Studi mengenai Singkil memang sangat terbatas, dan cenderung secuil jika dibandingkan dengan studi sejarah Aceh yang banyak dilakukan oleh para penulis dan pengkaji. Sepertinya, kurang tertariknya penulis untuk melakukan kajian-kajian mendalam terhadap dan tentang Singkil, disebabkan oleh beberapa faktor, terutama karena jarak wilayah ini yang sulit dijangkau oleh pusat lokomotif urban di Aceh.
Selain itu, literasi tentang Singkil tidak muncul dengan percikan epos seperti di Aceh. Terakhir, karena Singkil sempat mengalami beberapa kali bencana alam yang telah menenggelamkan sisa peradaban Singkil lama, seperti jejak kota tua dan kehidupan warga sebelumnya, yang sangat bermanfaat sebagai basis data pendukung dalam menafsirkan narasi historis.
Tulisan ini sendiri, menjadi bagian mengungkapkan secara ringkas eksistensi Singkil di masa lalu, terutama jejak Kapur Barus yang pernah mengharumkan wilayah perbatasan Aceh tersebut. Kapur Barus sendiri, telah menjadi ikon sejarah Singkil, terutama dalam dunia perdagangan dan ekonomi tempo dulu. Tentu saja, tulisan singkat ini masih banyak kekurangannya. Selain itu, keterbatasan ruang untuk hamparan narasi, sehingga beberapa aspek historis yang sesungguhnya penting-terpaksa tidak diikutsertakan.
Kapur Barus atau Kapur Singkil ?
Satu kesempatan, Damhuri (Sekda Kota Subulussalam) bercerita dengan bangga mengenai kehebatan dan kegemilangan Singkil (baca ; Singkel) di masa lalu pada saya. Ia mampu bercerita dengan narasi yang mengalir, dan terstruktur sejarah Singkil yang pernah membanggakan layaknya Aceh tempo dulu, yang selalu dibanggakan oleh kebanyakan orang Aceh.
Berbekal semangat historis ini pula, yang mendorong elite di Kota Subulussalam sebagai kota yang juga masuk dalam catatan sejarah teritorial Singkil, bercita-cita untuk memajukan kota ini layakya kebanggaan ratusan abad silam. Apalagi, realitasnya Kota Subulussalam memang bergeliat kencang sejak dimekarkan. Pertumbuhan ekonomi dan geliat aktifitas kota ini begitu terasa atmosfernya hari ini sebagai kota lintas Aceh-Sumatera Utara.
Di antara komponen cerita yang menarik bagi saya adalah keberadaan kapur Barus yang pernah mendunia keberadaannya tempo dulu. Sejatinya, menurut Damhuri, Kapur Barus adalah Kapur Singkil, karena material dan bahan bakunya memang berasal dari Singkil. Bahkan, secara Botani, struktur tanah Singkil memiliki kecocokan kelayakan tanaman Kamper sebagai basis material kapur Barus untuk ditanam. Tidak hanya secara konsep pertanian, hingga sekarang beberapa batang Kamper masih dapat ditemukan dalam hutan Singkil.
Selanjutnya, menurut Damhuri, ada tiga manfaat pohon kamper yang dielu-elukan itu. Pertama, gelondong kayunya sebagai material pembangunan tempat tinggal dan material industri lain. Kedua, kapur barus yang dulu, materialnya dianggap penting, karena digunakan untuk mengawetkan mayat di beberapa negara sepeti Mesir, sehingga permintaanya tinggi, dan ketiga, minyak pohon kamper, dapat digunakan untuk obat luka, menyebuhkan sakit perut dan urut (Singkil : minyak ombil), yang hingga sekarang masih digunakan oleh sebagian penduduk Singkil, dan masih dapat ditemukan di sana.
Karena itu, kebutuhan terhadap pohon kamper, terutama kapur Barus menjadikan Singkil kian strategi saat itu. Namun, penamaan Kapur Barus menurut Damhuri menjadikan Singkil kabur. Padahal, pohon tersebut justru dari Singkil.
Menurutnya, karena saat itu memang Barus adalah pusat perdagangan dan pelabuhan terbesar yang ada di pesisir Sumatera Utara. Banyak barang dan material, termasuk kapur barus dari Singkil dikirim melalu pelabuhan tersebut, sehingga kemudian oleh dunia luar dikenal dengan istilah Kapur Barus (Kapur dari Barus). Meskipun, sejatinya itu adalah Kapur Singkil.
Sebagai perbandingan dan logika klaim sejarah yang disebutkannya, Damhuri memberi contoh Kopi Ulee Kareng yang kini juga mendunia layaknya Kapur Barus. Apalagi di Medan, brand Kopi Ulee Kareng dapat ditemukan di setiap persimpangan jalan, layaknya Star Buck. Padahal, di Ulee Kareng sendiri tak ada tanaman kopi. Tapi, karena warung kopi menjamur dan episentrumnya ada di Ulee Kareng, semua material kopi yang didatangkan dari beberapa tempat menjadi mark dan brandnya Ulee Kareng. Pun demikian dengan Kapur Barus yang material utamanya dari Singkil, trade mark-nya menjadi milik Barus.
Sisa Jejak Kapur Barus di Singkil
Hingga tahun 1980-an, tanaman Kapur Barus yang lebih dikenal dengan Pohon Kamper masih banyak ditemukan di hutan Singkil. Menutu Aslim Kombih, seorang birokrat di Singkil, saat terjadi bom kayu, istilah penebangan besar-besaran yang terjadi seiring beralihnya HPH ke HGU sebagai titik awal menjamurnya tanaman sawit di Singkil, banyak pohon-pohon kamper ikut ditebang.
