“Apakah sosok itu ada pada Illiza, Irwan Djohan, atau malah ada pada Sulaiman Abda. Bagaimana menurut Anda?!”
****
Apakah Banda Aceh butuh sosok “Si Penghukum”? Ya, tapi jangan bayangkan sosok itu seperti Wali Kota Davao, Rodrigo Duterte yang kini menjadi Presiden Filipina. Ngeri!
Betapa tidak, baru saja menjadi presiden, Juni 2015, kabarnya ia sudah menumpas mati 300 pengedar, bandar dan pemakai narkoba di Filipina. Dan, ia sama sekali tidak takut kala dihadapkan dengan HAM.
“Saya sudah melihat bagaimana korupsi menggerogoti dana pemerintah yang harusnya untuk kaum miskin. Dan saya juga melihat bagaimana narkoba menghancurkan rakyat. Jadi, tunjukkan di mana salah saya,” begitu jawabnya, dan aksi penghukumannyapun tak bisa dihentikan.
Kalau begitu karakter Duterte, wajar saja jika kota terbesar Davao (2.443km² atau 244.300 hektare) dijuluki kota superaman. Gawat, semua kejahatan diselesaikan “secara adat.” Dan, jadilah Davao City sebagai tempat wisata favorit yang deyut nadi ekonomi berbasis wisata “tidak pernah mati.”
Sebelum Duterte, 1991 ke bawah, Davao adalah kota paling nyaman bagi semua jenis preman dan bandit. “Totally mess (benar-benar kacau),” kata Attorney Melchor Y. Quintain, sekretaris kota (Sekkota) Davao, sebagaimana dilansir JPNN, September 2009. Davao adalah kota yang pernah mengalami semua jenis kekerasan. Pengeboman, pembunuhan, perang antargeng, dan perang tentara dengan kelompok separatis. Tapi, itu sebelum 1991.
Jadi, semenjak Duterte memimpin Davao, semua jenis bandit disikatnya tanpa ampun. Tapi, bagi mereka yang beraksi secara ideologi, maka ideologinya dihormati, hidupnya dijamin dan dilindungi, asal tidak melakukan kekacauan di Kota Davao.
Duterte menjadi Wali Kota dengan kebijakan “Damai dan Tertib” pada usia 43 tahun. Dan memenagi pilwali tiga kali berturut-turut pada 1988, 1992, dan 1995. Karena aturan pemerintah Filipina (setelah tiga kali tak boleh lagi menjabat), pada 1998 Duterte menjadi anggota kongres di Manila hingga 2001. Dia kemudian maju dan memenangi pilwali lagi pada 2001, 2004, dan 2007.
***
Banda Aceh juga perlu ”Si Penghukum,” tapi bukan dia yang mengedepankan untuk menghukum rakyat kecil, lemah, dan belum berdaya karena hidup di kota yang belum bisa memberi penghidupan bagi semua orang sehingga bisa tampil dengan indikator penuh sebagai warga madani.
Banda Aceh butuh “The Punisher” yang berani menghukum preman yang dihidupkan oleh para pembacking, bandit proyek yang hidup mewah dengan anggaran pembangunan, bandit yang “memperkosa” pengurusan rakyat dengan jabatannya, dan bandit yang memelihara kemiskinan untuk menjadi kurir bisnis narkobanya.
***
Kini, Wali Kota itu sudah menjadi presiden, melalui Pilpres 2015 lalu. Duterte pun berjanji “mendengarkan rakyat” dan bersumpah melawan berbagai “kasus yang menyulitkan negara kita.”
Dan, kita pun menginginkan seorang Wali Kota Banda Aceh yang berjanji mendengarkan suara rakyat, dan bertekad membuat semua pencoleng uang rakyat tidak berdaya, dan akhirnya bersama-sama membangun Banda Aceh, secara damai dan tertib. Apakah sosok itu ada pada Illiza, Irwan Djohan, atau malah ada pada Sulaiman Abda. Bagaimana menurut Anda?!
Dari berbagai sumber