ACEHTREND.CO, Banda Aceh | Dua pertemuan para pendukung Alabas baik di Meulaboh (7/2) maupun yang terkini di Medan (14/2) telah memunculkan ragam reaksi, tidak terkecuali dari calon gubernur Aceh. Ada yang bereaksi dengan nada terkesan mengancam dan ada pula yang mengajak berpikir secara elegan. Berikut perbandingan pandangan dua calon gubernur Aceh, Muzakir Manaf dan Irwandi Yusuf.
Muzakir Manaf
Tuntutan pemekaran Provinsi Aceh yang disuarakan para pihak selama ini dinilai bakal mengganggu perdamaian Aceh. Pasalnya dalam perjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pihak Republik Indonesia menyebutkan tapal batas Aceh merujuk pada perjanjian 1 Juli 1956.
Mengenai tuntutan pemekaran yang kembali dihembuskan para pihak dari poros tengah dan pantai barat selatan Aceh ini, Ketua Komite Peralihan Aceh/Partai Aceh (KPA/PA), H Muzakir Manaf berharap kondisi Aceh tetap aman dan damai. “Saya harap tidak terjadi gangguan, hanya saja sekedar mengingatkan, jangan sekali-kali membangunkan harimau tidur,” ujar pria yang akrab disapa Mualem ini kepada portalsatu.com, Minggu, 14 Februari 2016.
Menurutnya, KPA/PA tetap konsisten merujuk kepada Mou Helsinki dan UUPA. Mualem juga berharap para pihak tidak melakukan manuver yang dapat mengganggu perdamaian Aceh.
“Kita tak ingin menodai atau ingkar tapi kita lihat saja nanti. Apa yang akan dilakukan untuk Aceh, yang jelas jangan mencoba-coba atau berandai-andai tentang Aceh (karena) akan sangat beresiko tinggi,” katanya. Sumber: Portalsatu
Irwandi Yusuf
Irwandi Yusuf, bakal calon Gubernur Aceh, melalui halaman facebooknya menyampaikan dua pandangannya terkait Alabas. Pertama, mantan Gubernur Aceh itu menulis sebagai berikut:
Suara2 pembentukan propinsi baru dari Propinsi Aceh, ALABAS, patut dihormati sebagai suara demokrasi kelompok maupun individu. Namun secara praktis hal ini sulit bisa terwujud karena Aceh mempunyai UU Khusus, yaitu UUPA. Berikut ini ada 2 hal yang perlu dipikir:
1. Pasal 8 UUPA tentang kewenangan Pusat di Aceh dan tatacara Pusat dan DPRRI mengambil kebijakan dan hukum yg menyangkut kepentingan Aceh. Pemerintah Pusat dan DPRRI haruslah berkonsultasi dengan Pem Aceh dan DPRA, masing2.
Konsultasinya spt apa?
Pasal 8 UUPA mempunyai turunannya yaitu PP tentang TATACARA KONSULTASI. Di sana dijelaskan tatacara KONSULTASI, yaitu konsultasi sampai tercapainya konsensus atau kesepakatan. Tidak bisa sembarang saja Pusat mengambil keputusan sepihak dgn sekedar pemberitahuan.
2. Ada pasal dalam UUPA yg mengatur batas2 Propinsi Aceh, yaitu batas spt sekarang ini, lebih kurang. Jika ingin membentuk provinsi baru di Aceh haruslah DPRRI terlebih dahulu mengubah pasal UUPA dengan berkonsultasi dgn DPRA sampai tercapainya konsensus.
Apa mungkin?
Kedua, masih dihalaman facebooknya, ia kembali menulis sebagai berikut:
PENCERAHAN TENTANG ALABAS LAGI
Amandemen UUPA memang memungkinkan, tetapi dgn resiko Pemerintah Pusat melanggar MoU. Yg mendamaikan Aceh itu MoU Helsinki. Presiden RI dan mantan presiden sangat paham tentang itu. Batas Aceh dlm UUPA, jika presiden bisa dipaksa, tentu saja dapat dirubah. Dalam MoU pun batas2 Aceh sama persis spt dlm UUPA. Kalau UUPA dapat diamandemen oleh DPR RI setelah berkonsultasi dgn DPRA, MoU hanya dapat diubah melalui musyawarah antara PEM RI dan GAM di depan CMI dgn diawasi oleh Uni Eropa.
Sekalipun saya mendukung Ala Abas tapi saya tdk akan bisa berbuat apa2 tanpa terlebih dahulu kalian melakukan amandemen terhadap UUPA dan MoU Helsinki.
Pensejahteraan Wilayah Tengah, Barat dan Selatan sesuai potensinya wajib dilakukan dalam paket kesehahteraan seluruh Aceh. Jika sekarang ada mismanagement, yang menderita adalah seluruh Aceh, bukan hanya daerah2 tertentu saja.
Tulisan diatas sekedar utk memberikan gambaran agar kita tidak berlebihan dalam menuntut dan tidak berlebihan dalam menentang.
Bagaimana penilaian anda semua?