MENATAP laut kehidupan, manusia menyatakan keterbatasan adalah nihil. Situasi daratan yang selalu dibatasi oleh wilayah kekuasaan, adat, pemerintahan dan sebagainya pada saatnya menjadi nihil. Reaksi terhadap nihilnya batas-batas oleh jarak hanya dimungkinkan dengan manusia mau dan mampu memandang bahwa lautanlah yang menyatukan.
Alasan pemerintah menyiasati Indonesia agar kembali berjaya di lautan bukanlah pepesan kosong. Tindakan pemerintah yang didasarkan memandang lebih luas wilayah kesatuan dan persatuan ke-Indonesia-an itu sendiri merupakan azas kembali kepada konteks kejayaan masa lalu yang tentu saja guna meraih “jaya” kembali di masa depan.
Laut adalah wilayah yang penuh kekayaan. Selama ini, citraan tentang laut sering banyak ditemui pada lukisan-lukisan terkait alam pesisir. Replika laut dalam berbagai karya kesenian dan kebudayaan alangkah jamak memandang semata dari segi keindahannya belaka, namun siapa tahu di sebalik keindahan yang dipandang secara majemuk itu terdapat azas-azas lain, menghamparkan keluasan dari berbagai segi tiada batas.
Pada saat manusia mengalami perbenturan identitas, perbenturan citra dan bahkan persinggungan kekuasaan akibat daratan yang dipandang sempit itu, laut adalah alternatif. Jayanya suatu bangsa tidak bisa lepas dari jayanya bangsa tersebut menjejaki dan menguasai lautan yang dimilikinya. Namun apakah sesungguhnya rasa memiliki tersebut? Memiliki dan memilih untuk terus mempertahankannya.
Di darat, manusia saling berebut lahan, menyatakan kelola dan berhak atas hasil apapun di atas tanah yang dikuasai. Hujan tidak turun untuk mereka saja yang menanam, hujan juga milik mereka yang tidak memiliki tanah. Kekuasaan terhadap tanah yang sesungguhnya milik Tuhan selanjutnya menghadirkan kesombongan, kesembronoan, kekeliruan terhadap kelola buta. Kekuasaan yang sedemikian itu kepada darat telah menghancurkan nilai-nilai kebudayaan turunan dari bangsa penakluk lautan ini. Demikian artinya kemampuan anak cucu keturunan bangsa penakluk lautan itu sesungguhnya menurun. Manja terhadap apa yang diwarisi, para pemilik dan penerus kepemilikan tanah selanjutnya menciptakan niat mengucilkan dunia yang maha luas ini.
Kebudayaan adalah seperangkat kebiasaan yang menciptakan ketinggian akal dan ilmu pengetahuan dalam menciptakan kemaslahatan sesama makhluk hidup, tidak semata-mata makhluk jenis manusia belaka. Kebudayaan pada kanvas lautan yang digambarkan Tuhan itu melalui ayat-ayat penciptaan langit dan bumi serta segala isinya menuntun kebijaksanaan dan keadilan. Kebudayaan yang merefleksikan laut adalah peluang menciptakan kesejahteraan bersama, menembus batas, memunculkan harapan, menghadirkan rasa damai, bukan rasa takut karena batasan daratan yang cenderung dibuat-buat itu. Lautan adalah kasih sayang yang menggelorakan kebudayaan suatu bangsa. Kemajuan teknologi manusia mendamaikan daratan yang terpisah adalah kebudayaan, kemajuan pemikiran manusia melintasi abad-abad yang pernah berlayar di keluasan lautan itulah kebudayaan.
Manusia Indonesia memiliki sejarah penguasaan lautan sejak dahulu kala. Laut bagi bangsa Indonesia yang mendiami wilayah kesatuaan daratan dan lautan ini adalah kejayaan terpendam. Sikap bangsa Indonesia untuk kembali menghargai warisan (laut) inilah yang dimaksud sikap kebudayaan asli bangsa. Sudah sekian lama sikap ini terkubur oleh pandangan-pandangan kebudayaan yang sempit dalam memandang apa dan bagaimana ketinggian harkat dan martabat sebuah bangsa. Bagaimanapun peliknya sejarah Indonesia dalam masa-masa perjuangan dan masa-masa pembangunan tidak bisa dilepaskan dari lautan. Keberadaan laut semestinya menginspirasi para seniman dan budayawan untuk kembali bersemangat menggali harta terpendam. Keadaan daratan yang kian penuh sesak jangan sampai mengaburkan pandangan luas kepada makna “tanah” dan “air” yang sering diucapkan Indonesia dalam lagu-lagu kebangsaan.
Tanah yang terlalu lama direplikasi sebagai wilayah kekuasaan sebaiknya biarkan disirami hujan kedewasaan dalam menggagas masa depan “air”, masa depan lautan. Kepercayaan diri bangsa untuk menghadapi lautan milik bersama sudah saatnya dikembalikan. Ketika taman laut menjadi tujuan wisatawan manca negera, ketika nyiur udara yang meniupi kulit tropis daratan Indonesia menjadi “nilai” dicari oleh para penikmat alam semesta, dan ketika hasil lautan yang selama ini dirampas dan dikucilkan makna kebesaran nilainya menjadi kesadaran bangsa untuk meninggikan laut mereka sepatutnya kebudayaan seiring sejalan mendampingi berbagai agenda pembangunan. Siapapun yang menganggap daratan semata saja yang dimiliki, sedangkan lautan disia-siakan maka ada baiknya para budayawan memugar akal dan pikiran bangsa ini agar tidak kian sempit. []