LEPAS dari mempermasalahkan jumlah liker (penyuka) sebuah situs berita online, saat ini berita ditulis oleh pewarta situs-situs itu disesuaikan dengan kepentingan-kepentingan. Kepentingan itu bisa bersifat objektif, maupun subjektif dari redaktur media. Tidak jarang karena tujuan kepentingan tertentu, suatu tulisan berita “jadi” disiarkan atau malah “tak jadi” disiarkan di situs yang diampunya. Para analis boleh bermanuver mencatat, mengilustrasikan simpulan mereka tentang sebuah media pemberitaan sedang memihak siapa? Dan pada dekade yang lain pula mereka para punggawa berita sedang membela siapa juga sekaligus melawan siapa dalam perang tulisan.
Berdasarkan pergerakan kemajuan dunia internet yang tak terbendung, jurnalisme online menjadi satu bagian penting untuk dikuasai para peminat pemberitaan (pembaca, penulis, pemilik media pemberitaan). Hal ini tergambar dari kehadiran jurnalisme online sebagai generasi ketiga setelah jurnalisme cetak dan jurnalisme elektronik. Pemahaman tentang kemajuan cyber media harus mampu melahirkan analisa yang tajam baik didasarkan pada waktu, topik, kajian maupun peristiwa news yang tiap saat mengalami perkembangan tak henti. Karena itu pula analisa yang objektif tentang memberitakan suatu topik pemberitaan atau malah mengalihkan suatu topik pemberitaan akan menempatkan kacamata yang tidak lagi samar dalam melahirkan pemahaman independensi jurnalisme di negeri ini. Independensi adalah paham kemandirian dalam menentukan sikap, melahirkan arah pandang yang membangun kemajuan peradaban sebagai sebuah bangsa bermarwah, tidak plin-plan dan bahkan terhindar dari arogan.
Tersiarnya berita korupsi pasca lahirnya lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 29 Desember 2003 silam telah menunjukkan lingkaran pemberitaan mengenai topik pemberantasan korupsi semakin besar dan terbuka, media cetak, media elektronik dan media online semakin menunjukkan pengaruhnya dalam pemuatan pemberitaan terkait korupsi di negeri ini, namun pertanyaannya adalah apakah dampak signifikansi dari banyaknya pemberitaan korupsi tersebut? Apakah korupsi di Indonesia semakin menurun atau malah sebaliknya pasca tersiarnya dengan mudah bab-bab episode korupsi baik di pusat atau di daerah? Apakah kinerja awak media dapat menyelaraskan tuntutan pemberatasan korupsi sehingga peluang berperilaku korup semakin kecil? Mengapa media online yang menyiarkan berita korupsi masih memilah milih tokoh-tokoh tertentu saja yang diberitakan kasus korupsinya? Independensi apa yang sudah mendalam menyikapi ramainya pemberitaan antar pihak pemilik media pemberitaan yang sesungguhnya pula memiliki pelindung dan pemilik saham koruptor pula?
Tantangan dunia media online tidaklah mudah berdasarkan problema rendahnya nilai dorong dari menurunnya budaya korupsi di Indonesia. Terkait korupsi berita yang dilakukan media tertentu atas dasar sarat kepentingan dalam upaya melindungi kelanggengan kekuasaan media yang dikelola telah menjadi “duri dalam daging” azas jurnalisme itu sendiri. Hari ini sebuah media menyiarkan buruknya suatu perilaku tokoh tertentu yang diduga terlibat korupsi, hari berikutnya justru malah menyanjungnya. Dengan pembatas yang jelas, media online sepatutnya meningkatkan fungsi dan peran pembangkitan budaya antikorupsi dimulai dari metode, kajian dan akses pemberitaan milik mereka masing-masing terdahulu. Saran ini terkait lemahnya fungsi-fungsi lembaga pers, lembaga komunikasi publik di masa kini akibat kebebasan pemberitaan yang kebablasan, tak terbendung lagi sehingga minim dan lemah pula pengawasannya.
Tidak setiap hari pemberitaan terkait korupsi yang disiarkan media online mampu menjadi cermin yang bening bagi masyarakat, itu akibat pilih tebang terselubung dilakukan redakturnya. Sedangkan Undang-Undang Pers no. 40 tahun 1999 Pasal 2 Bab II terkait Asas, Fungsi, Hak, Kewajiban dan Peranan Pers dengan jelas menyatakan : “Kemerdekaan Pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum”, sehingga pedoman bagi media online memberitakan topik korupsi tidak dibenarkan menyalahi prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum yang berlaku di Indonesia. Jika dugaan korupsi menjadi lebih hideline dibandingkan pemberitaan keputusan terpidananya pelaku koruptor, itu sama juga dengan melakukan upaya pelemahan supremasi hukum, alias lebih menghebohkan sesuatu yang belum terbukti kebenarannya dibandingkan memberikan penyadaran terhadap kemunculan fakta terkait keputusan hukum yang sudah jelas terkait korupsi.
Tidak jarang pemberitaan sepenggal-sepenggal terhadap kasus korupsi tertentu yang diberitakan oleh media cetak, media elektronik maupun media online ditengarai atas kucuran curah hujan yang berupaya mendinginkan kondisi panas pemberitaan, alias turun tangannya para pembela korupsi menjenguk para insan pers, pemilik media plush wartawan penulisnya demi melindungi dan menutupi kasus. Di daerah yang tergolong aman dari perilaku korupsi, tak jarang para insan pers malah mencari-cari persoalan untuk tujuan melahirkan rasa takut bagi pimpinan lembaga tertentu, bisa sekolah, instansi pemerintah lainnya sehingga perilaku intimidasi tanpa sadar dilakukan oleh kalangan jurnalis. Upaya menerapkan prinsip kebebasan pers yang tidak melanggar kode etik jurnalistik, tidak melemahkan pemberantasan korupsi dengan tetap memberitakan pemberitaan korupsi seimbang dan berkesinambungan.
Korupsi berita tidak selayaknya terus terjadi, apalagi terkait pemberitaan korupsi. Pengalihan isu dan membangun isu merupakan bagian yang khatam dilakukan berbagai media, namun sebaiknya alihkan isu yang tidak bernilai guna, bangun isu yang bermakna untuk mendukung pemberatasan korupsi di dunia pemberitaan. Seluruh kekuatan pemberitaan arahakan untuk menciptakan sinergisitas antarlembaga terkait lintas bidang baik ekonomi, politik, hukum maupun pendidikan. Relevansi dunia pers terhadap meninggikan nilai kebenaran dan kejujuran pemberitaan bagi masyarakat penting terus digalakkan. Menyongsong tantangan masa depan media online di Indonesia harus mampu mendapatkan peran signifikan sebagai penjaga waktu.[]