Sesaat setelah penyesalan, umumnya seseorang ingin sesegera mungkin berbuat baik, namun ada saja kendala yang menghambatnya terutama cibiran. Benarkah cibiran orang lain mampu membuat seseorang hendak insyaf, belum mulai sudah hilang semangat? Jawabannya bukan sama sekali, cibiran paling bahaya ketika seseorang memulai memperbaiki diri untuk berbuat baik adalah bersumber dari dirinya sendiri.
Manusia terkadang mampu menghadapi konflik apapun di luar dirinya, dengan alam dan lingkungannya namun ketika lawan utama penghalang yang mencibir dan terus melemahkan semangat insyaf justru paling berat dihadapi bila ia berkonflik dengan diri sendiri, menganggap diri hina dan terus menghina diri sendiri adalah konflik paling menyengsarakan diri seseorang.
Konflik menghadapi cerminan diri yang buruk akan dirasakan pada orang yang lemah imannya. Tidak percaya ampunan Tuhannya, merasa pintu taubat sudah rapat ditutup baginya. Mengapa cibiran dan hinaan justru lebih bahaya bila datangnya malah dari diri yang kena cibir? Itulah perangkat, perangkap dan penjara iblis penggoda, setiap kali mau bergerak ke arah perubahan baik, godaan di dalam hati selalu menyengsarakan. “Jangan kau lakukan kebaikan, untuk apa, kau tak akan termaafkan!”, goda iblis. Lalu seseorang tersebut terus terpuruk ke lubang yang lebih dalam di tempat semula, mati rasa, hilang tenaga, ‘koma’ dalam semangat jiwa.
Di saat seseorang membutuhkan cermin untuk melihat diri sendiri yang telah diselimuti kesalahan dirinya sendiri, di saat ia minta dilihat oleh cerminnya maka di saat ini seseorang mengharapkan guru jiwa, guru batin, guru mental, guru afektif, guru penyayang dan yang pasti guru yang mampu memanusiakan manusia. Karena guru adalah tempat menguak tabir pencaharian jati diri, pelepas tabir kebodohan dan pencerah dari gelapnya rutinitas kebutaan akhlak maupun moralitas sosial. Akhlak berpatokan pada agama sedangkan moral berpatokan pada integritas manusia sebagai makhluk sosial.
Alam telah menciptakan air dan api, bulan dan matahari, lelaki dan perempuan segalanya berpasang-pasangan demikian juga baik dengan buruk, salah dengan benar. Manusia yang alamiah ini, manusia yang ilmiah ini membutuhkan dua hal untuk menentukan satu saja pilihan yang kiranya mampu menetapkan si ‘aku’ ego pada tempat yang sungguh-sungguh ia inginkan. Meski segala rintangan tidak dapat dielakkan tetap saja manusia harus bernafas, tidak dibenarkan pasrah dan kalah meskipun waktunya tiba (mati).
Novel The Old Man and The Sea, ataupun film Equalizer dan termasuk kepiawaian Hamid Jabbar dalam mengetengahkan sajaknya “Sebelum Maut Itu Datang”, berhasil memperagakan kepada pengapresiasinya bahwa setiap ujian merupakan penghadapan diri ‘aku’ dengan batas-batas egonya dan apakah ia sebagai ‘pelakon’ mampu mewataki perannya sampai detik penghabisan. Manusia tidak bisa memilih menjadi orang lain untuk justru kehilangan diri dan melenyapkan ‘aku’ tanpa sandaran karibnya lagi, yakni ego. Ego adalah kiprah yang instingtif, khas, dan bahkan banyak yang beranggapan bahwa antara lesapnya ruh kepada tubuh itulah ego dalam tayangan perilaku keseharian.
