ACEHTREND.CO, Aceh — Hari ini di linimasa atau sosial media disemarakkan dengan beragam kisah diseputar gempa dan tsunami Aceh. 11 tahun yang lalu, jangankan masyarakat Aceh, warga duniapun ikut terguncang dengan gempa berkuatan 9,3 pada skala richter. Gempa inilah yang memicu gelombang tsunami atau yang di Aceh disebut Ie Beuna dan Smong.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, pada hari peringatan tsunami, banyak orang-orang berbagi kisah tentang gempa dan tsunami Aceh. Berikut beberapa kisah yang ditulis di linimasa.
Tangga Surga
Yuswadi Suud, jurnalis muda Aceh yang kini sedang berbahagia dengan si kembar menulis singkat. “Tangga ke surga. Alfatihah.”
Yuswardi benar. Dalam sebuah hadis yang diriwatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda, ”Orang yang mati syahid itu ada lima: orang yang mati karena menderita ta’un (wabah penyakit mengerikan), mati karena sakit perut, mati karena tenggelam, mati ditimpa reruntuhan, dan mati (berperang) di jalan Allah.” (Muttafaq alaih).
Kiamat
Mantan Tapol-Napol Aceh yang kini memilih menjadi pengawal UUPA, Tuwanku Muhammad MTA memilih berkisah tentang pengalamannya saat itu. Berikut kisah aktivis 98 yang disampaikan di halaman facebooknya.
Jam 7.30 pintu sel kami dibuka, seperti biasa, kembali pd rutinitas pagi. Ada yang lari keliling lapangan bola volly, mengangkut air dari penampungan ke “bak” kamar mandi sel, ada yang Sudah di kantin utk menikmati kopi pagi. Kebetulan spt biasa saya masih dalam sel sambil menikmati sebatang rokok “GP”.
Tiba2 sel menggoncang dahsyat, saya sempat berfikir, penjara di bom dari dinding belakang.
Semua berhamburan keluar, dunia berguncang. Asumsi penjara di bom hilang. Semua org telungkup di tanah, lapangan volly dipenuhi tahanan yang berteriak AllahuAkbar sambil menangis. Berzikir dan lantunan azan ditengah hebatnya gempat.
Saya sempat memperhatikan pohon mangga di Sudut lapangan, daunnya rontok berhamburan yang tdk mungkin bisa “dilakukan” oleh angin badai biasa.
Sama bbrp kawan di samping yang sama2 telungkup saya berkata dng keras “nyoe donya ka kiamat, hana geutrimong lee ratep2 dan do’a2. Geutulak taubat bandum”.
Mereka memandang tajam dng mata basah sambil menangis “pue butoi nyan Tgk?”.
“Butoi”
Mereka diam tapi menangis. Tapi aku yakin lantunan zikir terus terucap dlm hati. Spt aq memilih diam, krn takut yang begitu memuncak. Donya ka kiamat.
Semoga Allah memberikan tempat yang layak bagi semua korban gempa dan tsunami Aceh.
Salam jabat erat bagi semua kawan2 “Prodeo” Jantho.
Doraemon
Bisma Yadhi Putra, penulis yang “ganas” dalam “membantai” laku politik kapitalisme juga merekam kisahnya, dengan ringan.
Waktu itu anak-anak di Aceh lagi nonton Doraemon.
Terus gempa, keluar rumah, pegangan di pintu gerbang, sambil dengar pecahan kaca-keramik di dalam. Beberapa menit kemudian Panggoi udah rame sama orang-orang dari Pusong dan sekitarnya yang lari karena tsunami.
Beberapa jam kemudian, TV mulai menyiarkan tsunami Aceh. Meulaboh jadi tempat paling parah. Dua hari sebelum tsunami aku pulang dari sana. Dan orang di sana pikir Lhokseumawe udah rata sama tanah karena kota ini persis di pinggir pantai.
Karena alat komunikasi belum bisa digunakan, lantas ayahku coba melobi TNI AU di sini agar bisa ikut terbang sama helikopter yang mau ke Meulaboh. Waktu itu Jusuf Kalla menginstruksikan agar bantuan makanan darurat disebarkan lewat udara. Tapi karena heli gak bisa mendarat, cuma lempar kotak mi instan, sarung, baju, atau botol berisi air, gak jadi ikut.
