Buruknya pelayanan PLN Aceh seringkali dikeluhkan warga masyarakat. Bahkan menjadi bahan olok-olokan dalam media sosial. Malah kadangkala, jika mati listrik saya langsung menulis status mohon jangan melaporkan ke Ombudsman, karena kantor Ombudsman juga dimatikan listriknya. Maka, mampus, titik. Biasanya, Ibu Syarifah Rahmatillah merespon dengan menulis “Pak TW lapor aja ke Ombudsman, he he he”..
DALAM Islam kita diajarkan bahwa kehidupan ini hari harus lebih baik dari kemarin. Maka, celakalah orang yang kehidupannya hari ini lebih buruk dari kemarin. Bagaimana kehidupan listrik kita, lebih baik atau lebih buruk ? Dalam diskusi yang digelar Ombudsman Aceh beberapa hari lalu, beberapa peserta, termasuk Munawar Liza Zainal, mantan Walikota Sabang mempertanyakan pada Pimpinan PLN Aceh mengapa sering mati listrik, bagaimana konsekuensi dan pertanggungjawaban hukum PLN terhadap kerusakan alat elektronika akibat mati-hidup mati-hidup listrik sesukanya ?
Jawaban yang diberikan Pihak PLN menurut saya, tidak bijak dan tidak profesional. Dipertanyakan mengapa mati listrik. Jawabannya, banyak pelanggan yang tidak membayar, termasuk beberapa pemerintah kabupaten. Ditanya bagaimana pertanggungawaban PLN terhadap alat eloktronika rakyat yang rusak. Dijawab ringan saja, kualitas alat eloktronika tersebut tidak baik.
Tak habis pikir saya, mendengar jawaban Deputi Humasy PLN Aceh. Benar-benar jawaban bodoh, rendah dan menghinakan. Misalnya, tiga unit komputer dan satu unit televisi Kantor Ombudsman Aceh juga rusak. Alat-alat elektronika tersebut diadakan oleh negara dan bermerek bagus.
Dosen Senior Fakultas Pertanian Unsyiah, menyampaikan ke saya, Senin 25 April 2016, bahwa akibat matinya listrik, kegiatan di kampus praktis lumpuh. Begitu juga kegiatan administrasi. Banyak alat-alat peraga pembelajaran dan alat laboratorium, terutama yangmenggunakan instrumen digital, yang rusak. Pernahkah PLN menghitung kerugian rakyat dan kerugian negara akibat buruknya pelayanan mereka ? Apakah alat-alat milik Unsyiah berkualitas rendah seperti disinyalir oleh Humas PLN Aceh ?
Adalah fakta nyata yang dapat disimpulkan bahwa PLN Aceh telah merugikan rakyat, sekaligus juga merugikan negara. Merugikan rakyat jelas makna dan faktanya sehingga tak perlu lagi saya jelaskan. Sedangkan merugikan negara, karena akibat ulahnya banyak alat elektronika milik pemerintah yang dibeli dengan dana negara yang rusak karena PLN.
Kondisi Listrik kita saat ini paradox dengan fakta bahwa Aceh kaya sumberdaya alam, daerah modal, SDM hebat. Nyatanya, sudah lebih 70 tahun merdeka, mengurus listrik saja tak bisa. Kondisi listrik Aceh makin membuktikan bahwa negara seringkali tak hadir bersama rakyat. Padahal, yang diperlukan rakyat adalah “listrik hidup terus, titik”. Begitu ucap Munawar Liza. Rakyat pun tak perlu tahu dan gak usah mikir bahwa tunggakan 165 Milyar, karena sebulan terlambat bayar langsung dipotong. Apalagi listrik prabayar, yang sebenarnya pelanggan bayar duluan untuk PLN. Tampaknya jelas sekali, Pelayanan listrik Aceh tak sebagaimana yang dikehendaki oleh Undang-Undang No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Buruknya pelayanan PLN Aceh seringkali dikeluhkan warga masyarakat. Bahkan menjadi bahan olok-olokan dalam media sosial. Malah kadangkala, jika mati listrik saya langsung menulis status mohon jangan melaporkan ke Ombudsman, karena kantor Ombudsman juga dimatikan listriknya. Maka, mampus, titik. Biasanya, Ibu Syarifah Rahmatillah merespon dengan menulis “Pak TW lapor aja ke Ombudsman, he he he”..
Dulu, waktu diundangkannya Undang-Undang No 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, saya menulis opini di Serambi (29/10/2009), memberi apresiasi dan harapan tinggi akan listrik hidup terus terang dan terang terus. Artinya, menyala terus 24 jam sehari dan dikelola secara transparan di bawah payung hukum. Namun nyatanya, lembaga penyelenggara ketenagalistrikan yang ada belum mampu memenuhi harapan kita.
Berbeda halnya dengan Undang-Undang Ketenagalistrikan masa lalu (UU 15/1985) yang sama sekali tidak memiliki prinsip otonomi daerah, yang karenanya tidak sedikitpun memberi kewenangan penguasaan kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan ketenagalistrikan. Kebijakan perlistrikan masa lalu masih berparadigmakan sentralistik, dimana pemerintah pusat adalah segala-galanya sebagai epicentrum penyelenggaraan kelistrikan di bawah tata kelola Perusahaan Listrik Negara (PLN). Hasilnya, sama kita maklum,,,, tidak menggembirakan.
Kini di bawah payung UU 30/2009, dinyatakan bahwa penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh negara yang penyelenggaraannya dilakukan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah berlandaskan prinsip otonomi daerah. Untuk penyelenggaraan penyediaan tenaga listrik tersebut, Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menetapkan kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik yang dilaksanakan oleh BUMN dan BUMD (Lihat Pasal 3 dan Pasal 4).
Ketentuan di atas merupakan suatu kemajuan berhukum. Dalam rezim yang mengakui otonomisasi sekarang ini, pemerintah daerah juga diakui sebagai penguasa penyediaan tenaga listrik dan penyelenggara ketenagalistrikan. Ini berarti, bidang ketenagalistrikan pun melalui UU 30/2009 telah didesentralisasikan kepada daerah. Masalahnya, sejauhmanakah kesiapan Pemerintah Aceh menyahuti paradigma otonomisasi ini guna mengeliminasi krisis listrik?
Hukum sudah memberikan peluang kepada Pemerintah Aceh, terlebih lagi dalam UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, telah pula diatur pembagian urusan pemerintahan bidang energi dan sumber daya mineral, dimana ketenagalistrikan meruakan salah satu sub urusannya. Sekarang saatnya, demi kepentingan mempercepat pelayanan publik dan meningkatkan arus investasi untuk mewujudkan kemajuan, kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Aceh, maka Pemerintah Aceh kiranya dapat segera menaruh perhatian serius untuk menindaklanjuti kesempatan yang dibuka melalui UU 30/2009 dan UU 23/2014. Semoga dengan upaya ini, krisis listrik yang telah lama kita alami dapat teratasi secara pasti. Amin !!!