Tulisan ini sengaja saya tulis untuk menanggapi tulisan dari Muhadzdzier M. Salda di media ini tempo hari yang berjudul “Dialog Dini Hari, Edi dan Ide”. Tanggapan ini cukup berlebihan memang mengingat mungkin saja tulisan itu menurut saya, dan mungkin menurut semua orang, hanya semata-mata untuk hiburan dan hanya perlu ditanggapi sambil lalu. Anggapan ini tentu bukan tanpa alasan sejak saya tidak melihat satu pun poin kritis yang patut ditanggapi serius.
Bukan, ini bukan tentang Dialog Dini Hari dan seorang philanthropy seperti Edi Fadhil yang dikemukakan oleh Muhadzdzier. Saya adalah pendengar DDH sejak lama (dan Navicula, tentunya) dan pengagum orang-orang yang melakukan kerja-kerja sosial tanpa pamrih seperti Bang Edi Fadhil. Salut atas ulasan atas perkara ini, menunjukkan kita memiliki selera yang sama. Tos!
Ini adalah tentang penerima beasiswa luar negeri dari pemerintah dan ‘adek-adek selpie’ yang disinggung olehnya. Dalam tulisannya, Muhadzdzier menuduh penerima beasiswa pemerintah Aceh hanya bisa selfie di luar negeri tanpa memberi kontribusi nyata apapun terhadap Aceh. Ketakutan saya akan adanya anggapan yang salah dan mengubah pola pikir masyarakat sebagai akibat dari tuduhan yang tidak berdasar itu yang menjadikan saya perlu menuliskan tanggapan. Yang kedua, tulisan ini sengaja saya layangkan ke media yang sama dimana tulisan itu dimuat semata-mata sebagai penguji bahwa media yang dimaksud cukup independen dan menghargai dialektika yang konstruktif.
***
Kicauan Muhadzier soal penerima beasiswa luar negeri pemerintah bukanlah hal yang baru bagi orang-orang yang mengenal beliau. Frekuensi keluhan akan adek-adek selpie dan beasiswa luar negeri bagi mahasiswa Aceh sebenarnya sudah sangat sering dilakukan di postingan Facebook yang bersangkutan. Namun sesering apapun itu, dan setidak-berdasar apapun kritikannya, saya merasa tidak berhak untuk menanggapi (apalagi dengan serius) analisa serupa itu mengingat kebebasan berekspresi adalah hak setiap insan. Lagi pula mungkin beliau sedang dalam keadaan ‘banyak pikiran’ dan keluhan yang demikian rupa hanyalah pelampiasan atas kebuntuan-kebuntuan yang ada. Menanggapinya dengan serius tentu saja akan membuat semakin tambah banyak pikiran. Tapi saya bersyukur kali ini dilampiaskan ke sebuah media publik seperti ini, sehingga saya memiliki alasan untuk menanggapi dengan cara yang semoga saja tidak merusak hubungan personal saya dengan yang bersangkutan.
Agar tidak ada dusta diantara kita, saya ingin memperjelas posisi saya disini. Saya sendiri adalah satu dari sekian banyak penerima beasiswa Pemerintah Aceh yang sedang melanjutkan studi di luar negeri. Sebenarnya saya masuk daftar lulus cadangan pada tahun 2014 (karena ketatnya persaingan pendaftar dan kuota yang terbatas), dan ditahun selanjutnya terpaksa harus kembali menguji nasib setelah mempersiapkan diri untuk meningkatkan persyaratan lainnya. Sementara itu saya juga mendaftarkan diri pada beasiswa-beasiswa yang lain dimana persaingan pendaftarnya dalam lingkup yang lebih luas sehingga menjadi lebih ketat. Dan yang lebih penting, saya bukan penganut mazhab selfie-ah.
***
Mari mulai dari apa saja yang selama ini menjadi poin kritikan Muhadzdzier tentang penerima beasiswa luar negeri bagi anak-anak Aceh. Sialnya saya kesulitan menemukan poin-poin yang lebih bernas selain; penerima beasiswa yang selfie diluar negeri dan apa kontribusi mereka setelah kembali dari studi. Selebihnya saya belum melihat ada kritikan yang lebih ‘berisi’ dan konstruktif. Sehingga wajar saya berasumsi, apakah maksud sebenarnya adalah tidak boleh ada beasiswa luar negeri dari pemerintah Aceh bagi satu pun orang-orang yang ada di Aceh?
