ACEHTREND.CO, Aceh — Beberapa hari ini mata publik di Aceh tertuju pada kartu biru yang dikalungi oleh Din Minimi. Menurut mereka yang sudah melihatnya, itu kartu milik Juha Cristensense. Sayangnya, kartu yang dipakai Din Minimi itu sudah mati alias kadaluarsa, November 2011.
Masih ingat kasus jurkam salah satu partai yang menjanjikan pembukaan kantor PBB, CMI, dan Uni Erofa di Aceh? Dan, ternyata calon anggota DPD itu terpilih pada pemilu 2014. Sebelumnya, pada 2010 di Aceh juga ada kantor “DK PBB” yang terletak di lorong Geurutee, Blower, Banda Aceh.
Pada rumah itu, satu pos jaga warna biru langit, seperti warna standar PBB, dibangun di pintu pekarangan. Papan nama juga ditempel di kiri atas bangunan itu lengkap dengan logo PBB. Adakah yang percaya? Dalam dokumen sitaan kala itu, setidaknya ada 800 orang yang berurusan dengan kantor DK PBB itu.
Memang, paska tsunami ada banyak kantor yang bernaung dalam organisasi PBB hadir ke Aceh. Umumnya mereka hadir untuk membantu Aceh keluar dari problem kemanusiaan dan rehabilitasi paska bencana tsunami. Kala itu mobil-mobil berlogo UN hilir mudik, masuk kampung bahkan lorong di berbagai daerah di Aceh.
Jauh sebelumnya, di musim konflik Aceh, orang Aceh hingga ke pelosok Gampong juga sudah akrab dengan perbincangan lembaga-lembaga bertaraf dunia. Mereka percaya, bahwa persoalan Aceh sudah menjadi perhatian lembaga dunia dan mereka yakin, bahwa lembaga-lembaga dunia mendukung perjuangan kemerdekaan Aceh.
Adakah Juha, mantan filolog (ahli bahasa) di Finlandia yang bersama istrinya pernah bertugas mengenali bahasa-bahasa di Sulawesi dan tinggal di rumah Farid Husein itu mengetahui psikologi orang Aceh yang sangat percaya kepada orang asing? Hanya Juha yang tahu. Sampai berita ini diturunkan, sms aceHTrend belum dibalas.
Juha bersentuhan dengan Aceh bisa dibilang sejak 2003. Saat itu, ia membaca artikel tentang GAM di surat kabar terbitan Finlandia. Lalu, melalui Bahtiar Abdullah, jubir GAM di Swedia Juha meminta bertemu dengan dua petinggi GAM, Malik Mahmud dab Zaini Abdullah.
Sementara ke pihak Indonesia, Juha membuka kontak dengan Jusuf Kalla melalui Farid Husein. Bersama dengan Farid Husein inilah perintah Jusuf Kalla untuk menjalin hubungan dengan GAM dan Marti Ahtisaari mereka lakukan.
Kisah ini tertulis dalam buku “Kalla dan Perdamaian Aceh.” Duet Farid-Juha inilah oleh Jusuf Kalla diakui sebagai pembuka jalan rintisan yang mempertemukan GAM dengan Jakarta di meja perundingan dimana Marti Ahtisaari bertindak sebagai mediator.
Paska AMM berakhir masa tugasnya di Aceh, Juha menjadi direktur program Intepeace untuk Indonesia. Interpeace sendiri berkerjasama dengan Institut Perdamaian Indonesia (IPI). Keduanya mulai berkerja 1 Juni 2007. Juha bisa dibilang redup ketika Jusuf Kalla tidak lagi menjadi Wapres. Meski begitu, setiap peringatan damai Aceh, Juha diundang datang ke Aceh. Mungkin, tugas yang diberikan Jusuf Kalla dulu untuk selalu menempel Malik Mahmud dan Zaini Abdullah membuat hubungan mereka terus terawat hingga kini.
Kemarin, dalam acara peringatan puncak 10 tahun damai Aceh Juha mengatakan persoalan reintegrasi di Aceh belum berhasil. Adakah ini isyarat Juha akan kembali lagi ke Aceh untuk menjalankan proyek reintegrasi? Yang jelas, menurut penilaiannya, sejumlah lembaga masyarakat sipil gagal mendekati Din Minimi.
“Koneksi atau pengetahuan mereka mungkin masih kurang,” kata dia kepada CNN Indonesia.
Tentang kartu biru itu? aceHTrend masih akan mencoba menghubunginya. Seorang akademisi Unsyiah yang aktif bergiat di kerja-kerja perdamaian Aceh pada masa konflik menyatakan penyesalannya atas pemberian kartu yang sudah kadaluarsa itu, namun ia tidak bersedia berkomentar terbuka. []