Masih terngiang-gemuruh shalawat yang dibacakan hampir sepuluh ribu manusia menghentak tanah Mukim XXII di gampong Seulimum, sambil mengiringi peti jenazah Abon Seulimum yang ditandu di tengah keramaian sesak menyesak manusia. Bahkan, shalat jenazah, harus dilakukan hingga sembilan kali di mesjid dalam komplek dayah tersohor ini. Saya ikut menyaksikan langsung, duduk diantara barisan saf yang antusias dan berdesak-desak bersama jamaah lain, saat shalat jenazah pertama akan dilangsungkan. Beberapa kali, jamaah dalam mesjid yang penuh sesak, bahkan kadang sulit untuk menghirup udara secara penuh, sesekali bangun, lalu duduk lagi karena melihat beberapa baris deret saf jamaah di depan bangun, seakan mendapat penanda jasad Abon tiba di dalam Mesjid, ternyata belum.
Namun, massa tetap bersabar dan bertahan di dalam Mesjid hingga beberapa jam. Fenomena seperti ini, hanya dapat dinikmati setiap ada seorang ulama kharismatik yang dilahirkan dari laku dayah Aceh wafat. Bahkan, pelayat terus berdatangan dari seluruh penjuru Aceh, hanya untuk sekedar memberi penghormatan terakhir pada Abon Seulimum, meski selama hidup tak pernah belajar pada Abon. Bahkan, ada pengunjung mengaku tak pernah berjumpa dan bertatap wajah dengan Abon. Tapi, dorongan berkunjung, merasa bangga dapat memberikan penghormatan terakhir, seperti magnet yang menarik besi-besi di dekatnya. Pola berperilaku (the rule of conduct) menunjukkan fungsi kultural dan psikologi agama, telah mendorong manusia bertindak, dan bersikap menghormati ketokohan patron ulama dayah berbasis psikologi massa.
Jam 09.00 pagi, dengan cepat berita wafatnya Abon tersiar dalam perangkat dan kotak-kotak alat teknologi media sosial. Pesan, deringan ponsel, hingga status yang membanjir laman media sosial, seakan saling berkompetisi menyuguhi berita duka kehilangan ini di tengah masyarakat Aceh. Hari itu, Kamis (21 Juli 2016), Teungku Mukhtar Lutfi yang kerap disapa “Abon Seulimum,” dianggap pergi begitu cepat oleh masyarakat. Pun, di tengah usianya yang masih baya untuk posisi seorang ulama-jauh dari perkiraan ia akan wafat dalam usia tersebut. Abon Suelimum, dalam kesadaran kultural masyarakat Aceh, tatanan institusi yang dikenal sangat dipengaruhi oleh struktur berpikir Islam kultural, masuk dalam sederetan patron ulama kharismatik Aceh. Apalagi, secara genealogi, ia merupakan anak ulama besar institusi dayah (Guree Wahab-Abu Seulimum), yang juga sangat dihormati dan dikenal oleh masyarakat Aceh.
Seorang tamu dari kalangan birokrat yang datang melayat Abon, bercerita pada saya, bahwa istrinya merupakan alumni dari dayah ini. Begitu mendengar Abon wafat, ia pagi-pagi sekali langsung bergegas berangkat ke Seulimum. Beberapa tamu lain, yang saya temui juga bercerita dengan kondisi yang hampir sama. Bagi saya, fenomena ini sangat menarik untuk dipahami, bagaimana laku kultural pendidikan dayah dibangun, sehingga keterikatan moral antara manusia dengan gurunya tak pernah putus oleh jarak dan waktu. “Bergegasnya” orang-orang tadi pergi ke Seulimum, dan harus menempuh jarak ratusan kilomoter, membuktikan institusi dayah unggul membangun relasi moral antaramanusia yang menyebar seantero Aceh. Ikatan moral sedalam ini, tentu sulit, bahkan tak akan pernah ditemukan di lembaga pendidikan lain di Aceh, terutama pendidikan formal yang berpatron pada negara, dan beberapa lembaga pendidikan yang berafiliasi pada bisnis rasional semata.
Pun demikian, pada hari yang sama, Kamis (21 Juli 2016), publik lagi-lagi dihentak berduka, karena kembali wafatnya seorang ulama dayah, Abuya Jamaluddin Waly, yang secara genealogi merupakan anak kandung dari ulama besar Abuya Muda Waly. Selama ini, Abuya Jamaluddin Waly, juga dikenal sebagai seorang Mursyid Tarekat yang memiliki banyak pengikut. Tidak mengherankan, jika prosesi shalat jenazah untuk ulama kharismatik ini, dilaksanakan sebanyak 30 kali di hari yang sama. Rentetan perginya dua ulama ini di hari yang sama, bagi saya cukup untuk memahami bagaimana kekuatan massa dayah di Aceh. Karena itu, tidak mengherankan perangkat pemerintah dan politisi tetap memprioritaskan dan “memanfaatkan” simbol ulama dayah di setiap kebijakan dan kampanye mereka. Di sisi lain, media sosial sebagai komunitas terbayang-ikut menyuguhi potret gejala fanatik massa terhadap sosok dan simbol tersebut secara virtual.
