Sejak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh berlaku, penyebutan RAPBD memang telah berubah RAPBA. Tragisnya, perubahan hanya sekedar nama tetapi kelakukan birokrasi-politik kita tidak ada perubahan sama sekali. Fungsi budgeting parlemen tetap memalukan. Eksekutif juga setali tiga uang. Dalam kurun waktu tersebut, Aceh akhirnya punya catatan buruk dalam pengesahan dokumen uang rakyat itu! Sejak tahun 2007 hingga 2015, pengesahan dokumen RAPBA dilakukan pada bulan Desember hanya satu kali saja yaitu RAPBA 2014! Pengesahan lebih cepat ini ditengarai karena menjelang Pemilu, butuh logistik untuk berdemokrasi. Itu pun baru pengesahan, bukan penetapan karena penetapan baru dilakukan setelah adanya hasil evaluasi Kemendagri RI dan tindaklanjutnya atas hasil evaluasi tersebut.
Kini, Aceh juga memasuki era mendesak untuk pengesahan RAPBA 2016. Tarik ulur terus terjadi. Melihat buruknya komunikasi politik antara DPR Aceh dengan Gubernur Aceh, tidak tertutup kemungkinan pengesahan APBA 2016 akan dieksekusi dengan Peraturan Gubernur Aceh. Tentu saja, sebaik-baik APBA ditetapkan dengan Qanun/Perda. Alasannya sederhana, secara hirarki kedudukan Qanun/Perda jauh lebih tinggi daripada Peraturan Gubernur.
Meski begitu, mem-Pergub-kan APBA 2016 bukanlah sebuah kesalahan. Bahkan, Pergub boleh saja diterbitkan meski tanpa sandaran Qanun/Perda sebelumnya. Sebagai contoh lihat Pergub 53/2006. Pergub tentang Pelayanan Administrasi Kependudukan dan Catatan Sipil Penganut Agama Konghucu diterbitkan tanpa ada sandaran Perda sebelumnya, asalkan hal yang diatur oleh Pergub merupakan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi.
Jadi APBA 2016 dengan Pergub sah secara hukum. Hanya saja, yang perlu diingat adalah jika DPRA tidak menyetujui Raqan APBA yang diajukan Gubernur, maka untuk membiayai pembangunan pada tahun yang direncanakan, Gubernur hanya dibolehkan melakukan pengeluaran setiap bulannya sebesar angka (pagu) APBA tahun sebelumnya. Tentang hal ini Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, di Pasal 20 Ayat (6) sudah mengaturnya. Terlepas dari soal Qanun atau Pergub, ada yang lebih penting untuk dicatat, bahwa APBA merupakan sumber pendanaan utama bagi pelaksanaan pembangunan di daerah.
Oleh karena itu, penetapan dan pengesahan Ranperda APBD jangan sampai tertunda/berhenti hanya karena kebuntuan (deadlock) dalam pengambilan keputusan politik di DPRD. Mengantisipasi hal tersebut, UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah menjadi UU Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Menjadi UU, telah diatur lebih rinci mengenai pemberlakuan pagu APBD (Aceh – APBA) tahun sebelumnya yang ditetapkan melalui Peraturan Kepala Daerah (Perkada) tentang APBA sebagai akibat dari adanya keputusan DPR Aceh yang tidak menyetujui Raqan APBA yang diajukan oleh kepala daerah, sebagaimana telah diatur di Pasal 313 Ayat (1).
Penegasan soal Pagu APBA sebelumnya juga ada dalam PP 58 tahun 2005 sebagaimana tertuang di Pasal 46 Ayat (1). Ketentuan yang sama juga diatur dalam Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, di Pasal 106 Ayat (1) dan Pasal 110 Ayat (8).
Di atas soalan Qanun atau Pergub terkait APBA 2016 ada soalan yang lebih penting, yaitu mengapa APBA 2016 sampai tidak menemukan titik temu antara Gubernur dan DPR Aceh? Belajar dari DKI Jakarta, melalui Gubernur Ahok, terungkap praktik menyisipan kegiatan dan anggaran dalam penyusunan dan pembahasan APBD di Jakarta. Kasus yang sama sangat mungkin terjadi di Aceh.
