DALAM senarai kumpulan essay Geunap Aceh; Perdamaian Bukan Tanda Tangan dinukilkan, satu kebiasaan Hasan Tiro yang menarik adalah rutinitasnya membuat catatan kecil di bukunya tentang segala hal yang dijalaninya hari per hari. Seperti dituturkan Nazamuddin Basyah Said, menulis bagi seorang Hasan Tiro, ternyata menjadi senjata yang lebih ampuh dari senapan mesin.
Tulisan menjadi catatan sejarah bagi generasi selanjutnya, sekalipun seringkali bersifat subjektif, tetapi pengaruhnya pada pembentukan opini masyarakat jauh lebih besar dari senjata dalam bentuk fisik dan segala indoktrinasi yang dipaksakan. Tulisan dapat menanamkan ideologi dan kecintaan pada sesuatu.
Menulis dalam perkembanganya juga mengalami apa yang disebut asimilasi-mengikut zaman dan sikon. Tulisan di ranah perpolitikan Aceh, mewujud dari political journalism, yang mewartakan gerak dan laku politik yang mewakili arah diplomasi antar pihak. Lalu dalam babak berikutnya, di era pra Darurat Militer (DM) 1999-2002, berasimilasi menjadi talking Journalism, jurnalisme yang berkata-kata.
Di waktunya periode ini menjadi ajang baku balas para pelaku konflik, berupa opini, berita melalui media yang tak tertahankan. Informasi dan informannya menjadi obyek yang berharga, tak sedikit periode ini memakan korban nyawa melayang. Konsekuensi selainnya, media menjadi bulan-bulanan pelaku konflik. Ibarat perang antara para gajah, semut berada di tengah pusaran mengikut haluan.
Babak revolusi media terbesar ketika memasuki era Jurnalisme Damai, pesan-pesan damai didorong menguat, meninggalkan konflik, perang, perseteruan, menjadi sesuatu yang absurd untuk dibahas, dibincangkan dan mesti dilawan.
Damai Kolektif
Media memberikan ruang besar bagi setiap warga untuk menuliskan pendapatnya tentang konflik, perang dan damai yang menjadi akhir dari semua impian. Media menjadi ruang Citizen Journalism yang berkembang bak meteor melesat, melibas konflik menjadi kejahatan yang harus dijauhi dan ditinggalkan. Menulis mentransformasikan pemikiran dan nilai-nilai menjadi semacam proses internalisasi, lalu melahirkan “damai kolektif” dalam bentuknya, ekspresi kebebasan beraktivitas, bersuara, berinteraksi tanpa halangan dan kekangan.
Menjadi tidak heran, tumbuh kecenderungan bahwa konflik menjadi “simbol” penghambat pembangunan, pemerataan konon lagi berlakunya keadilan dan kesejahteraan. Ketika perang dan konflik menjadi penghalang semua upaya untuk menjadikan Aceh menjadi lebih baik. Konflik menjadi musuh semua jamaah (baca; rakyat) di seantero nanggroe Aceh.
Ada kecenderungan media melalui tulisan melakukan laku hiperbolik, ketika perang menjadi cerita horor dan menyeramkan, dan damai memujud dan hadir seperti yang kita rasakan saat ini karena ketiadaan perang dan konflik. Opini yang terbangun, ketika damai terusik maka kita akan kembali memasuki masa horor yang menakutkan itu. Maka setiap jiwa yang berkomitmen pada Aceh damai, akan menulis tentang pentingnya damai yang mesti dirawat itu.
Menulis Untuk Damai
Damai telah melalui fase yang sangat panjang, dari perang di belantara, lalu berproses melalui diplomasi 2000 dengan Jeda Kemanusiaan (Humanitarian Pause) era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang difasilitasi Henry Dunant Center (HDC). Perjanjian damai melahirkan Komite Keamanan Bersama (KKB), 9 Desember 2002 di Jenewa Swiss yang diketuai Thanongsuk Tuvinum seorang perwira militer asal Thailand.
Meski diikuti dengan kegagalan The Cassation of Hostilities (CoHA) pada Mei 2003 namun antiklimaks force majure tsunami pada 26 Desember 2004, memaksa semua pihak mengakhiri konflik di meja perundingan Helsinki, Finlandia yang difasilitasi oleh Crisis Management Initiative (CMI) pimpinan Martti Ahtisaari.
