Pagi-pagi sekali, Mamak membangunkan dari tidur. Pagi sekali. Langsung disuruh mandi dan makan. Entah tahun berapa waktu itu. Tidak ingat lagi. Saya masih SD.
Habis mandi, sekitar pukul tujuh kami berangkat. Pakai Vespa milik ayah. Mamak di belakang, saya berdiri di depan ayah yang membawa Vespa. Terlihat mamak membawa sesuatu, seperti bungkusan makanan, tidak tahu apa isinya. Dibungkus dengan saputangan.
Kami jalan agak kencang, rambut kribo Ayah berkibar diterpa angin. Wajahnya tegang.
Sesampai di Grong-grong kami berhenti sebentar. Ketika minta mamak beli langsat, mamak membelinya sekilo, cepat-cepat dan langsung berangkat. Saya tanya, “mak ho ta jak?”, mak kemana kita? Mamak hanya menjawab singkat: Lueng Putu.
Mamak dan Ayah, memang paling suka membawa kami ke tempat-tempat saudara. Saya hanya berpikir, ke Lueng Putu ke tempat saudara.
Lewat Beureunun, saya merasa ngantuk, kepala terantuk stang. Ayah cuman bilang dengan datar, “karap trok…” Sudah hampir sampai.
Rupanya sampai di sebuah simpang, Vespa dibelokkan ke kanan, sebuah jalan kecil di persawahan. Beberapa ratus meter, Ayah berhenti. Mamak langsung turun, dan menuju sebuah rumah, ada beberapa orang bercelana loreng pakai singlet mondar-mandir. Ayah yang memarkir Vespa di depan mereka, ditunjuk-tunjuk pakai bedil. Ayah diam saja. Mamak langsung turun, bertemu dengan mereka. Mamak turun sendiri, pesan mamak kami tunggu saja di jalan.
Tidak lama kemudian, mamak masuk dan tidak kelihatan lagi. Ayah berkeringat. Matahari memang sudah agak meninggi. Saya bertanya kepada Ayah, “ho geujak mak?”, mamak pergi kemana? Ayah diam saja, sambil meletakkan jari di mulut. Sstt. Beliau mengingatkan untuk diam dan tidak bertanya.
Kira-kira satu jam, Mamak keluar. Wajahnya tersenyum. Mamak mengajak Ayah pulang sambil berkata singkat, “ka lheuh meurumpok“, sudah bertemu. Demikian Mamak berkata dengan singkat. Di tangan Mamak bungkusan sudah tidak ada lagi.
Waktu pulang Mamak baru bercerita, bahwa tadi kami menjenguk dan membawa makanan untuk Cut Sariwati yang sedang ditahan di Pos Sattis Rumoh Geudong. Cut Sariwati adalah istri dari Tengku Muhammad Lampoih Awe, menteri keuangan Aceh Merdeka, Cut Sari, demikian biasa dipanggil di kampung, adalah kakak sepupu Mamak, dan juga keponakan Ayah.
Kalau ikut Ayah bertemu Cut Sariwati di kemudian hari, saya panggil beliau Cut Kak. Kalau sedang dengan Mamak bertemu beliau, saya panggil dengan Nyakwa. Sebab kakek (ayah Mamak), adalah adik dari ibunya Cut Sariwati.
Rumoh Geudong, tempat Cut Sari dan korban lain yang ditahan, adalah saksi dari kebiadaban. Semua jenis siksaan tanpa peri-kemanusiaan terjadi di sana, pembunuhan, penganiayaan berat, pemerkosaan, pelecehan, terjadi di sini dilakukan oleh serdadu Republik Indonesia.
Hari ini, 18 tahun yang lalu, Rumoh Geudong hangus ter(di)bakar. Yang tersisa adalah ingatan. Ingatan buruk yang tidak boleh terulang, apapun alasannya. []
Agustus 1998 – Agustus 2016