Poin-poin kritikan ini terlihat tidak terarah mungkin saja karena kesemuanya tidak berlandaskan data-data dan analisa yang jelas. Kesalahan pemahaman yang muncul di benak publik bisa beragam. Ketakutan saya, tuduhan dan analisa tidak berdasar seperti ini akan menimbulkan anggapan yang salah di masyarakat; bahwa orang Aceh tidak boleh dan tidak dibenarkan untuk disekolahkan ke luar negeri karena takut dicap “adek-adek selpie”. Pemahaman yang seperti ini tentunya keliru. Pembangunan paska konflik tentu tak bisa diasumsikan dari pembangunan fisik semata, seperti madrasah, akses jalan raya, masjid, dan sebagainya. Selain itu juga diperlukan peningkatan sumber daya manusia (bukan cuma mahasiswa) di berbagai sektor untuk menjawab tantangan zaman.
Bayangkan seandainya infrastuktur sudah memadai dan menuntut SDM yang lihai namun tidak ada orang Aceh yang mampu menjawab tantangan ini. Kira-kira kritikannya apa lagi? Mungkin akan berbalik, semisal “Kenapa dari sekian banyak uang yang ada di Aceh tidak dimanfaatkan untuk meningkatkan sumber daya manusianya?”, atau “rugi fasilitas dan infrastruktur mewah-mewah, tapi yang mengoperasikan orang asing”. Atau yang lebih awam, seperti “apa juga bilang Aceh kaya, sekolahin kami aja gak mampu!”. Jujur, saya mulai gagal paham dengan logika yang demikian.
Adalah sesuatu yang menggelikan membayangkan jika manusia-manusia yang ada di Aceh dilarang untuk belajar di luar negeri. Jika negara lain berlomba-lomba menyekolahkan putra putri nya ke negara lain dengan tujuan membebaskan diri dari keterkungkungan peradaban, kenapa kita mesti memakai logika terbalik? Misal, belakangan saya baru sadar salah satu penyebab kenapa Cina menjadi sangat terdepan dalam perekonomian dunia saat ini. Ternyata, mereka adalah yang paling getol menyekolahkan manusianya ke negara-negara lain. Di tempat saya belajar saat ini misalnya, Birmingham Business School sering kali dipelesetkan menjadi Beijing Business School mengingat banyaknya pelajar asal Cina yang terdaftar disana. Terlepas dari mereka yang datang atas biaya pribadi atau sponsorship.
Dengan alasan yang saya sebutkan diatas, kita sampai pada kesimpulan awal: bahwa tidak ada yang salah dan tidak ada halangan untuk menyekolahkan putra putri Aceh ke luar negeri. Dengan jumlah dana yang besar yang dimiliki Aceh, mimpi-mimpi yang tidak dimiliki oleh anak-anak provinsi lain menjadi sesuatu yang mungkin bagi kita di Aceh. Seharusnya kita berbangga, bukan lantas mengutuk dan terkurung dalam penjara yang pikiran kita sendiri yang mengada-ada.
Jika pertanyaan yang muncul kemudian adalah, semestinya dana-dana yang besar itu dipakai untuk urusan lain seperti infrastruktur dan pemberdayaan ekonomi masyarakat, maka itu urusan kritikan yang lain. Dana yang sedemikian besar ini telah menjanjikan porsi-porsi yang lebih dari cukup bagi setiap aspek pembangunan kita di Aceh. Hanya perencanaan dan pelaksanaannya saja yang belum matang. Terbukti dari pengalaman beberapa tahun terakhir dari pemberitaan media tentang banyaknya sisa anggaran yang dikembalikan ke pusat. Ini menunjukkan bukan dananya yang kurang, tapi perencanaan dan pelaksanaan yang perlu dikoreksi. Kemudian muncul pertanyaan baru, lantas apa yang salah dan perlu diperbaiki dari program beasiswa luar negeri?