Dalam konteks terjadinya fase penting perubahan-transformasi proses menuju perdamaian dari senjata ke meja perundingan. Peran intelektualitas para pihak menjadi lebih dominan, mengedepankan strategi lobi dan diplomasi. Jika dirunut prosesnya mungkin menarik menuliskan kembali analisis transformasi konflik yang dijabarkan Hugh Miall, Oliver Rambotham dan tom Woodhouse yang mengadopsi konsep ahli perdamain semisal Vayrinen, Galtung dan barisan pakar lainnya, meliputi lima tahapan (Lukman Age, 4/2010):
Pertama, context transformation, tsunami menjadi proses yang awalnya rekonstruksi dan recovery bencana, menjadi persoalan yang disorot mata internasional tidak lagi sekedar konflik regional. Pertimbangan utama proses rekonstruksi semua pihak untuk membantu Aceh adalah perdamaian sebagai posisi tawar, ditengah situasi konflik. Dengan sendirinya konflik mereda dan berhenti, mengalami ‘kekalahan’ termasuk dari kekuatan invicible hand (tangan Tuhan).
Kedua, struktural transformation; perdamaian yang berkelanjutan menjadi pilihan penting namun sulit ketika tidak ada pilihan yang lebih baik daripada dengan damai itu sendiri. Situasinya ketika itu tidak menguntungkan posisi salah satu pihak. Dalam konflik Aceh, struktur konflik yang tidak asimetris menjadi penghalang untuk mencapai penyelesaian yang adil dan permanen. Untuk mengubah struktur konflik, intervensi dapat dilakukan dengan memberdayakan pihak yang lemah baik dengan memberikan dukungan pengakuan atau dengan menekan pihak yang lebih kuat. Bahkan peran pihak ketiga dalam transformasi cukup strategis, bila perlu berkonfrontasi dengan pihak yang lebih kuat.
Ketiga, actor transformation; perubahan aktor yang berkonflik menjadi acuan utama perubahan peta konflik menuju penyelesaian. Dalam situasi dimana dominasi kekuasaan dan kewenangan militer digantikan perannya oleh institusi yang fokusnya pada rekonstruksi, recovery untuk bantuan kemanusiaan.
Keempat, issue transformation; ini menjadi fase penting ketika konflik mereda, masuknya proses gencatan senjata (case fire), amnesti, dan pemilu lokal meski belum menjadi jaminan terciptanya perdamaian berkelanjutan karena belum diikuti oleh proses pembangunan perdamaian yang menyeluruh, namun kian memudahkan para pihak menemukan “mufakat” perdamaian.
Kelima, personal and grup transformation; dorongan yang akarnya dari keinginan (passion), para pihak yang berkonflik. Melihat sisi bencana dan akibat yang ditimbulkan dari perang dan dampaknya bagi semua orang, sebagai pertimbangan untuk menghentikan konflik. Proses ini tidak sederhana karena cara pandang yang berbeda dari para pihak yang terlibat konflik.
Mengedepan intelektualitas
Di dalam proses itulah para pembuat konsep perdamaian, tokoh diplomasi memainkan pendekatan yang berbeda sebagai bagian dari babak baru menuju perdamaian dengan mengedepankan intelektualitas dari pada kekuatan fisik dan mesin perang. Tulisan dalam format perjanjian-perjanjian termasuk MoU Helsinki yang kemudian disepakati bersama menjadi bagian dari “senjata” diplomasi.
Dan menjadi benar apa yang diutarakan Nazamuddin, ketika berdialog dengan Hasan Tiro, di Lidinge, Stockholm 3 April 2006, bahwa menulis menjadi senjata yang lebih ampuh dari senapan mesin. Seperti kata orang bijak, jika ingin besar menulislah, jika anda orang biasa menulislah. Meski kata Salman Yoga, penulis asal Tanah Gayo, ikrar Rasullulah pertama di Gua Hira’ adalah iqra’ (bacalah), bukan tulislah!
Namun, perintah baca itu muncul karena tulisan-tulisan kandungan firman telah ditetapkan Allah Azzawajala di Lauhul Mahfuz. Dan dengan perantaraan malaikat Jibril tulisan-tulisan itu diperdengarkan, dibacakan dan kemudian menjadi tuntunan paling hakiki yang kita kenal dengan Alquran. Bahkan dengan basis argumen serupa, dengan menyebut bahwa menulis sunnah Nabi dan Berdamai Sunatullah, Herman RN yang penyair berujar: “Karena saya umat Nabi maka saya menulis”.
Sebagai buah terindahnya, panjangnya konflik kurang lebih tiga dasarwarsa, pada akhirnya reda lewat perjanjian perdamaian Helsinki pada 15 Agustus 2005. Seperti kata petuah hadih maja: Pat ujeun yang hana pirang, pat prang yang hana reda. Bek ta meuprang sabe keudroe-droe, hanco nanggroe reuloh bangsa.
Bahwa proses menuju damai abadi harus terus dirawat, sehingga menjadi perdamaian yang tak tergantikan oleh konflik lagi. Sedramatis apa pun “gesekan” dalam nanggroe saat ini, mestinya kondisi tak perlulah menjadi buruk dan damai tetap lestari di tanah endatu ini. Semoga!