ACEHTREND.CO, Banda Aceh — Hari ini, genap 11 tahun Aceh dan dunia mengenang peristiwa dasyat yang terjadi di Aceh, yaitu gempa berkekuatan 9,3 menurut skala richter.
Peristiwa gempa itulah yang memicu gelombang tsunami yang daya terjangnya mencapai sejumlah negara, seperti Pantai Barat Semenajung Malaysia, Thailand, Pantai Timur India, Sri Langka, bahkan sampai Pantai Timur Afrika.
Itulah peristiwa paling mengejutkan dunia. Di Aceh, pagi itu, 10 menit manusia dilanda panik sebelum semuanya gelap dihempas gelombamg. Di seluruh dunia, gempa yang diikuti tsunami menimbulkan lecutan kemanusian terbesar.
Seluruh dunia, berlomba mengulurlan tangan sejak hari itu juga, hingga Aceh dinyatakan bebas dan bisa kembali mandiri membangun Aceh.
Posisi Anda Dimana?
Hari ini, Rakyat Aceh libur, mengenang 11 tahun peristiwa Geulumbang Raya, Ie Beuna, atau Smong. Murizal Hamzah, salah seorang jurnalis yang aktif melakukan liputan di masa konflik dan tsunami, dan kini telah menghasilkan buku Hasan Tiro, Jalan Panjang Menuju Damai Aceh, melalui halaman facebooknya memantik kembali ingatan, dengan menulis:
“26 Des 2004 jam 7.58 pagi, anda berada di mana dan sedang apa? merawat ingatan.”
Peristiwa memang boleh berlalu dan pasti akan berlalu. Tapi ingatan, semasih dirawata pasti akan menjadi kisah, yang berharga untuk dikenang, sekaligus dikisahkan agar dari waktu ke waktu bisa menjadi pelajaran. Berikut kisah pagi hari sebelas tahun lalu, 26 Desember 2004:
“Saya di KL…pagi2 menerima panggilan dr keluarga di Darussalam, memberitakan terjadi gempa kuat, yg alunannya tdk biasa.., sempat menelefon kembali dua kali, tapi panggilan berikutnya sudah tdk tersambungkan…mulai kuatir…& belum tau cerita telah terjadi tsunami, krn pagi itu sedang menyiapkan satu program, lewat petang baru nonton TV…dan tahu cerita lengkapnya…meskipun belum ada cerita dr Aceh.” (Raihana Mahmud)
“Pada pukul 09.05 Am, minggu 25 Des 2004 tiba-tiba telepon saya berdering. Masih dalam keadaan mengantuk saya coba meraih telpon, malamnya tidur agak karena membuat laporan beberapa insiden lapangan pada masa itu. Terdengar suara “hallo” dengan nada ketakutan, suara Usman Abdullah alias Toke Seu-uëm. Beliau menanyakan apakah di Malaysia ada terasa gempa bumi. Belum selesai saya bicara dengan Toke Seu-uëm, handphone satu lagi berbunyi dan menanyakan hal yang sama. Kali ini dari Peureulak, saudara Muslim Hasballah alias Kedan yang telpon. Juga dengan pertanyaan yang sama. Setelah menutup telepon mereka saya coba telepon istri saya di Aceh. Kebetulan saat itu istri dan anak – anak saya sedang berada di Peureulak sehingga susah tersambung. Karena penasaran dengan berita dari Toke Seu-uëm dan Kedan, saya coba buka Laptop. Betapa kaget nya saya dengan berita di CNN, NHK ; Aceh telah remuk oleh gempa bumi dan Tsunami…Hari ini, pada saat yang sama, jam yang sama saya berada pada tempat yang sama ; Taman Sri Andalas, Serdang Jaya, Seri Kembangan Malaysia.” (Ibnu Sakdan Abubakar)
