Lelaki itu telah berusaha total untuk menikam musuh politik sang juragan. Reputasi sebagai profesional ia pertaruhkan. Seolah kesurupan burong tujoh, ia menggila menancapkan belati ke usus lawan sang juragan. Siapa nyana, bila kemudian ia tersandung dan sang pemimpin yang ia bela cuci tangan. Sakitnya tentu berlipat ganda.
Hari-hari setelah itu, ia menjadi pesakitan. Ia diburu dan juga dicaci. Kaliber profesionalnya digugat, ia disandingkan dengan pemain kelas teri di pinggir jalan. Ia tersudut, tertuduh dan dibuang.
Banyak yang kemudian mengaku tidak mengenal dirinya. Penjara menanti. Musuh sang juragan semakin liar bergerak. Menguber dirinya yang tinggal sendiri di dalam kegelapan. Mungkin hanya Tuhan dan malaikat maut saja yang tahu, kapan ia akan berakhir. Hanya doa- doa tang mampu ia panjatkan. Selebihnya pasrah menunggu waktu. Entah apa yang akan terjadi?
Kisah ini berawal ketika pada suatu masa ia tergoda untuk merengguk anggur yang disuguhkan oleh juragan. Hingga pada tegukan kelima, ia mulai benar-benar lupa diri dan tenggelam dalam masyuknya mengelola kekuasaan dengan menikam siapa saja. Ia beringas melebihi sang tuan. Siapapun, ya, siapapun yang mencoba berlawanan arah dengan juragan akan berhadapan dengan dirinya.
“Rakan juragan adalah rakan ulon, musoh juragan adalah musoh ulon,” demikian ia berikrar.
Hingga, setelah sekian waktu ia berhasil menikam siapapun tanpa perlawanan, kiranya seorang tua lansia, yang mengubah semua kisah pongah itu.
Si tua yang tetap bergairah, melawan. Ia menggeliat hebat hingga si juragan ketakutan. Ia pun mulai balik arah dan cuci tangan. Seolah-olah, segala petaka bukan atas perintahnya. Ia pura- pura bersih atas semua ulah si profesional yang kalap itu.
Kini, lelaki tua itu berdiri didampingi oleh “Malek Mawot”. Ia begitu marah. Si lelaki muda itu kehilangan taji. Ia telah berhadapan dengan kekuatan tang maha dahsyat. Tak mungkin mampu ia lawan, dengan kondisinya selaku profesional yang telah dipercundang.
Menjelang titik akhir, si tua memberi pilihan. Dua-duanya serba berat. Kini ia hanya punya dua saja pilihan itu. Tidak ada jalan tengah. Akankah ia menang, atau setidaknya bisa pulang dengan kepala tegak? Hanya waktu yang bisa menjawab.