap jenis. T Syamsuddin dalam bukunya Adat Istiadat Daerah Propinsi Istimewa Aceh membagi kata-tabu kepada tiga jenis. Pertama, kata-kata tabu yang berhubungan dengan kepercayaan. Dalam jenis ini, ia membaginya ke dalam dua jenis lagi, kata-kata tabu yang berhubungan dengan Ketuhanan Yang Maha Esa dan yang berhubungan dengan makhluk halus.
Contoh kata-kata tabu yang berhubungan dengan Ketuhanan Yang Maha Esa seperti: harem bellah, aneuk budok (anak yang bejat moralnya), aneuk bajeung (anak yang tidak dari hasil hubungan resmi), bak tan Tuhan (orang tanpa Tuhan), lagee peuraun (seperti Firaun), dajeu buta siblah (dajjal buta mata sebelah). Sementara contoh kata-kata tabu yang berhubungan dengan makhluk-makhluk halus: jeen siblah abin, (iblis yang berbuah dada sebelah), seumuja (orang yang berkawan dengan hantu atau mahluk halus), iblih paleh (orang mirip iblis kutukan Tuhan), sawa Ihok budok (kepala mahluk halus yang mengorganisir hal-hal yang buruk di suatu daerah atau ditempat ia tinggal sendiri), aneuk jeen paleh. (anak jin atau hantu, bisa menjurus juga pengertiannya kepada anak yang tidak mempunyai bapak yang sah.
Kedua, kata-kata tabu yang berhubungan dengan upacara adat, seperti: hana adab, disebutkan kepada seseorang yang tidak punya sopan santun dan kurang tepat untuk diikut sertakan dalam forum-forum resmi. Lagee ma keuh, disebutkan kepada seorang anak atau orang dewasa sehingga menyinggung perasaannya karena menyinggung nama ibunya. Boh ku kah, disebutkan kepada seseorang dengan menyebutkan alat vital bapaknya. Kata-kata tabu ini juga bisa dikatagorikan ke dalam kelompok kata-kata tabu dalam pergaulan sehari-hari, misalnya: kah (engkau), kata-kata ini pantang digunakan dalam acara-acara resmi seperti dalam upacara perkawinan, kee (aku), Juga pantang digunakan dalam forum tertentu. Kata-kata tabu tersebut diatas juga harus dihindari dalam upacara-upacara adat yang berlaku. Bila kata-kata tersebut digunakan, dapat menyinggung adat dan mengurangi nilai-nilai upacara.
Ketiga, kata-kata tabu yang berhubungan dengan pergaulan seharihari. Kata-kata ini dapat ditemui hampir di setiap bahasa Aceh dan memiliki maksud dan tujuan yang sama pula, contohnya: pukaimakah, merupakan kata-kata penghinaan kepada seseorang menyangkut orang tuanya. Dara tuha, penghinaan kepada seseorang yang sudah lanjut usianya dan belum kawin atau tidak laku. Tuha panah, penghinaan kepada seseorang laki-laki atau perempuan yang lanjut umurnya, tetapi memiliki daya seksual yang kuat. Lontee, kata-kata penghinaan kepada kaum perempuan tuna susila. Abah lagee manok keumarom (mulut seperti mulut ayam mengeram), merujuk kepada seseorang yang suka meributkan hal-hal kecil/sepele.
Selain tiga jenis yang telah disebutkan di atas, ada juga kata-kata tabu yang berhubungan dengan binatang, seperti: asee paleh, bui paleh, eungkong paleh (anjing celaka, babi celaka, monyet celaka). Kata-kata tersebut ditujukan untuk menghina seseorang dengan mengumpamakan dia sebagai binatang yang tidak berakal dan tidak tahu apa-apa.
Kata-kata tabu di atas dalam bahasa Aceh disebut dengan teumenak. Istilah tersebut merujuk pada kata-kata kotor sebagaimana telah disebutkan beberapa contohnya di atas. Teumenak jika digunakan pada tempat dan waktu yang tidak tepat akan mengacaukan kondisi dan struktur sosial masyarakat. Acapkali, teumenak menjadi kambing hitam pada setiap permasalahan yang timbul di tengah-tengah masyarakat hingga berujung pada permusuhan, perkelahian, bahkan maut sekalipun.
Terakhir, menghilangkan teumenak dalam kehidupan masyarakat Aceh memang agak sulit, untuk tidak mengatakan mustahil. Sebab, ia layaknya hitam dan putih. Jika ada perbuatan baik, tentu ada perbuatan jahat. Demikian pula, jika ada kata-kata baik tentu ada kata-kata kotor. Setidaknya, langkah yang dapat ditempuh adalah dengan mencontohkan kepada generasi penerus bahwa teumenak bukan tindakan terpuji. Langkah ini bisa dimulai oleh orang tua dalam mendidik anak, seorang tokoh dalam bertutur kepada masyarakat, dan pejabat kepada rakyat, hal ini jika kita menginginkan di Aceh tidak lahir generasi teumenak ateuh rung donya. []
Zahlul Pasha, Alumnus Hukum Pidana Islam UIN Ar-Raniry, dan Pegiat pada Forum Lingkar Pena Banda Aceh