Saya mencoba berasumsi dan berandai-andai, karena tidak mungkin berangkat dari thesis ‘adek-adek selpie’ hasil karya saudara Muhadzdzier.
Pertama, saya berasumsi tuntutannya adalah mereka-mereka yang studi diluar ini memerlukan biaya besar, sehingga lebih baik diberikan ke mereka yang sekolah di universitas dalam negeri saja. Inilah yang disebut kritik tanpa data dan analisa. Beasiswa Pemerintah Aceh selama ini telah membagi beberapa prioritas daerah tujuan untuk beberapa program studi. Dan setahu saya, beasiswa ini juga ada beberapa jenis. Ada beasiswa korban konflik/reintegrasi, beasiswa penelitian skripsi/thesis/disertasi, beasiswa program jalur miskin, dan beasiswa regular.
Beasiswa regular ini pun terbagi menjadi dua, dalam negeri dan luar negeri. Beasiswa dalam negeri selain disiplin ilmu pada umumnya, didalamnya juga termasuk beasiswa dokter spesialis di beberapa universitas di Indonesia. Beasiswa regular luar negeri pun dibagi menjadi daerah prioritas tergantung program studi. Ada yang ke Asia Tenggara, Eropa, Amerika, dan jangan lupa, Timur Tengah. Jadi jika ada anggapan bahwa alumni dayah dan negara Timteng tidak menjadi prioritas, ini adalah tuduhan tanpa dasar. Ada banyak orang yang kita kenal saat ini sedang melanjutkan studi di negara-negara jazirah Arab.
Ini membawa kita pada kesimpulan kedua, bahwa sesungguhnya perencanaan (sekali lagi, perencanaan) dari komite beasiswa sebenarnya sudah cukup terarah. Proses dan pengalaman masa kinilah yang membawa kita pada perbaikan-perbaikan kedepan. Ingat lagi, ini adalah pengalaman pertama kita dengan beasiswa pemerintah provinsi yang sanggup membawa anak Aceh sekolah ke luar negeri.
Kedua, saya berasumsi jika tuntutannya adalah Bahasa Inggris sebagai persyaratan seleksi. Lagi-lagi ini menggelikan. Bagaimana Bahasa Inggris tidak dijadikan persyaratan sementara persyaratan masuk universitas saja belum apa-apa sudah mensyaratkan Bahasa Inggris? Bahkan universitas dalam negeri saja mensyaratkan standar tertentu untuk persoalan bahasa asing. Bukan apa-apa, ini lagi-lagi konsekuensi yang mesti kita terima sebagai bagian yang terjajah peradaban anglo-speaking countries. Ketika jurnal-jurnal perkuliahan yang beredar saat ini dijajah oleh Bahasa Inggris, mempelajari Bahasa inggris adalah keniscayaan yang mesti kita terima. Tentu kita tidak mungkin membatasi diri hanya karena perkembangan ilmu pengetahuan diokupasi oleh sumber-sumber Bahasa Inggris. Logika inilah yang dipakai oleh universitas dalam negeri untuk ikut-ikutan mensyaratkan Bahasa Inggris. Lagi-lagi ini konsekuensi peradaban.
Lalu, apakah syarat Bahasa Inggris ini sesuatu yang mutlak dan eksklusif? Jawabannya tentu saja tidak. Ada peradaban lain yang lebih unggul dari Bahasa Indonesia, yaitu Bahasa Arab. Bagi yang melanjutkan ke negara dengan Bahasa pengantar dan sumber literatur lughatul ‘arabiyah juga diwajibkan menyertakan Test of Arabic as a Foreign Language (TOAFL) sebagai persyaratan. Tanya mereka yang sedang disana jika tidak percaya, jangan tanya Telkomsel.
Kemudian ada kritikan lain, kenapa peluangnya tidak diberikan seluas-luasnya bagi siapa saja, baik memenuhi syarat Bahasa maupun yang tidak. Jawabannya butuh hitung-hitungan ekonomis sederhana. Bayangkan berapa banyak biaya yang mesti dianggarkan lagi untuk pembekalan Bahasa untuk sekian banyak pendaftar dengan kualifikasi yang sama. Padahal uang persiapan itu bisa menjadi dialokasikan bagi beasiswa orang lain. Tentu ada kritikan baru lagi berkaitan penghematan aggaran segala macam. Lagipula, jika seleksi dibuat selonggar mungkin, lantas apa sih esensi dari seleksi? Bukankah ketika keran persyaratan dibuka lebar akan membuat lubang bocor bagi nepotisme-nepotisme yang baru?
