Aliran Krueng Seukeuk yang mengalir di Kecamatan Tangse,Pidie, semakin deras. Warnanya coklat pekat, berbagai material yang bersumber dari hulu dihanyutkan dengan cepat. Volume air semakin tinggi. Suara deru air menampakkan kemarahan yang serius. Langit mendung, seakan memberi tanda bahwa petaka akan segera datang.
Teungku Salman, alumni Dayah Peudada,Bireuen, masygul menatap deru sungai yang tak bersahabat. Berkali-kali ia menarik nafas. Ada gurat gundah di wajah ustad muda itu. Jelang sore, ia memerintahkan seluruh aktivitas Zawiyah Darul Asrar dihentikan.
Seluruh santri pun segera berbenah. Barang yang mungkin dibawa, segera diangkut. Satu jam kemudian semua penghuni dayah mengungsi ke tempat tinggi.
Tengah malam, di tengah rinai hujan, Sungai Seukeuk benar-benar mengamuk. Banjir bandang datang. Sungai meluap sambilan menyeret apapun. Dua batang kayu rimba berukuran besar, malam itu bertugas sebagai buldozer,termasuk meratakan komplek dayah Darul Asrar.Teungku Salman hanya bisa menatap peristiwa itu dengan perasaan sedih, tapi tidak kecewa. Peristiwa itu terjadi tanggap 29 November 2015.
Besok pagi,ketika sinar mentari menerangi alam terhamparlah pemandangan. Komplek dayah sudah rata dengan tanah. Bantaran sungai dipenuhi dampah dan puing. Teungku Salman menatap nanar. Kebun buah Naga, Kurma yang mulai berbuah dan dayah yang ia usahakan dengan cucuran keringat, kini sudah tak lagi ada.
“Dayah ini saya bangun tahun 2010 dan diresmikan 2011. Awalnya saya dirikan di bantaran sungai Seukeuk. Namun Allah tidak mempertahankan tempat itu terlalu lama. Banjir bandang telah menghapus tempat ini,” ujar putra asli Tangse itu, Kamis (28/7/2016).
Tak mau berlarut dalam duka. Teungku Salman segera bergerak. Dengan memanfaatkan material banjir, ia mulai membangun dayah darurat. Bersama warga dan santri Salman bekerja siang malam. Ia pun membeli tanah di dekat dayah lama. Di sanalah ia memancang barak darurat.
Satu persatu santrinya yang sempat pulang,kini mulai kembali ke dayah.
“Sebelum musibah, pengajian di dini full. Namun karena sekarang serba darurat, terpaksa ada kelas yang kita kurangi aktivitasnya. Yang mondok full saat ini berjumlah 60 orang. Selebihnya santri non mondok,” ujar ustad yang menguasai ilmu pertanian, perbengkelan dan ilmu bangunan.
Teungku Salman juga bercerita, sebelumnya di dayah yang ia pimpin, juga membuka bengkel karoseri dan kebun buah naga.”Cita-cita saya, santri di sini, juga menguasai keahlian tangan yang berguna untuk bertahan hidup sambilan menegakkan Islam,” katanya.
***
Kini, Teungku Salman sedang berjuang membangun kembali dayah Darul Asrar. Proses belajar agama sudah pun normal walau dengan fasilitas sangat tidak mendukung.
“Saya selalu membuka dan terbuka. Siapapun boleh datang ke sini untuk membantu atau pun mengantar calon santri. Alhamdulillah di sini tidak ada uang bulanan. Bagi saya, uang bukan segalanya. Apalagi santri di sini rata-rata dari keluarga miskin. Mereka mau belajar agama saja sudah sangat luar biasa. Saya tidak mau membebani pikiran mereka dengan dana,” katanya.
Hari itu, Yayasan Zam Zam, datang membawa sumbangan berupa Quran, siwak dan sejumlah dana. Teungku Salman mengucapkan terima kasih.
“Alhamdulillah. Insya Allah akan kami pergunakan dengan sebaik-baiknya,” ucap Teungku Salman kepada Pembina Yayasan Zam Zam, Zamrony.
**”
Kumandang azan magrib bergema. Para santri mengambil wudhu. Mereka merapatkan shaf untuk shalat. Angin berhembus dari puncak bukit. Barak-barak darurat disapu dingin. Namun gema memuja Ilahi terus menghangat di dayah di kaki gunung itu. []