Kehadiran ulama dayah yang memiliki otoritas kharismatik dengan penanaman relasi moral yang tinggi (murid dan guru serta ulama dan masyarakat), yang mampu mengikat psikologi massa secara kolektif untuk hormat (baca takzim) pada mereka, tentu tidak hadir kebetulan begitu saja. Seorang ulama dayah harus menempuh laku suci yang panjang. Mulai dari pendidikan bertahun-tahun yang menggerogoti usia, hingga proses penerimaan oleh masyarakat tempat mereka beraktivitas. Pada dasarnya, relasi antara massa dengan tokoh Muslim kharismatik, juga dapat ditemukan di belahan negara dengan mayoritas penduduk Muslim lainnya. Terutama, komunitas yang masih memiliki tradisi patron klien dan mempermanenkan hirarki sosial. Dalam konteks kepatuhan dan relasi moral ini, kedudukan ulama dayah di Aceh, hampir serupa dengan posisi peran Habaib di Hadramaut-Yaman, dan para Mollah (ahli agama) di Iran, yang juga memiliki ratusan ribu pengikut.
Meningkatnya peranan para pemimpin ulama dayah di Aceh, yang secara tidak langsung juga diklaim sebagai pemimpin Islam (konteks kultural), sangat dilatari oleh kondisi sosial. Bagi masyarakat, terutama komunitas agraris, keberadaan mereka (ulama dayah) dapat diakses secara langsung, dan mudah tanpa sistem birokrasi yang ruwet dan jelimet, seperti beberapa institusi agama lainnya yang formal. Apalagi, ulama dayah secara berkelanjutan telah dijadikan sebagai aktor, media tempat masyarakat mengadu, berkeluh kesah, dan berdiskusi segala perkara agama, hingga persoalan sosial sehari-hari. Pun, kemampuan ulama dayah di tengah komunitas akar rumput dalam melahirkan ragam resolusi, kian mengokohkan otoritas dan posisi mereka di ruang kesadaran masyarakat dengan pandangan moral.
Memahami Etno-Dayah
Dalam tataran ideal, lembaga pendidikan dayah memiliki modal sosial dan otoritas (daya tawar) yang cukup kompleks untuk bertahan di tengah masyarakat dan tekanan globalisasi hingga sekarang. Pertama, dayah punya jembatan historis dan mengakar dalam masyarakat Aceh. Peninggalan arkeologi, berupa situs sejarah dayah, dan dokumentasi sejarah seperti manuskrip kuno, cukup untuk menjelaskan eksistensinya lembaga yang berusia berabad-abad di Aceh ini. Sebut saja nama Zawiyah Tanoh Abee dan Zawiyah Cot Kala (yang kini ditabal sebagai salah satu nama Perguruan Tinggi Islam di Aceh) telah dikenal sejak Tahun 1600 M. Legitimasi sejarah ini, menjadi modal sosial utama institusi dayah berintegrasi dalam tatanan struktur budaya dan cara berpikir masyarakat Aceh. Kedua, lembaga pendidikan ini, hadir di tengah arena yang menyentuh komunitas akar rumput, terutama kelompok masyarakat agraris di Aceh, yang cukup ketergantungan secara psikologi pada nilai religius untuk melangsungkan kehidupan sosial. Bandingkan dengan lembaga pendidikan formal lain, yang cenderung terfokus pada kaum kelas menengah dan masyarakat urban yang menekankan prinsip-prinsip rasionalitas.
Ketiga, lembaga pendidikan ini memiliki jaringan kuat antar-dayah, karena berabasis pada akar yang sama, terutama konsep dan kurikulum yang dibangun dan direformasi pada masa Abuya Muda Waly al Khalidi. Dapat dipastikan, kini hampir semua dayah di Aceh merujuk model dan kurikulum yang diproduksi oleh Dayah Darussalam-Labuhan Haji pada tahun 1941 M dengan corak relasi patronase. Meksipun, beberapa ulama dayah belajar pada dayah yang berbeda. Namun, dalam konsep distribusi pengetahuan agama, mereka cenderung seragam. Keseragaman ini pula, yang menjadi relasi moral dan kuatnya jaringan dayah di Aceh. Nyaris, wajah tunggal institusi dayah, dapat melenyapkan sekat primordialisme antarmanusia dan kelompok etnik di Aceh berdasar letak geografis.