Mungkin ada yang beranggapan bahwa kecakapan Bahasa adalah bawaan lahiriah masing-masing orang. Mungkin pada suatu masa dahulu kita lahir masing-masing disertai sertifikat Bahasa (TOEFL/TOAFL/IELTS) oleh Ma Blien (bidan) dengan skor tertentu dan sifatnya mutlak. Sehingga wajar bagi kita mengeluh akan ketidakcakapan bahasa asing dan mencibir mereka yang sekarang ini mampu seraya menertawai standar persyaratan bahasa inggris komisi beasiswa. Seolah-olah kecakapan Bahasa adalah sesuatu yang lahiriah dan tidak perlu usaha untuk itu.
Saya sendiri adalah tipe orang yang percaya pada proses. Bahwa proses lah yang menghantarkan saya yang bangai dalam berbahasa asing sehingga mampu memaksa diri untuk memiliki nilai cukup dalam sertifikat bahasa asing yang disyaratkan. Teman-teman yang dahulu bersama-sama dengan saya tentu tahu kadar bahasa asing pas-pasan saya ketika kita meminta kesediaan seorang teman lain yang cakap berbahasa Inggris untuk menjadikan kami anak muridnya di kelas terbuka Bivak Emperom.
Tentu banyak orang lain yang bernasib sama seperti saya yang mengalami bagaimana harus melalui perjalanan yang sangat sulit untuk sampai sejauh ini. Saya teringat bagaimana harus memikirkan pemasukan tambahan untuk mengikuti kursus persiapan, berkali-kali mengikuti ujian Bahasa inggris di luar kota hanya untuk mempersiapkan syarat bahasa ini. Bukan biaya dan usaha kecil yang dibutuhkan. Tapi lagi-lagi keyakinan akan adagium “hasil tak mengkhianati usaha” membuktikan kemujarabannya. Bahwa saya mengenal banyak orang-orang disana yang saat ini sedang melanjutkan studi dahulu memiliki sejarah perjuangan dan pengorbanan yang tidak bisa disepelekan. Lagi-lagi ini adalah konsekuensi peradaban. Dan tentu saja ada orang yang tidak mau tahu apa lagi mengerti akan proses yang demikian.
Kemudian mari analisis asumsi selanjutnya, tentang apa kontribusi mereka yang sudah kembali dari studi diluar sana. Saya ingin kembali bertanya, bagaimana sih sebenarnya mengukur kontribusi seseorang? Apakah seorang yang belajar ilmu pertanian ke Thailand misalnya, harus menciptakan metode bagaimana cara panen padi 6 kali dalam setahun atau menciptakan mesin pertanian dengan label “made in Aceh”? atau seseorang yang belajar ilmu politik diluar ketika pulang berhasil membawa thesis bagaimana sebuah sistem pemerintahan baku yang mampu membawa masyarakatnya kepada kesejahteraan yang hakiki? Atau misalnya seorang yang belajar ilmu fiqih di Timur Tengah harus membawa pulang satu mazhab atau kitab fiqih baru hasil karangannya? Atau senaif-naifnya kontribusi, seperti yang seringkali dilafalkan yang bersangkutan, bagaimana para returnee ini mampu menyisihkan uang mereka untuk mereka yang tidak beruntung? Atau mungkin mesti menjadi pegawai di pemerintahan? Tentu tidak, kan?.
Ini menunjukkan sulit sekali menentukan kadar kontribusi seseorang dari hal-hal besar yang merupakan bagian dari sistem struktur yang lebih besar. Lagi pula, kalaupun mereka memberikan sesuatu kepada orang lain dan berbuat sesuatu yang baik, bukan berarti butuh publikasi yang besar agar orang tahu betapa mereka telah berbaik hati atas apa yang mereka dapatkan. Sudah saatnya mempertanyakan kontribusi masing-masing diri kita sebelum mempertanyakan milik orang lain seraya berlindung dari karya philanthropis seperti yang dilakukan Edi Fadhil.