“Saya di simpang kampus USU. Tiba-tiba, gempa. Bumi bergunjang. Gempa terasa begitu kuat. Papan reklame rasanya mau jatuh. Saya pikir, saya yang sakit. kepala saya pening dan jalan agak oleng. Karena, malamnya lembur, menyiapkan tugas-tugas kuliah. Rupanya, memang gempa. Waktu itu, masih belum tahu, kalau gempa dan tsunami terjadi di Aceh. Sampai-sampai, guncangannya yang kuat terasa sampai ke Medan, Sumut. Tak jauh dari simpang kampus, ada rumah sakit dekat simpang Brimob. Pasien di rumah sakit itu habis berhamburan keluar, menyelamatkan diri. Setelah kembali ke kos, di Perumahan Dosen USU, dan menonton siaran TV, diberitakan bahwa di Aceh terjadi gempa dan tsunami. Pikiran kalut, khawatir, dan langsung menghubungi keluarga yang ada di Aceh. Terutama, keluarga yang ada di Lhokseumawe, karena awal pemberitaan lebih banyak di Lhokseumawe. Susah sekali waktu itu komunikasi. Alhamdulillah, keluarga dekat selamat semua. Keluarga jauh, Hadiyatullah, Intan, Bang Selamat dan istri (Bang Selamat adalah bilal Masjid Besar Quba Bebesen Takengon) yang suaranya sangat merdu dan punya napas yang sangat panjang), bapaknya Fahrul Rizal Bin Selamat ikut meninggal. Bahkan, jasad mereka masih belum ditemukan sampai sekarang. Ada juga teman sekelas di Departemen Sastra Inggris USU, dari Lhokseumawe, Zia Ul Hilal, ikut dibawa tsunami saat liburan kuliah dan melihat ibunya ke Banda Aceh. Saya tak menyangka, saat dia pamit itu adalah pertemuan terakhir kami. Allahummaghfir lahum warhamhum wa ‘afihim wa’fu ‘anhum.” (Yusradi Usman Al Gayoni)
saya berada di Medan saat itu bang MH, baru pulang dari proyek pemetaan Pajak Bumi dan Bangunan di Kecamatan Sorkam, Kabupaten Tapanuli Tengah. Saat itu saya sedang memandikan anak pertama di dalam ember, tiba-tiba seisi rumah panik “gempa-gempa… ayo keluar semua dari rumah, begitu teriak Tulang (Bapak mertua-red), setelah berada di luar rumah, air paret bergejolak bagaikan ombak di laut, tiang2 listrik seperti menari2, jalanan aspal pun terlihat seperti ‘break dance’ sekitar 3 s.d 5 menit gempamasih terasa, kemudian semua memantau televisi dan terpampanglah di siaran di metro tv, Video amatir yang di rekam Cut Putri tersebut membuat kami sekeluarga merinding dan teringan keluarga di Aceh, khususnya Banda Aceh dan kota Lhokseumawe… Demikian yang saya rasakan dan ingat pas kejadian maha dahsyat tersebut. (Alfan Raykhan)
Smong
Merawat ingatan atas peristiwa tsunami yang pernah terjadi adalah salah satu kunci mengapa masyarakat di Simeulue, Aceh banyak yang selamat pada peristiwa tsunami 11 tahun silam. Bahkan, untuk merawat ingatan masa lampau tengang Smong itu, dilakukan dengan bernandong.
Pengetahun gempa dan tsunami yang terjadi di masa lampau diwariskan kepada generasi demi generasi melalui nandong. Pengetahuan inilah yang menjadi bekal untuk penyelamatan. Bukan hanya di Simeulue, di daratan sebenarnya juga ada manuskrip yang diwariskan kepada generasi kini terkait gempa dan tsunami atau ie beuna. Sayangnya, upaya untuk mewariskan pengetahuan masa silam itu tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah dan masyarakat sehingga pembangunan paska bencana bagai tidak peka dengan bencana itu sendiri. []