JIKA ada yang bilang politik itu ilmu, saya percaya itu. Jika ada yang peugah politik itu seni, itu juga saya percaya. Dan, karena itu saya percaya tanpa Irwandi Yusuf dalam Pilkada Aceh, politik 2017 tidak memiliki resonansinya, alias tidak memiliki getarannya.
Dengan kata lain, tanpa keikutsertaan Irwandi Yusuf, Pilkada Aceh belum cukup layak disebut gelar pesta demokrasi rakyat. Ibarat konser musik Aceh, tanpa kehadiran Rafly dengan Group Kandenya, maka konser musik akan hambar, penonton hana “meuseudati”.
Irwandi Yusuf memang belum bisa disebut yang terbaik. Tapi, dengan apa yang pernah dilakukan, maka Aceh hanya butuh satu dua langkah lagi untuk menjadi provinsi dengan standar pengelolaan terbaik.
Dari sisi telaah politik sebagai ilmu, publik belum menemukan kerangka pandang programatik yang bisa dinilai melebihi apa yang pernah dilakukan oleh Irwandi Yusuf. Bahkan, model kepemimpinan yang menunjukkan watak humanis (politik sebagai seni) juga tidak terlihat dari semua bakal calon gubernur lainnya, dan itu ada pada Irwandi Yusuf.
Tapi, watak humanis yang dipadu dengan watak keacehan yang tegas (kiban crah meunan beukah) ada pada sosok Irwandi Yusuf. Bandingkan dengan bakal calon lain, yang nyaris sepenuhnya menjadi politisi yang berwatak non Aceh, kecuali satu dan dua saja.
Aspek politik sebagai seni juga amat kaya pada sisi taktik dan strategi yang dilakoni oleh Irwandi Yusuf dalam Pilkada 2017 ini, sehingga panggung konser Pilkada 2017 sudah menyedot perhatian pendengar, sebelum konser pemilihan kepala daerah dilangsungkan. Di sini, gaya berdiplomasi politik Irwandi sangat khas, makin memperkaya khazanah ala diplomasi Aceh, dan sama sekali berbeda dengan ala diplomasi bakal calon lain, yang malah makin “menjawa” si angen.
Tentu saja semua kandidat tampil dengan seni berpolitik masing-masing. Abu Doto juga punya daya tarik sendiri. Juga dengan Apa Karya. Sedangkan calon lainnya, sudah melepas diri dari watak keacehan. Kita maklumi saja, barangkali ini juga satu taktik untuk merebut dukungan pusat.
Lebih dari itu wajar saja jika lakon politik Irwandi Yusuf dilawan dengan ragam cara, oleh pihak lawan politiknya. Ini juga seni mempengaruhi orang lain, agar tidak jatuh hati dengan Irwandi Yusuf. Menyebut Irwandi Yusuf sudah kalut, mabok, hana meuho plung, lagee agam merasa ganteng sendiri, dan sok berkuasa padahal sudah jadi rakyat jelata, bukan bakal calon gubernur tapi bakal calon tersangka adalah juga taktik dan strategi paling ampuh untuk memainkan emosi publik, dengan tujuan untuk berpaling dari Irwandi Yusuf.
Tapi, di sinilah letak pengakuan yang mau tidak mau harus di akui, bahwa “konser” politik Pilkada 2017 hanya beresonansi atau bergetar atau bergema karena adanya Irwandi Yusuf. Tanpa Irwandi, saya duga Pilkada Aceh akan sangat sepi. Sama sepinya seperti Pilkada Banda Aceh, dimana calon lain kehilangan isu dan gagasan untuk menandingi Bunda Illiza. Tapi, begitu nama Irwan Djohan kembali muncul, Pilkada Banda Aceh pun kembali dipenuhi gairah.
Apakah itu tiket kemenangan bagi Irwandi? Belum tentu, sebab politik sebagai seni bukan sekedar bermakna ’’art politica’’ (seni berpolitik), ‘’politike techne’’ (teknik politik), ’’politike episteme’’ (berpikir politik) tapi juga ’’art possible’’ (seni kemungkinan).
Untuk yang terakhir ini, Irwandi Yusuf memang terlihat berkerja “jungkir balik” untuk memastikan yang tidak mungkin (menurut orang lain) dapat diubah menjadi mungkin (menurut Irwandi Yusuf).
Jadi, bagi yang paham luasan seni berpolitik dari sisi art possible, apa yang sedang dilakukan Irwandi Yusuf dan Tim Suksesnya lewat aksi pengumpulan KTP adalah hal yang memang sepatutnya dilakukan. Tapi, apakah itu artinya Irwandi Yusuf bakal maju melalui jalur independen, juga belum tentu, sama belum tentunya apakah ia tidak akan “dimatikan” langkahnya lewat taktik jepit hukum, yang hari ini banyak di share di medsos?
Sekali lagi, politik itu adalah seni mempengaruhi, dan sebaik-baik cara mempengaruhi adalah dengan aksi-aksi politik yang mendatangkan kekaguman orang banyak. Dan, apakah akan ada kekaguman lagi yang dihasilkan oleh seni politik dari Irwandi Yusuf, saya berharap ada, sebab tanpa Irwandi Yusuf Pilkada Aceh tidak bergairah. []