Narmi (35) perempuan asal Kampung Cawang Gumilir, Kecamatan Muara Lakita, Kab. Musi Rawas, Sumsel, nampak tertegun di depan stand yang menjual makanan tradisional berupa tiwul, nasi jagung, sorgum, dan nasi biasa. Lauknya peyek dan kuah lele santan kuning.
Narmi dan penduduk Cawang Gumilir yang berjumlah 334 kk, atau 963 jiwa baru bulan lalu digusur oleh sebuah perusahaan bernama MHP yang menanam kalitus milik orang Jepang. Mereka mulai menggusur 17 Maret 2016.
Lahan pertanian dan pemukiman diratakan dengan tanah. Hanya peralatan dapur yang bisa dibawa. Ada yang melawan, tapi diteror. Akhirnya mereka terpaksa eksodus karena kalah berjuang. Korporat tak memberikan waktu untuk panen. Padi yang sudah menguning dibuldoser. Singkong digulung. Karet yang sudah berumur tiga tahun ditebang. 1500 hektar lahan dan pemukiman habis dalam waktu sekejap.
Dengan deraian air mata warga keluar. Seperti yatim tanpa orang tua, mereka layaknya sampah. Diusir paksa tanpa perikemanusiaan.
“Kami kalah. Semuanya sudah habis,” kata Narmi, ketika ditemui di Kambang Iwak, Kota Palembang,lokasi pameran KNLH Walhi.
Sutrisno, warga Cawang Gumilir, kepada aceHTrend.Co, Sabtu (23/4/2016) mengatakan petaka itu dimulai tiga bulan lalu. Mereka diwarning untuk segera pindah. Satu minggu sebelum kejadian, perintah gusur datang.
Kampung itu dibuka tahun 2011. Warga dari Lampung meminta izin kepala suku untuk membuka hutan. Izin didapat dan dibukalah pemukiman. Namun ketika kebun mulai memberikan asa, petaka datang.
Kini, Mereka mengungsi ke balai desa di Desa SP 6 Bumi Makmur. Sebagian sudah terganggu jiwanya. Pemkab tidak memerhatikan. Mereka hidup bagai pengungsi kalah perang.
***
Suhaimi, kolega aceHTrend.Co mencoba memnyicip makanan pokok warga Cawang Gumilir. Saya pun ikut mencoba. Tiga jenis makanan berupa tiwul, sorgum dan jagung bercampur dalam satu piring. Kuah santan kuning lele menjadi lauk.
“Kalau kami bisa makan dengan sambal, peyek atau begitu saja. Sesuai yang ada di dapur. Ini sisa penggusuran kemarin,” ujar Narmi.
Baik Sutrisno, Narmi dan warga lainnya bingung. Ke depan mereka tak punya lahan. Ancaman kelaparan mengancam. Walhi Palembang mendampingi mereka, namun tak pernah jelas nasip mereka ke depan. []