Zhu, begitu perempuan ini di panggil. Zhu adalah peneliti, pejalan di ranah kebudayaan, dan peselancar cinta bersama dua lelaki hati, tinggal di Banda Aceh.
Sabtu (26/12/2015) ini, Zhu bersama 9 narasumber handal lainnya akan menggelar diskusi dalam kegiatan yang diberi tema: Tafakkur Gelombang Raya: Mata Perempuan Menyingkap Damai.” Pada acara yang digelar di Meseum Aceh ini, Zhu juga tampil mengisi pentas kebudayaan. Acara ini sekaligus meluncurkan secara resmi lembaga Timang Research Center yang direkturnya adalah Zhu. Yuk kita berkenalan dengan Perempuan Zhu.
***
Sebagai peneliti, Zhu pernah menjadi konsultan penelitian sosial berperspektif gender di beberapa NGO lokal dan international di Aceh. Aktif memfasilitasi workshop bertema perdamaian dan resolusi konflik. Gelar master diperoleh dari UI (2003) dengan konsentrasi di bidang kajian wanita. Aktif menulis di beberapa media massa lokal dan nasional serta ikut berkontribusi pada beberapa buku seperti “women Speech After Tsunami and Conflict in Aceh” (UNIFEM, 2008); Jika Kepedulian Menjadi Solusi: Peran Organisasi Perempuan Aceh dalam Proses Penyelesaian Konflik, dalam “Perempuan dan Hukum” (yayasan Obor Jakarta, 2006). Beberapa topik penelitian diantaranya Perempuan dan Proses Perdamaian di Aceh: Realitas Korban Kekerasan Seksual (2008).
Dan, sebagai pejalan di ranah kebudayaan, perempuan peselancar cinta bersama dua lelaki hati (Fayyaz Mullana Zain dan Fata Mallika Zain), yang memiliki nama lengkap Zubaidah Djohar ini juga telah melahirkan karya-karya yang terbilang dasyat. Dari karya perempuan kelahiran Bukittinggi inilah, masalah kekerasan di Aceh khususnya terhadap kaum perempuan di suarakan, sekaligus di museumkan di dalam pikiran atau ingatan.
“Pulang Melawan Lupa” (2012) adalah salah satu buku Zhu diranah kebudayaan. Melalui buku ini gugatan Penyair Zhu terhadap beragam persoalan Aceh bisa dilacak, baik semasa konflik atau sesudahnya. Buku ini pula yang kemudian melahirkan aktivitas Khafilah Kebudayaan. Sejumlah seniman yang terdiri dari penyair, pemusik, perupa, fotografer, pelantun tembang Jawa, dan penggiat kebudayaan lainnya melakukan perjalan kebudayaan, meneriakkan Aceh dari kota ke kota di Pulau Jawa, seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur.
“Pulang adalah jalan untuk memecahkan persoalan,” ujar Zhu, kala itu kepada Mustafa Ismail, penyair Aceh yang berkhitmat di Tempo.
Sejak kecil, Zubaidah suka menulis puisi. Kesukaannya menulis puisi sempat terhenti saat ia pindah ke Jakarta dan kembali berkobar saat ia tinggal dan banyak melakukan aktivitas kemanusiaan di Aceh. Pertemuannya dengan perempuan Aceh serta pengalamannya melakukan riset dan mendampingi beragam komunitas di 300 desa di seluruh Aceh membangkitkan lagi gairahnya menulis puisi.
Sebagai penyair, Zhu terbilang sosok penyair dengan daya pikat kritis namun kuat nuansa filosofi relegi. Karakter ini bisa dimaklumi, bukan hanya karena ia tinggal di Aceh. Tapi, juga karena didikan masa kecilnya. Saat kecil, ia sempat tidak bisa menerima keputusan orang tuanya untuk menempuh pendidikan di madrasah. Namun, kini dirinya justru bersyukur, pernah mengenyam pendidikan di madrasah.
Pendidikan Islam juga yang menjadi dasar terbentuk watak kritisnya, sekaligus sarat karakter religi pada syair-syairnya. Pandangan keislaman yang merasuki jiwanya membuat ia memberontak pada realitas kekerasan, yang terjadi khususnya di Aceh. Syair-syairnya terasa tajam, mungkin mengalahkan ketajaman peluru, yang cuma bisa diobati dengan sentuhan kemanusiaan, kesejahteraan dan keadilan, juga kesetaraan.
Alasan ini juga yang membuat jejak hidupnya menjadi aktivis kemanusiaan yang giat memberdayakan perempuan Aceh selepas konflik. Lulusan program Master Kajian Gender dan Perempuan Universitas Indonesia ini lalu mendirikan Timang Research Center di Aceh sejak tahun 2009 dan sempat bekerja pada International Center for Transitional Justice, dan pernah menjadi fasilitator untuk training perdamaian di bawah payung LSM Impact. Berikut satu syairnya yang menembus batas baik ke masa silam, kini, juga masa akan datang.
Sungai Peradaban
Mari berenang di sungai peradaban
Airnya jernih, ikannya sehat, tepiannya besih
Bersih oleh sampah fitnah dan keangkuhan
Jernih dari kemunafikan dan penguasaan
Sehat dengan saling berbagi dan menguatkana
Mari berenang di sungai peradaban
Airnya memang dingin
Tapi tak membuatmu kaku
Tempatnya memang tak luas
Tapi membuatmu tahu cara berbagi
Tapakmu memang hinggap ke tanah
Tapi tak membuatmu kotor, dan
Memmercikan hitan ke wajah kawan
Tubuhmu bersih
Wajah kawanmu bersinar
Mari berenang di sungai peradaban
Sungai dengan gemerincing lembut
Namun sungguh tangguh
Dalam warna pesona
Pesona kedamaian
Pesona kerakyatan
Pesona kesederhanaan
Dan, pesona keseimbangan
Dalam semangat keadilan.
Mari berenang di sungai peradaban
Tanpa pakaian keharusan
Tanpa persyaratan perlombaan
Karena sungai peradaban
Sungai yang tak bersyarat
Tak peduli makhluk berupa ikan
Tak peduli bagaimana rupa insan
Lelaki, perempuan, anak
Orang tua, jelata
Suku mana
Karena ini,
Sungai peradaban
(Dari berbagai sumber)