ACEHTREND.CO, Aceh Barat – Krueng Bumee, Desa Meutulang, Kecamatan Panton Reu, Kabupaten Aceh Barat, terasa mencekam. Padahal, sungai tempat terjadinya ledakan peluru pelontar LGM yang melukai dua remaja adalah sumber kehidupan warga. Kisahnya, dahulu sungai ini pernah menjadi lintasan para pihak berkonflik, dan pernah ada kejadian anggota pasukan yang nyaris hanyut.

***
“Suasana lingkungan masyarakat sekitar masih mencekam, sudah tidak ada lagi aktivitas masyarakat mencari ikan di aliran sungai setempat karena trauma,” kata T Saifullah, Kepala Desa Meutulang, Panton Reu, Kaway XVI, Aceh Barat.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, dua remaja desa Meutulang, Kecamatan Panton Reu Kabupaten Aceh Barat, terpaksa dilarikan ke Rumah sakit umum Cut Nyak Dien Meulaboh, lantaran luka parah di bagian wajah dan kaki diduga terkena ledakan bom rakitan atau peluru pelontar GLM, Sabtu (30/7/2016) yang diduga merupakan peninggalan masa konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM)-Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) puluhan tahun silam. Dua remaja itu adalah Samsuar (12) dan Fahrul (16).
Menurut Saifullah, meskipun kejadian itu murni sebuah kecelakaan, namun telah berdampak terhadap perekonomian masyarakat yang selama ini bergantung hidup mencari ikan di aliran sungai tersebut dengan menyelam, memancing maupun menjaring secara ramah lingkungan.
Lokasi Tempat Kejadian Perkara (TKP) dengan temuan amunisi itu hanya berjarak sekitar 5 meter dari sungai, dan sekitar 400 meter dari perumahan warga. Belum diketahui kisah bagaimana peluru pelontar itu bisa berada di dalam aliran sungai, kemudian dua anak itu menemukannya saat menyelam menombak ikan.
Suara ledakan itu sampai terdengar dalam radius 4 kilometer lebih, sehingga semua masyarakat di perkampungan itu kaget seolah ada letusan ban mobil enterkuler di kampung mereka, saat itu suasana masih seperti biasa.
T Saifullah yang ditemui dikediamannya menceritakan bagaimana eratnya hubungan masyarakat dengan sungai itu, sebagai sumber perekonomian, kebutuhan keluarga dan untuk mengaliri air ke sawah-sawah petani.
“Pada siang hari, sungai itu dipenuhi anak-anak sepulang sekolah, dan ada juga para remaja. Mereka baisanya mencari ikan. Pada malam hari giliran orang dewasa. Sejak terjadi ledakan itu sudah dua hari ini tidak ada aktivitas di aliran sungai karena masyarakat masih takut,” cerita Saifullah dihari Minggu (31/7/2016) menjelang sore.
Usai bercerita sekitar satu jam di rumahnya, Saifullah mengajak kami, mendatangi lokasi kejadian ledakan peluru pelontar itu, ternyata posisinya hanya berjarak sekitar 500 meter dari perumahahan, pasalnya sungai itu berada ditengah perkampungan warga dan setiap hari digunakan untuk mandi dan sebagainya.
Sebagai orang yang dituakan di kampung tersebut, dirinya tidak berani melarang ataupun menganjurkan masyarakat tetap beraktivitas seperti biasanya di aliran sungai, apalagi pemerintah desa tidak menerima petunjuk apapun menyikapi kejadian itu sebagai representatif untuk dikeluarkannya seruan ataupun himbauan.
Membicarakan soal ledakan bom pelontar, menjadi topik hangat disetiap sudut warung-warung kecil desa setempat, ada yang menyatakan masih trauma ada pula yang menyikapinya dengan santai karena hal demikian pernah dilihat dan dengar saat Aceh berkecamuk dengan perang bersenjata.
“Saya tidak melarang warga, karena sungai ini adalah tempat bermain bagi anak-anak juga tempat warga mencari nafkah. Itu sumber ekonomi kami, kecuali sudah ada perintah dari atasan,” ujar T Saifullah.
T Saifullah juga didamping sekretarisnya menceritakan beberapa kejadian sekitar 15 tahun yang lalu, yang diperkirakan ada hubungannya dengan benda yang ditemukan oleh dua anak itu.
“Bukan bermaksud untuk mengungkapkan luka lama,” ujarnya mengawali cerita. Dulu tahun 2002, kata Saifullah di kampungnya yang pertama masuk adalah kelompok pasukan dari Siliwangi, dan terus bergantian. “Beriring waktu pos berpindah ke gunung, di dekat jalan besar, tepatnya ditengah desa tersebut,” ceritanya.
Orang nomor satu di desa tersebut mengatakan jika sungai Krueng Bumee itu juga menjadi lintasan utama pihak yang berkomplik pada saat itu. Hal ini karena lokasi perkampungan disebut-sebut daerah basis GAM. “Pernah ada prajurit, saat melintasi sungai, tapi terjebak dengan arus, dan kedalaman sungai, namun masih bisa diselamatkan temannya. itu sekitar tahun 2002,” kenang T. Saifullah.
Kini, kedua anak remaja yang terluka oleh peluru pelontar GLM itu masih terbaring dirumah sakit Umum Cut Nyak Dien Meulaboh, dan adakah perhatian khusus dari pihak-pihak terkait yang lebih nyata, terhadap dua korban tersebut.
Mengenai kondisi masyarakat di desa meutulang dan sekitarnya pasca terjadi ledakan itu, haruskah ada himbauan dari pemerintah gampong, pengumuman di mesjid, atau melalu selebaran di kios-kios, bukan untuk mengganggu psikologi masyarakat, dan warga akan trauma dengan sungai. Namun untuk menetralisir kembali kehidupan warga. Jika itu lebih baik, kenapa tidak dilakukan, agar kejadian yang sama tidak terulang kembali.
Pihak terkait sepertinya perlu turun ke desa-desa memberikan sosialisasi dengan cara memperkenalkan senjata yang mungkin warga temukan di lokasi desa, mungkin jika ada tim sisiran di sepanjang daerah aliran sungai itu, mana yang lebih memungkinkan. []