KEHADIRAN sebuah perguruan tinggi pada suatu daerah tentu sangat dinanti-nantikan oleh masyarakat setempat, karena dengan kehadirannya dapat membantu memudahkan generasi muda melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Khususnya bagi keluarga menengah ke bawah, hadirnya sebuah institusi pendidikan tinggi di sebuah daerah, akan mempermudah mereka yang berasal dari lapisan ekonomi lemah untuk menimba ilmu dan kelak menjadi sarjana.
Namun acapkali mimpi untuk menjadi orang sukses dengan hadirnya kampus-kampus tersebut, berubah menjadi petaka. Tidak sedikit yang ijazahnya tidak diakui oleh negara. Banyak pula yang izinnya telah mati namun tetap menyelenggarakan proses belajar mengajar yang ujung-ujungnya hanya menjadi tempat pendiri kampus untuk merengguk untung dengan menjual kepalsuan.
Apa yang penulis sampaikan di atas bukan klaim tanpa bukti. Ini merupakan hasil temuan lapangan yang juga marak diberitakan oleh koran-koran. Banyak yang kemudian mengeluh karena setelah sekian lama menimba ilmu, pada akhirnya negara tidak mengakui keabsahan ijazah mereka.
Di sisi lain, Bilapun sebuah kampus terdaftar dan ijazahnya diakui, tapi fasilitasnya belum layak disebut perguruan tinggi. Bayangkan, buku di pustaka sangat minim. Pelayanan terhadap mahasiswa buruk. Serta perilaku dosen pembimbing skripsi yang belagunya minta ampun. Mereka seolah-seolah “malaikat” yang harus diistimewakan oleh mahasiswa yang sedang menyelesaikan tugas akhir. Pada akhirnya barter pun terjadi. Si dosen yang mengerjakan skripsi mahasiswa dengan bayaran tertentu dan jaminan lulus sidang.
Pembodohan generasi
Salah satu tujuan untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi ialah untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan. Namun jika praktiknya seperti di atas, apa yang didapatkan? Bukankah Allah telah memperingatkan dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 9 sebagai berikut:
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”. (QS. an-Nisa’: 9).
Pernyataan ayat di atas, diharapkan bisa menyadarkan para dosen-dosen yang selama ini masih berkecimpung dalam menulis skripsi mahasiswa, karena perbuatan itu tidaklah terpuji dan membodohi generasi muda, jika ingin mencari tambahan pendapatan (income), masih banyak cara yang lain. Cukuplah generasi yang sudah tamat sebagai pelampiasan mereka.
Makanya tidak heran, jika posisi Indonesia berada di bawah Vietnam dalam hal kesadaran menulis karya ilmiah, belum lagi Aceh. Secara tes kompetensi guru saja se Indonesia, Aceh berada pada posisi nomor urut 30, padahal sebelumnya pada posisi nomor 27 dari 33 provinsi. Berarti, kompetensi guru di Aceh mengalami kemunduran, dari tahun sebelumnya.
Pernyataan di atas disampaikan oleh Dr. Sofyan A. Gani, MA sebagai pemateri pelatihan penulisan jurnal ilmiah, yang diadakan oleh senat Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh 7/1/2015.
Peran pemerintah
Untuk meningkatkan mutu pendidikan di perguruan tinggi swasta di Aceh tentu tidak terlepas dari peran pemerintah. Dalam hal ini, Kopertis/Kopertais lebih berperan dalam menertibkan praktik-praktik yang tidak baik untuk generasi muda ke depannya.
Kopertis/kopertais seharusnya jangan saja fokus melihat kepada pembangunan, jenjang pendidikan dosen pengajar, dan jumlah mahasiswanya, ataupun (sarana prasarana), tetapi mesti melihat bagaimana proses penulisan tugas akhir yang ditulis sendiri oleh mahasiswa dengan bimbingan dari dosen pembimbing. Bukan dosen yang menulis, jika seorang dosen ketahuan membuat skripsi mahasiswa dengan bayaran jutaan rupiah, kopertis/kopertais harus melakukan tindakan yang tegas, berikan sanksi. Jika tidak, maka pembodohan ini akan selalu berjalan dari generasi ke generasi selanjutnya.
Terakhir, jika tawaran di atas dapat diterima, penulis yakin, perguruan tinggi swasta di Aceh akan melahirkan generasi-generasi yang cerdas, pintar dan mampu bersaing dengan perguruan tinggi negeri di Aceh bahkan di provinsi lainnya.
Maka dari itu, penulis sarankan, perlunya sifat kritis dari semua pihak/ kalangan masyarakat, agar selalu aktif memberikan kritikan dan masukan kepada pemerintah, walaupun dalam praktiknya masyarakat Indonesia ini takut atasan tapi tidak takut sama Tuhan kata Alm. K.H.Zainuddin. MZ. Justeru itulah yang perlu kita ubah, agar ke depannya Aceh dapat melahirkan generasi-generasi yang berilmu pengetahuan yang tinggi.