Akhirnya ayahku pinjam moge temannya karena cuma motor kayak gitu yang kuat melintas di kawasan Beutong. Akses dari Banda Aceh rusak total. Pas mau berangkat, dicegat sama tetangga yang anaknya hilang di Banda. Sambil nangis, tetanggaku itu ngasih uang seadanya untuk ayah sambil bilang, “Bawa pulang ibunya anak-anak dan yang kecil”.
Waktu itu aku pikir UN betul-betul akan ditiadakan di Aceh karena tsunami. Ternyata tetap dilangsungkan. Udah gitu gak lulus pula aku.
Untung ada UN susulan.
“Air Naik”
Rahmat Hidayat juga memilih mengkisahkan kembali pengalamannya saat berada di jalan Ulee Kareng, 11 tahun lalu. Berikut kisahnya.
Jalan Ulee Kareng macet. Di tepi kiri jalan anak kecil menangis digedongan ibunya. Mobil truk ini diam di tempat dalam kepanikan orang-orang yang berlari. Isak tangis bercampur teriakan Air naik..!Air naik..terus.mengema memacu detak jantung saya yang semakin ketakutan. Ya Allah ada apa ini?
Mobil truk yang saya tumpangi sesak dengan warga Beurauwe yang ikut menyelamatkan diri setelah 15 menit usai gempa yang dahsyat, terdengar teriakan “air laut naik
.air laut naik!” Saya tertengun, tidak mengerti maksud orang yang berlarian meneriakan kata itu. Apakah seperti air pasang? Ah saya kan bisa berenang. Saya tidak mengubrisnya. Tapi dalam ketidaktauan itu, kami ikut panik berlari menaiki mobil truk.
Jalan ulee kareng ke Arah Bandara Iskandar Muda tidak bisa di lewati. Mobil-mobil tak bertuan tergeletak begitu saja badan jalan BPKP.
Melihat kemacetan yang tidak mungkin teruraikan, mobil truk kami memutar balik ke arah Jembatan Surabaya yang saat tadi kami lewati sedang dihantam air yang terus menangis dari arah muara laut.. mata saya sembab. Tapi mama, kakeh nenek, kakak dan adik saya menangis melihat air di krueng (sungai) Aceh meluap-luap dengan menyeret puing-puing dan manusia yang terhimpit sambil menangis minta tolong.
Saat melewati jembatan Surabaya, saya melihat ada sekitar 8 mayat Wanita dalam kondisi basah. wajahnya di tutupi dengan kain. Air sungai belum surut. Suara tangis dimana-mana. Seorang polisi di ujung jembatan sedang menyelamatkan seorang bayi dari atas puing dalam sungai yang saya tidak tau kondisinya. Tapi saya melihat polisi itu menangis sambil mendekap bayi itu dada. Saat itu saya menangis.
Pikiran saya saya masih bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa air bisa naik? Saya sempat teringat dengan film ” Day After Tumorrow”, dan ini sama persis. Apakah ini kiamat. Saya semakin takut saat melihat mobil truk Reo milik TNI terisi mayat yang berlapis-lapis. Semua wanita kembali menangis histeris melihat kondisi tersebut.
Harapan seperti hilang saat itu. Tiada yang berfikir harta itu bermaafaat. Segelas air dan sepotong roti lebih berharga dari sekoper uang.
Tiada cita-cita yang paling besar selain menemukan sanak saudara yang bercerai berai entah dimana.
Kakak mama meninggal. Tiga dari lima Adik Sepupu saya selamat setelah bergelut dalam air yang di sebut Tsunami.
Di saat mengenang, disitulah muncul kerinduan. Hari ini, 11 tahun telah berlalu. Bagi mereka yang bertarung nyawa dalam hempasan tsunami, tentu tidak terlupakan.
Sebahagian luka itu mungkin sembuh, sebahagian ingatan itu mungkin hilang. Tapi doa tiada putus dari kami.
Rahmat Hidayat benar, ada luka yang sudah sembuh dan ada pula ingatan yang telah hilang. Namun, untuk keperluan merawat ingatan agar menjadi pengetahuan kebencanaan, kisah yang terus dikisahkan sangat membantu generasi yang akan datang dalam menghadapi bencana. []