DULU, saya acapkali harus berhadapan dengan teman sepermainan yang sangat suka mengungkit-ungkit “kebaikan” yang ia lakukan terhadap saya. Ini dilakukan bila ianya membutuhkan sesuatu dari saya, yang ia ketahui akan sangat sulit saya penuhi. Misal meminta contekan PR non matematika, meminta dukungan kekuatan boh soh dari saya, bila ia berhajat ingin “balas dendam”–permintaan yang kedua ini tidak pernah saya penuhi– atau ketika ia merecoki adik saya –untuk hal ini saya pertimbangkan kadar gangguan– atau ketika ia berpotensi kalah saat berantam dengan saya pribadi.
Dalam khazanah Aceh, perilaku yang saya sebutkan di atas disebut dengan tasum atau teumasum. Berupa perilaku mengungkit jasa diri kepada seseorang, bila hajatnya atau kepentingannya terancam. Maka tidak heran, dulu saya seringkali mendengar amaran dari orang-orang yang lebih senior: “Jangan suka menerima sesuatu dari si pulan, dia itu suka teumasum. Bahkan perilaku itu dilakukan di depan orang ramai,”.
Di Aceh, akhir-akhir ini, perilaku teumasum yang muncul pasca damai, pun tak kunjung selesai. Mereka yang beranggapan punya jasa paling besar dalam mengalirkan darah di bumi Serambi Mekkah, tak kunjung berhenti untuk mengulang-ulang “jasa” tempo lalu, bila kepentingan –pribadinya– berbenturan dengan kehendak orang lain. Maka tidak ayal, ucapan-ucapan yang seharusnya hanya digunakan oleh kaum jahiliyah, pun akrab terdengar di ruang publik.
Hana roh kah wate mat bude!
Pat kah wate karu?!
Kah kon ***
Bijeh cuak!
Agen Jakarta!
Kalimat-kalimat memojokkan seperti di atas adalah yang paling akrab terdengar di indera dengar, yang digunakan untuk memojokkan lawan politik, lawan diskusi maupun tetangga sebelah yang tidak satu haluan ketika memilih kepala kampung.
Dalam ilmu sosial, sejatinya tasum tidak selamanya merupakan sebuah perilaku yang negatif. Ia berada di dua sifat, tergantung dipergunakan oleh siapa dan tujuannya untuk apa? Bila sekedar dipergunakan untuk menegur seseorang yang sudah keterlaluan perangai negatifnya, tentu ini sangat bagus dan perlu untuk terus menerus melakukan tasum.
Namun kalau teumasum digunakan untuk memuluskan kehendak pribadi yang mengangkangi nilai-nilai kebenaran, merusak tatanan kebaikan, tentu hal demikian merupakan perbuatan tercela.
Untuk mereka yang melakukan teumasum untuk hal-hal tercela, hina, ingatlah satu hal, bahwa anda tidak akan menjadi siapapun tanpa kehadiran orang lain. Bila anda kombatan–di era lampau– maka jangan lupa bahwa anda bisa bisa bersembunyi, walau berkanopi dedaunan hutan, karena ada orang lain yang melindungi keluarga anda, memberikan anda suplai logistik, ada wartawan yang menulis berita, ada aktivis dan mahasiswa yang berjuang di jalanan. Ada politisi yang berjuang di parlemen, ada perempuan yang diperkosa, ada ayah yang terpenggal kepala karena melawan saat putri diperkosa usai kontak senjata, dan lain sebagainya.
Masih galak teumasum? karena saya dan orang lain juga bisa berbalik untuk teumasum? Pat kah wate rumoh pak cek ke ditot? Kak sepupu ke diperkosa. Pak wa ke dikoh taku? Pat kah? []