Terakhir, keempat, rekruitmen pelajar di dayah tidak seketat dan formal layaknya institusi pendidikan lain yang menerapkan syarat tertentu. Bahkan, cenderung dianggap muluk-muluk. Manusia dari golongan dan kelas sosial mana saja, tetap diterima di lembaga pendidikan ini. Meskipun, lulusan dayah dipandang masih sulit berintegrasi untuk mendapat pengakuan seperti pendidikan formal di dalam lembaga pemerintahan. Namun, realitasnya, dayah tetap menampung pelajar dalam kuantitas yang tinggi saban tahun. Diantara alasan masyarakat senang menghantar anak masuk ke dayah, selain alasan ekonomi, juga karena lembaga ini dianggap memiliki kemampuan melawan dekadensi moral yang kian akut di tengah masyarakat.
Meningkatnya peranan para pemimpin ulama dayah di Aceh, yang secara tidak langsung juga diklaim sebagai pemimpin Islam (konteks kultural), sangat dilatari oleh situasi sosial. Bagi masyarakat agraris di Aceh, mereka (ulama dayah) dapat diakses secara langsung bak jembatan dan tol tanpa sistem birokrasi yang ruwet dan jelimet, seperti beberapa institusi agama lainnya yang formal. Apalagi, ulama dayah secara berkelanjutan telah dijadikan sebagai aktor, media tempat masyarakat mengadu, berkeluh kesah, dan berdiskusi segala perkara agama, hingga persoalan sosial sehari-hari. Kemampuan ulama dayah di tengah komunitas akar rumput dalam melahirkan ragam resolusi, kian mengokohkan otoritas dan posisi mereka di ruang kesadaran masyarakat dengan pandangan moral.
Pada dasarnya, memang relasi antara massa dengan pemimpin Islam, juga dapat ditemukan di belahan negara dengan mayoritas penduduk Islam lainnya. Terutama, komunitas yang masih memiliki tradisi patron klien dan mempermanenkan hirarki sosial. Dalam konteks kepatuhan dan relasi moral ini, kedudukan ulama dayah di Aceh, hampir serupa dengan posisi peran Habaib di Hadramaut-Yaman, dan para Mollah (ahli agama) di Iran, yang juga memiliki ratusan ribu pengikut.
Selain itu, dalam konteks pemahaman kelompok agraris, khusus pengetahuan agama di dayah diklaim lebih terhormat, dan memiliki sanad yang jelas-karena diwarisi secara turun temurun antargenerasi Islam. Seorang ulama dayah selalu lahir dari proses laku suci yang panjang, setelah menempuh pendidikan sekian lama di dayah, ia juga harus berhasil ditempa oleh persoalan sosial agama di tengah masyarakat. Legitimasi, biasanya akan hadir dan berpihak padanya setelah proses itu tuntas. Dalam konteks proses laku suci menempuh pendidikan, dayah juga mampu memberlakukan capaian pendidikan yang jelas. Misalnya, untuk masa dua tahun, seorang anak Aceh yang belajar di dayah, ia sudah harus mampu membaca kitab yang ditetapkan. Standar capaian kemampuan ini, yang tidak ditemukan di lembaga pendidikan lain, terutama yang juga barafiliasi pada pendidikan agama. Perguruan Tinggi Agama selama ini misalnya, terutama dalam menetapkan standar capaian pengetahuan seorang mahasiswa, setelah semester empat atau semester lain, cenderung tidak dapat dipastikan, apakah ia telah mampu menguasai dan memahami standar pengetahuan layaknya kemampan pelajar dayah-yang jelas harus menguasai kitab yang ditetapkan untuk strata kelas yang berlaku. Alih-alih menghabiskan semester, akhirnya banyak pelajar di beberapa Perguruan Tinggi dipaksa hanya sebatas menuntaskan kredit perkuliahan. Tentunya, ini menjadi pekerjaan institusi pendidikan lain untuk merekonstruksi capaian standar alumninya. Namun harus diakui, dalam proses liberalisasi berpikir dan proses merenungi konsep agama, Perguruan Tinggi Agama cenderung bersifat demokratis, tidak mengekang alur berpikir manusia-harus tunduk secara ketat pada patron, serta kemampuan mengembangkan metodologi berpikir yang cukup variatif.
Pada akhirnya, fenomena psikologi massa dan relasi moral yang dimunculkan saat wafatnya ulama, tentu menjadi catatan tersendiri untuk dikenang dan dikaji. Namun, keberadaan ulama sebagai aktor sosial yang begitu vital di tengah masyarakat, setidaknya menegasi bahwa masyarakat Aceh tak pernah krisis elite pemersatu. Paling penting, institusi dayah telah mengajari banyak manusia, bagaimana cara melahirkan corak kekuatan berbasis psikologi massa, dan keniscayaan membangun relasi moral sesama manusia, dengan mengedepankan prinsip-prinsip kultural. Kepergian para ulama, dan orang yang berilmu lainnya, tentu selalu menjadi ancaman bagi tatanan peradaban sebuah bangsa. Selamat jalan pewaris para Nabi, nilai dan pengetahuan kalian semoga terus menjadi jariah yang tak lekang ditelan zaman.