Suatu kecondongan khusus pada jiwa dan naluri dari seorang manusia yang menjadi bawaannya sejak lahir dan terkadang dipengaruhi oleh pengalaman hidup, sehingga kecondongan tersebut melahirkan suatu sikap yang diilhami dari dalam jiwanya. Sikap itulah lantas melahirkan kekuatan untuk mengenal (coguisi), merasa (emosi) dan menghendaki (conasi) untuk bertindak. Dalam politik, kerangka ini menjadi penting, karena dengan inilah seseorang bisa membaca dengan cepat situasi sosial yang terjadi disekitar dirinya, pun keputusannya untuk bersikap akan menjadi lebih tepat. Rangka inilah yang disebut oleh William McDougall (pelopor Ilmu Psikologi Sosial) dengan insting, dalam bukunya “Introduction to Social Psychology”.
Berdasarkan rangka bangun tersebut, menjadi menarik bagi saya untuk melihat dinamika dan landasan motivasi politik yang bangun oleh Saifannur, pengusaha handal yang juga salah satu tokoh masyarakat Bireuen. Walaupun saya bukan pendukungnya, sosok Saifannur menjadi tema saya dalam tulisan ini dikarenakan, keputusannya mencalonkan diri sebagai bakal calon Bupati Bireuen 2017-2022 mendeskripsikan bagaimana insting politiknya itu terbentuk. Sikapnya yang lahir dari insting inilah yang ingin saya analisa, sehingga kita menemukan jawaban; Kenapa ia yang sudah mapan secara finansial memutuskan untuk bertarung dalam Pilkada 2017 di Bireuen.
Memang, tidak bisa dinafikan banyak calon yang menarik (khususnya tokoh baru) dengan insting yang beragam dalam membaca realitas sosial di “Kota Seribu Dayah” ini untuk di analisa dan diangkat ke publik secara berimbang.
“Saya sudah pernah merasakan bagaimana pedihnya menjadi pengusaha dibawah rezim yang zalim. Hari ini, saya tidak mau apa yang saya alami, dirasakan oleh yang lainnya. Seorang pengusaha saja bisa dizalimi, bayangkan apa yang akan dihadapi oleh Rakyat” Ucapan inilah yang pernah diutarakan kepada saya dalam satu kesempatan. Berdasarkan pengalamannya sebagai pengusaha yang mengawali karir bisnisnya dalam bidang ekspor-impor pinang dari tahun 1973 inilah, ia merasakan beragam perlakuan yang tidak adil dari penguasa saat itu.
Walau demikian, karirnya terus menanjak, nalarnya sebagai pebisnis seakan tidak pernah berhenti untuk selalu memproduksi gagasan, ekspansi bisnisnya mulai dari pinang, kayu, dan kopi melebar sampai ke Asia Selatan (India dan sekitarnya), padahal ia hanya seorang anak dari kepala desa di kampungnya. Terakhir, dari tahun 1988 ia mengaku mulai menjalani bisnis jasa konstruksi. Lagi-lagi, ia dizalimi oleh penguasa. Perusahaan konstruksi (PT. Mutiara Aceh Lestari) yang digawanginya dalam membangun ruas jalan Bireuen – Takengon di Cot Panglima mengalami kerugian dikarenakan pemerintah Aceh tidak membayar upahnya. Padahal, niatnya untuk menggarap pekerjaan tersebut bermula dari rasa iba ketika melihat masyarakat harus melewati jalan negara yang tidak layak.
Melalui perjuangan panjang, haknya berhasil didapatkan dan dituntaskan oleh Pemerintah. Melalui Mahkamah Agung, Pemerintah Aceh diperintahkan untuk membayar upahnya sebesar Rp. 99,3 Miliar. Menempuh jalan seperti ini sungguh menyakitkan.
Namun baginya, seorang pengusaha harus bekerja dengan nurani bukan dengan ‘mencuri’. Menuntut hak adalah suatu kewajiban setelah pekerjaan berhasil ditunaikan. Insting bisnis yang berawal dari sikap yang bijak telah mengantarkanya pada tujuan untuk menjadi man yanfa’unnas (manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya).
Dengan pengalaman itulah, kemudian insting politiknya terbentuk. Ia yang ditempa oleh alam terus bertahan dengan rezim yang terus berganti kuasa. Apa yang dia alami (conguisi) telah membentuk emosinya secara reflektif. Dinamika politik dan sosial yang dirasakan telah membawanya pada fase conasi; sikap reflektif untuk mengubah kondisi secara stimulus kearah yang lebih baik. Tanpa paksaan dan tekanan, bahkan dengan menggunakan biaya pribadi, ia berani mendeklarasikan diri maju menjadi penguasa (Bakal Calon Bupati) di Bireuen. Sikap yang lahir dari insting nya ini harus saya apresiasi, sangat jarang dalam peta politik di Indonesia dan Aceh khususnya seorang pengusaha tulen mencalonkan diri dengan dana pribadi, lebih lagi ditengah kondisi ‘politik mahar’ yang sejak lama sudah dipraktekkan di negara ini. Sehingga tidak mengherankan, seseorang yang telah terpilih sebagai penguasa akan menghabiskan banyak anggaran untuk ‘balas budi’ bagi komunitas suksesinya.
Secara teoritis, ada banyak kelebihan dan kekurangan seorang pengusaha menjadi pejabat. Dan satu-satunya hal yang mesti diatasi oleh seorang pengusaha adalah sifat serakahnya. Dengan sifat ini, seseorang akan mudah terjebak dan sulit untuk keluar dari mata rantainya. Imbasnya, rakyat akan semakin menderita. Namun, jika menilik rangka bangun insting yang ada pada disi Saifannur, secara praktis kita bisa menerka bahwa dengan kekuatan materi dan finansial yang dimiliki olehnya, sangat sulit untuk menyimpulkan bahwa ia berambisi untuk kekayaan. Disaat seorang penguasa belum selesai dengan dirinya, justrus Saifannur sebagai seorang pebisnis dan pengusaha, telah menyelesaikan dirinya sejak lama. Insting bisnis telah melatihnya untuk menjadi pengusaha yang bermoral.
Dalam konsep bernegara, kesejahteraan rakyat menjadi tujuan penting untuk diwujudkan. Maka, insting politik seorang pengusaha seperti Saifannur, apalagi ditengah carut-marutnya ekonomi rakyat, menjadi solusi yang mesti diapresiasi dan dipertimbangkan. Semoga.