Pertanyaannya, beranikah Gubernur Aceh membuka semua borok yang terjadi selama ini dalam permainan APBA sebagaimana yang dilakukan oleh Gubernur Ahok? Jika kedua pihak, Gubernur dan DPR Aceh masih saling melindungi zona nyaman masing-masing, maka tidak ada artinya memberi payung pada APBA, baik dengan Qanun atau dengan Pergub.
Berikutnya, beranikah Gubernur Aceh memangkas habis soal dana aspirasi dan mengambil seluruh kegiatan pembangunan ke dalam kewenangan eksekutif. Akhiri saja praktek mengusulkan semuanya biar Mendagri saja yang memangkasnya. Sebab pada akhirnya, proyek aspirasi itu juga akan menjadi anggaran gelondongan yang malah makin memudahkan oknum anggota DPR Aceh untuk menutupi jejak jahat mereka terhadap anggaran.
Di jelang masa akhir pemerintahan yang hanya tinggal kurang dari dua tahun ini sebaiknya Gubernur Aceh meninggalkan jejak baik, berupa mengembalikan lagi prinsip pengelolaan APBA yang dilakukan secara tranparan, efektif, efisien dan akuntabel serta tertib dan taat terhadap peraturan perundang-undangan. Kita tantang keberanian Gubernur Aceh guna mengakhiri praktek pemalingan APBA, selamanya.
Atau pilihan terakhir adalah publik menunggu gerakan politik baru dari dalam tubuh parlemen Aceh. Gebrakan suara hati, yang tentu berharap diprakarasi oleh legislator muda untuk memprakasai pengesahan RAPBA tanpa dana aspirasi. Bukankan wacana ini sudah pernah dilontarkan dari internal parlemen? Wakil Ketua DPR Aceh, Irwan Djohan, pernah mengungkapkan keinginan sejumlah ketua fraksi dan komisi untuk segera menghapus anggaran itu. Namun legislator Nasdem ini tak bisa memastikan usulan itu bakal diterima atau tidak oleh seluruh anggota dewan.
Menurutnya (kala itu), dana aspirasi selama ini sangat memberatkan anggota dewan. Apalagi, masyarakat beranggapan anggota dewan akan menggunakan dana itu untuk kepentingan pribadi, keluarga atau kelompok. Bila usulan dana tidak diberikan kepada masyarakat, maka dewan akan dianggap tidak peduli. Menurutnya, pada satu sisi, keberadaan dana asiparasi ini sangat membebani bila seorang anggota dewan mengelola Rp 10 miliar, tapi permintaan masyarakat jauh lebih tinggi.
Kalau memang demikian, mengapa tidak ada yang berani mengatakan; saya menolak dana aspirasi! Mengapa tidak ada satu Fraksi pun yang menolaknya. Nyatanya sampai sekarang, belum terdengar seorang anggota DPR Aceh pun yang dengan berani menyatakan diri saya menolaknya dana aspirasi. Publik hanya membaca bahwa pengesahan RAPBA saban tahunnya terus dibajak, yang saling lempar kesalahan antara legislatif dengan eksekutif.
Akhir kata, legalitas dokumen RAPBA Tahun 2016, di-Qanun-kan atau APBA di-Pergub-kan bagi publik hanya soal formalitas di atas kertas. Kedua-duanya bisa memberikan harapan untuk kesejahteraan atau sebaliknya, penuh rekayasa untuk merampok uang rakyat dengan segala cara. Tidak ada jaminan RAPBA di-Qanun-kan itu akan lebih berkualitas, pro rakyat dan bebas dari dana siluman. Begitu pun sebaliknya, di-Pergub-pun demikian. Mari terus melek politik, sampai maling-maling ABPA tidak terpilih lagi. Na pakat?!