Gelondong pohon kamper menjadi salah satu jenis pohon sasaran penebangan masif saat itu, yang jumlahnya berton ton, lalu dikirim melalui pelabuhan-pelabuhan laut, hingga kemudian muncul instruksi disertai sikap pelarangan penebangan dari Mayjen Teuku Johan (Wakil Gubernur Aceh) saat itu, baru kemudian praktik tersebut dihentikan.
Pun demikian, awal abad ke- 20 M, saat gelombang migrasi dari Sumatara Utara mulai datang ke Singkil, seorang penduduk di Kecamatan Danau Paris yang masih bermarga Pakpak, bercerita tentang sejarah orang tua dan kakeknya pada saat awal ke Singkil dari Pakpak Bharat Sumatera Utara tahun 1918 M.
Sebagaimana diketahui, Singkil secara topografi berhubungan langsung dengan wilayah perbatasan Sumatera Utara. Karena itu, perpindahan penduduk dari provinis tetangga, terutama Tapanuli Tengah dan Pakpak Bharat ke Singkil menjadi fenomena etnomigrasi sejak berpuluh tahun dengan alasan politik dan ekonomi. Menurut warga tersebut, pada saat pertama sekali datang ke Singkil, kakeknya, masih penganut animisme (Pambi).
Menurutnya, situasi politik kolonial hingga pengusiran oleh Belanda adalah alasan politik beberapa penduduk Pakpak Bharat pindah ke Singkil. Namun, peranan ekonomi juga menjadi sebab mereka menetap di Singkil, terutama karena di Singkil banyak sekali terdapat minyak kayu kapur yang dapat dijadikan obat sakit perut dan penyembuh luka. Karena itu, banyak penduduk pendatang dari Pakpak saat itu, memilih bekerja sebagai pengepul dan pengumpul minyak kayu kapur di Singkil.
Memang, sejak dulu, keterlekatan penduduk Singkil dengan masyarakat pedalaman Batak telah disebutkan. Dalam kajian Lombard terhadap Hikayat Aceh, disebutkan bahwa hikayat tersebut sempat dua kali berbicara mengenai penduduk perbatasan dan pedalaman Aceh (Singkel). Lombard menyatakan bahwa sebenarnya hubungan Aceh dengan orang pedalaman Aceh, termasuk orang Batak-meskipun kurang akrab dari sisi hubungan emosional, dan hubungan administrasi, namun hubungan dagang terus berlangsung.
Hasil hutan yang dikirim ke Aceh, berupa Minyak Tanah dari Deli, Kamper (Kapur) dari Singkel, sebagai penghasil kamper setiap tahun dalam jumlah yang banyak, yang dikumpulkan dari Surat dan dari pantai Koromandel, dan dibeli dengan harga 15, 16 real sekati, timbangan 28 ons, pun orang Barus, seperti orang Batahan juga mengumpulkan Kamper terbaik, namun dalam jumlah sedikit.
Justru mereka, orang Barus lebih banyak menghasilkan kemenyan, yang sering disebut menyan Barus yang terkenal di semua pulau, beberapa teks Melayu turut membedakan kemenyan putih dan hitam, orang Barus bahkan memakai kemenyan tersebut (tidak menggunakan uang lain), untuk membeli apapun (Lombard, 2007 : 98-99).
Narasi dari buku Lombard ini, ikut menegaskan Kamper (Kapur) dari Singkel sebenarnya. Pun demikian, deskripsi Lombard yang disadur dari Hikayat Aceh, menempatkan Singkel segaris dalam kultur dan geopolitik Batak sebelumnya, sebagai penghasil kamper dan menempati teritorial lintas Batak.
Karena itu, dalam almanak Pemerintah Hindia Belanda pun, Singkel digabung dalam Residen Tapanuli (Universitas Nomensen, 1989, dalam Sri Wahyuni, dkk, 2003 : 10). Baru kemudian, dimasukkan dalam wilayah Aceh.
Tulisan Dirman Manggeng dalam sebuah blog, juga pernah mendeskripsikan hasil alam Singkel, yang masuk Pohon Kamper (Kapur Barus) di dalamnya, di mana barang-barang yang dikirim melalui pelabuhan Singkil pada tahun 1851 mencapai 300.000 Gulden. Barang-barang yang paling bernilai diekspor melalui pelabuhan Kota Singkil adalah lada.
Hasil bumi lainnya yang berasal dari wilayah Singkil yang di ekspor melalui pelabuhan Singkil adalah minyak Nilam, damar, karet, gambir, kelapa, rotan dan kapur. Saya sempat dikirim sebuah foto kapal pengangkut hasil alam Singkel pada masa kolonial, oleh seorang teman dari KITLV, yang langsung bertuliskan Singkeldi dinding kapal besar tersebut, di foto tercantum tahun 1916 M.
Saksi dan data sejarah ini, cukup untuk menegaskan peran penting material dan sumber daya alam Singkil di mata kolonial untuk diekspor keluar.
Akhirnya, narasi dan data historis tersebut cukup untuk membuktikan bahwa kapur Barus yang fenomenal seyogjanya adalah Kapur Singkil sebagaimana diklaim oleh Damhuri.
Namun, karena pelabuhan dagang pada saat itu ada di Barus, yang masih satu teritorial dengan Singkil, maka penyebutan kapur Barus lebih familiar. Tentunya, sejarah Singkil tidak sebatas kapur Barus, beberapa komponen lain tentang kegemilangan sejarah Negeri Fansur tersebut masih berserakan seperti puzzle, yang butuh disusun menjadi lebih komprehensif.