Di tengah hiruk pikuk dan kebisingan zaman di era globalisasi dan juga dengan momen hari kemerdekaan hendaknya kita jangan hanya memaknai hari kemerdekaan dengan konteks dunia saja, tetapi juga harus komperhensif dan meliputi seluruh aspek kehidupan baik yang bermuara untuk dunia terlebih akhirat nantinya. “Terlebih hari ini negara dan masyarakat menjadi hancur karena pemimpin yang tidak becus, siapa pemimpin itu? Dia adalah sang qalbu, apabila qalbu baik, maka baiklah seluruhnya, juga sebalik. Qalbu itu laksana pemimpin, sedangkan tangan, mata dan anggota tubuh yang lain merupakan sebagai rakyat, jadi yang harus diobati adalah hati. Fenomena dalam masyarakat, kita langsung ke dokter apabila sedikit saja sakit, umpamanya filek, tapi kita tidak pernah ke dokter qalbu untuk memeriksa hati dan jiwa kita, padahal setiap saat dan waktu kita tidak luput dari dosa dan noda. Apabila kita ingin negeri baik dan baldatun tayyibatun warabbul ghafir, kuncinya adalah memperbaiki qalbu kita masing-masing, kalau tidak jangan berharap negeri ini mampu mewujudkan esensi kemerdekaaan untuk segenap lapisan masyarakat” papar Teungku Sayuthi Nur al-Hady dalam tausyiah menyambut hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-71 tadi malam di hadapan ribuan hadirin dengan semangat berapi-api.
Beliau juga menambahkan dalam memaknai kemerdekaan kita jangan hanya melihat dalam satu perspektif tetapi harus mampu menginterpretasikan sesuai dalam nuansa agama dengan orientasi akhirat, sehingga setiap langkah kita dalam mengisi kemerdekaan menjadi tidak sia-sia alias berpahala di sisi Allah SWT. Umpamanya seorang ahli ilmu beliau mengisinya dengan berdakwah. Namun berdakwah untuk menegakkan syiar Islam haruslah dibekali dengan pengetahuan yang matang tentang teori dan metodenya. Rasulullah shallalahu alaihi wa sallamdan para sahabat radhiyalllahu ‘anhu dan ulama sebagai warisatul ambia merupakan tauladan utama bagi kita.
Kemudian Teungku Sayuthi MN Al_hady atau yang akrab di sapa oleh masyarakat Kembang Tanjung dengan sebutan Tu Say, beliau menceritakan sebuah kisah seorang sahabat bernamas Abu Darda’. Suatu hari Abu Darda’ radhiyalllahu ‘anhu lewat di dekat seorang lelaki yang baru saja melakukan dosa. Berbagai cacian dan hinaan terlontar dari mulut orang-orang di sekelilingnya. Abu Darda’ r.a menghentikan langkahnya, lalu beliau berkata, “Jika orang ini terjatuh ke dalam sumur yang dalam, apakah kalian mau mengeluarkannya?”
Mereka menjawab, “Ya.” Beliau melanjutkan, “Janganlah kalian menghina saudara sendiri dan bersyukurlah kepada Allah yang telah melindungi kalian dari perbuatan dosa.” Mereka balik bertanya, “Apa Anda tidak membencinya?” Beliau menjawab, “Saya membenci perbuatannya, tapi jika dia meninggalkannya, maka dia adalah saudara saya.”
Beliau melanjutkan tausyiah dengan menjelaskan poin penting dari pesan Abu Darda, “Begitulah metode para sahabat tetap bergaul dengan orang yang maksiat,kita juga jangan menjauhi para remaja yang nakal,perampok, pemabuk dan pelaku maksiat lainnya, kalau kita menjauhi mereka,siapa lagi yang akan menolong mereka dari azab api neraka? Bencilah perbuatannya jangan benci orangnya dan ajak mereka sesekali ngopi bareng dan kita ajak mereka untuk menghadiri mereka jamuan makan di dayah atau balai pengajian dan sering-sering kita praktekan, tentu saja hati mereka kelamaan akan juga terbuka pintu hidayahnya” ungkap dai’ kondang sekaligus tokoh muda kabupaten Pidie dengan penuh berharap di hadapan khalayak ramai itu kepada redaksi, 18/08/2016
Menutup tausyiah memperingati momentum hari kemerdekaan, beliau menukilkan sebuah cerita yang pernah di sampaikan oleh guru beliau Almarhum Teungku Zakaria Zainal pimpinan Dayah Isyrafi Darussa’dah Gampong Dayah Blang Kembang Tanjong, Pidie. ” Pada suatu hari Abi Darda’ menggarap sepetak kebun dengan dua ekor sapi,namun seekor sapi berjalan agak miring,melihat kejadian tersebut abi darda’ berpikir apa yang terjadi dengan sapi tersebut,karena bila terjadi sesuatu pada sapi itu akan menyebabkan terlambatnya penggarapan tanah, hal itu terus berlalu dalam pikirannya sambil menggarap tanah kebunnya sampai sore hari” paparnya dengan penuh retorika yang membuat hadirin tertunduk merenung diri.
Beliau melanjutkan cerita tersebut, setelah sampai dirumah Abi Darda’ langsung memeriksa apa yang terjadi dengan sapinya, Abi Darda’ melihat seekor sapi menderita penyakit kurap di selangkangan kaki belakang,abi darda’ pun mengambil sikap yaitu mengobati kurap diselangkangan sapi tersebut supaya sapi tersebut cepat sembuh dari kurap dan proses menggarap tanah kebunnya cepat selasai dan ternyata langkah abi darda’ dalam mengambil keputusan sangat tepat dan terbukti keesokan hari saat menggrap kembali tanah kebunnya,dua ekor sapi berjalan seimbang.
Para hadirin merasa sangat terkesima dalam mendengar tausyiah singkat ulama muda Pidie tersebut dan seakan-akan mereka tidak rela tausyiah hanya begitu singkat dan masyarakat mengharapkan petuah yang menyejukkan hati dan renungan sangat berharga itu laksana oase ditengah kemarau hati yang berkepanjangan.
Tentu saja petuah sosok tokoh pemuda dan agama dikabupaten Pidie ini menjadi renungan untuk kita semua terlebih dengan momentum hari kemerdekaan ini. Merealisasikan esensi kemerdekaan haruslah di mulai dari qalbu tentu saja dengan terus meningkatkan pembedaharaan ilmu lewat ta’lim dan di barengi amaliah serta jangan lupa menyepuh hati dengan zikrullah. Mari kita terus berbenah diri dan terus intropeksi untuk mengarungi kehidupan diduniaini sebagai bekal menuju kehidupan dan kemerdeaan yang hakiki kelak di akhirat nantinya.