Menemukan masalah cibiran terhadap diri sendiri akan mampu mengatasi ego seseorang yang sakit batin. Ego keakuan sepatutnya mengarah pada pemertahanan nilai baik. Manusia yang sejatinya baik dan suci ini merupakan pasangan baik pula bagi alam dunia. Dunia diciptakan untuk berbuat baik, siklus baik, dan pasti pula pencipta dunia ini Maha Baik. Mengatur kembali cermin buruk dengan cara kembali meletakkan bayang jiwa yang badan akan mengikat prasangka baik kepada ego. Sisi baik yang tertimbun oleh sisi buruk bertumpuk-tumpuk di masa dahulu dapat kembali di dorong ke permukaan kehidupannya.
Alam memberi cerminan yang tidak terbantahkan, kerap kebutaan ilmu menutupi kilau cahaya kebaikan alam. Pohon yang mati sekalipun tetap memberikan kebaikan, di sisinya yang tumbang kembali lahir kehidupan baru. Burung memamah daging dan kulit buah tetapi bijinya ia muntahkan, dari sana kehidupan sang biji dimulai, serba siklus dan pasti karena segala keseimbangan itu telah nyata menuangkan gagasan jangan menyerah bagi jiwa yang kalap dan dirudung pesimis yang stadium akhir.
Lalu apa efek cibiran bagi diri sendiri pada seseorang yang akhirnya membunuh tubuhnya namun tidak sama sekali membunuh egonya, ruhnya, keakuannya? Di sanalah iman bersemayam dan mempertanyakan penentangan-penentangan terhadap hak Tuhan, hak memberi hidup dan hak kapan-kapan pun untuk kembali mengambilnya tanpa perlu meminta izin sang ‘ego’ manusia ini. Risalah para pendekar akan rusak apabila akhir dari sepak terjang hidupnya justru bunuh diri.
Seilmuan apapun tokoh dunia apabila ia bunuh tubuhnya namun tidak kuasa membunuh egonya akan serta-mertalah mempertempatkan dirinya jauh lebih rendah dari debu, bahkan debu tak pernah mengeluh. Debu bahkan apabila hebat kemandiriannya dan kokoh melawan hambatan alam maka akan menjadi batu yang kokoh, sepaling-tidak menjadi kerikil dan karena kerikil saja pun seekor gajah tergelincir itu bukan artinya sewaktu ia masih debu tidak mampu merusak pandangan kilatan pedang samurai yang lezat menghunus batang leher musuh.
Manusia yang mencibir dirinya sendiri patut mendapatkan banyak pujian pada yang sebaliknya orang-orang disekitarnya enggan dan bahkan langka memberikannya cuma-cuma. Pujian adalah rahasia pertama penciptaan Adam Alaihi Salam, seluruh makhluk Tuhan perintahkan sujud dan memuji Adam, namun iblis tidak mau sujud. Iblis lalu dihalau Tuhan dari surga. Adam lalu atas kehendak Tuhan diberikan teman sehidup untuk menjadi pasangan di surga, Hawa. Hawandan Nafsu pun saling meng-‘aku’-kan diri, lalu tanpa iblis yang boleh dipersalahkan di surga itu karena iblis telah terusir Adam berhasil terbujuk Hwa dan terbujuk Nafsu (Hawa Nafsu) maka atas kasih sayang Tuhan pulalah dunia ini diciptakan bagi iblis dan manusia (Adam) justru untuk bersujud kepada Tuhan.
Ketika cibiran telah melenyapkan iman seseorang atas ketidakyakinan terhadap adanya pertolongan Tuhan kepadanya yang dalam perkabungan matinya para kata puji, maka gelaplah mata seseorang, bukan semakin mau berubah dia dalam menghadapi hidupnya. Krena itulah dibutuhkan guru yang memuji, guru yang cakap menatap peluang keterpujian pada muridnya yang telah difitnahi nafsunya yang kalap dan tak lagi memberinya kemandirian menatap jalan baik untuk berubah. Karena guru adalah kesan pertama dalam memberi puji dan penilai yang sepatutnya andil dan adil maka jadilah guru bagi jiwa yang dahaga terselamatkan.
Langsa, 15 Agustus 2016