Kontribusi adalah sesuatu yang sangat sulit diukur kasat mata. Ada diantaranya yang memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dengan penyesuaian realita empirik perkembangan zaman. Inilah guna beberapa konferensi karya akademik yang belakangan mulai marak di Aceh. Produk akhirnya bisa berupa saran kebijakan dan formula-formula yang masih terbuka pada tantangan-tantangan baru. Urusan eksekusi tetap bagiannya para umara di pemerintahan. Ada pula yang langsung dengan kontribusi fisik seperti menciptakan inovasi-inovasi yang berguna bagi masyarakat. Lagi-lagi semuanya sulit diukur. Ini sekaligus membantah anggapan bahwa mereka yang giat menulis di media lokal jauh lebih kontributif daripada mereka yang lalu lalang di jurnal-jurnal ilmiah. Kontribusi setiap orang berbeda-beda dan tidak bisa serta merta dipadu-padankan.
Kita telah sampai pada titik dimana saya sudah menjabarkan panjang lebar tanggapan terhadap asumsi dan tuduhan keliru yang selama ini dilayangkan terhadap fenomena studi di negara luar. Lalu apakah komisi beasiswa tidak ada cacatnya? Tentu ada. Beberapa kasus kecolongan seperti nepotisme dan salah sasaran, alokasi daerah dan bidang studi prioritas, dan urusan technical lainnya adalah kritik yang lebih baik untuk dilayangkan. Tentu kita tidak ingin jika ada pelaksanaan di lapangan yang salah (seperti meluluskan seseorang karena relasi) malah beasiswanya yang disalahkan. Ini malah menutup akses bagi mereka yang lulus secara murni dan benar-benar layak untuk diberikan kesempatan. Kedua-duanya, baik tindakan nepotisme ataupun menuntut dihilangkannya program beasiswa, adalah bentuk kemunduran peradaban ditengah usaha kita memajukan peradaban yang nyaris mandeg setelah beberapa periode konflik melanda Aceh.
Harapannya tentu saja kita berharap penyelenggara lebih banyak belajar dari pengalaman dan mengedepankan etika dalam melakukan seleksi. Untuk mencapai tujuan itu tentu saja kritikan dan masukan kita dari masyarakat sangat dibutuhkan. Tentunya kritikan berdasarkan data dan analisa yang membangun. Bukan kritikan yang salah kaprah dan berlandaskan sentimen personal, sehingga malah membuat orang lain teragitasi untuk berpikiran bahwa anak-anak Aceh tidak boleh sekolah diluar karena takut dilabeli sebagai “adek-adek selpie”.
Lagi pula selfie tetaplah selfie. Mau selfie didepan Eiffel, Big Ben, Burj Khalifa, Bunderan HI, Jam Gadang, Baiturrahman, warung kopi, kamar tidur, kamar mandi, selfie tetaplah selfie yang pernah dikategorikan sebagai symptom narsisme. Tidak elok mengasosiakan mereka yang sedang diluar sebagai anak-anak yang cuma bisanya selfie semata. Karena selfie bisa terjadi pada siapa saja. Termasuk pada abang-abang yang menjadikan status Facebook sebagai media perjuangan rakyatnya. Tetapi bukan berarti label “abang-abang selpie” patut dilakapkan pada sosok yang demikian. Semuanya karena satu hal, karena kita sudah sama-sama dewasa untuk hal-hal demikian rupa dan cukup mampu menilai dengan kritis dan logis.
Terakhir, harapan saya pribadi. Jika pun tulisan ini ditanggapi kembali, maka sedianya ditanggapi dengan poin-poin analisa yang masuk akal dan tidak bersifat ad hominem. Semuanya untuk tujuan bersama, yaitu perbaikan sistem beasiswa pemerintah yang selama ini sedang dibangun. Jikapun tidak ditanggapi, sedianya ini menjadi kontra-argumen atas analisa-analisa tidak berdasar yang terlanjur dilontarkan ke publik. Jika pun melalui tulisan ini menimbulkan murka dari yang bersangkutan, maka sudah selayaknya terlebih dahulu saya yang meminta maaf. Maaf ya, Bang! ☺. []