angin musim semi mengabarkan padaku
engkau tidak seperti dulu lagi
sayapmu sudah mulai berdebu,
tak kuat lagi
benarkah itu cinta?
aku memangil mu cinta
ya begitulah aku padamu…
sepatu putihmu yang dulu kau pakai wira-wiri membawa toa telah menjadi abu-abu
lidah merahmu yang kau pakai sebagai senjata mengutuk para penguasa memudar warna seakan semu
dan kepalan tangan kirimu yang lantang mengisyaratkan kegagahan ragamu bak pangeran berkuda .
dulu sering kau acungkan tanpa ragu pada mereka para penguasa
tangan yang melambangkan perlawanan kaum tertindas, kekuatan akar rumput dan perjuangan kelas demi membebaskan penindasan manusia atas manusia
aku menyaksikan segala kegaduhan itu…
dari kejauhan bahkan dalam dekapan…
aku penyuka ragamu, aku mencintai jiwamu, aku memuja mimpimu
aku lah sang pemuja itu…
kini aku…
telah kau buang perlahan tapi pasti
pelan-pelan sekali…
tangan kirimu ingkar janji…
sampai tangan kanan mu tak menyadari bahwa kau telah membuang ku hingga mati
mengapa…..?
nengapa kau lakukan ini….?
aku tidak mengerti
kau punya sayap untuk terbang ke surga
membawaku bersama mu dan juga anak-anak kehidupan
kau punya cinta untuk melumpuhkan syaraf pemuja
kau bahkan punya segalanya untuk mendapatkan semuanya
tapi mengapa kau tidak melakukannya
aku tidak mengerti
sama sekali tidak mengerti
apa yang bekerja di dalam otak mu
sejak dulu
sehingga mengalirkan disetiap nadi mu hingga kini?
kau rahasiakan itu dari ku
kufikir yang sedang kau bangun adalah idiologi tanpa penindasan
sehinga semua jiwa akan sejahtera degan sama rata sama rasa
ku kira kita akan bernasib sama saat kemenangan tiba…
kau beri aku keyakinan itu hingga cinta itu kulabuhkan padamu duhai kekasih hati ku…
jingga ku memujamu
tapi nyatanya kau hanya mengajak ku bermimpi indah ,
berhayal dalam lamun
kini kau biarkan ku tertidur begitu lama hingga mati suri
aku pikir yang kau besarkan adalah mimpi bersama duhai cinta
ternyata hanya menyusun anak tangga untuk rumah politik yang megah…
Ya…. yang kau bangun ternyata istana yang tak “peka” dan tujuan mu adalah singgasana…
singgasana yang kau bilang dengannya akan kau buat merah warna mereka…
harapan kami hanya satu padamu duhai kekasih…
jangan biarkan kami mati dengan mimpi-mimpi itu…
ingat kah kau dulu pernah berkata pada kami para pecinta mu
duhai kekasih hati?
“jangan terlalu riang ketika pagi datang…
jangan pula bermuram durja saat malam menjelang”
hanya malam yang mampu memberi “terang” jiwa-jiwa yang gelap
karena siang tak bisa memberi “malam” pada hati yang tercerahkan.
keyakinan itu yang kau berikan padaku sampai musim berganti sewindu aku masih saja memujamu kekasih hatiku…
duhai cinta….jangan curangi aku dengan penghianatan mu
duhai kasih jangan musuhi aku dengan keangkuhan mu
aku bisa mati karena itu. aku pernah memujamu karena mimpi bersama itu. kau ingin aku memujamu lagi. tunaikan lah janjimu wujudkan mimpi bersama dulu. bukan hanya aku yang nanti akan setia memujamu tapi juga mereka
percayalah pada ku…
kika kau masih percaya mimpi itu lakukan lah untuk ku…
maka kau akan memenangkan hati mereka.