Untuk saat ini Abdullah Puteh– Mantan Gubernur Aceh yang terjerat kasus korupsi pembelian helicopter di masa Aceh ruyang rayo pheng pho– pulang dengan perasaan gembira. Satu pasal di Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, berkat usaha kerasnya telah dimakzulkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Sebagai orang yang pernah terhukum kasus korupsi yang diancam pidana lima tahun, kini ia layaknya “bayi yang baru lahir”. Pasal 67 ayat (2) huruf g UUPA, telah dicabut karena dianggap bertentangan dengan UU Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Ini sebuah “prestasi”. Satu persatu pasal-pasal “keren” dalam UUPA, dijebol oleh MK atas permintaan orang Aceh sendiri.
Banyak kalangan menilai, dicabutnya pasal tersebut telah menjadi preseden buruk bagi kekhususan Aceh. Sebab–walau masih memiliki banyak kelemahan– UUPA merupakan modal utama Aceh untuk menunjukkan keistimewaannya kepada Jakarta.
Dalih Abdullah Puteh bahwa UU Nomor 8 itu tidak lagi mensyaratkan tentang larangan bagi mantan terpidana dalam perkara yang ancaman hukumannya lebih dari lima tahun. Peluang Abdullah Puteh dimulai oleh kemenangan Soemarmo, mantan terpidana kasus suap penyusunan RAPBD Kota Semarang tahun 2012 juga berhasil mencopot Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Ia berhasil “membegal” UU Nomor 8 melalui tangan MK.
Melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015 yang diketok pada Kamis (9/7/2015) lalu, Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah yang dapat menghalangi mantan narapidana untuk dipilih dalam Pilkada sudah dicabut.
Terkait gugatan Abdullah Puteh, MK menilai bahwa pasal 67 ayat (2) huruf g tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 secara bersyarat dan juga tidak mempunyai hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.
Sebagaimana diketahui, Pasal 67 ayat (2) huruf g pada UUPA berbunyi “tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara minimal 5 tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali tindak pidana makar atau politik yang telah mendapat amnesti/rehabilitasi.
Menurut hakim MK, Pasal 67 ayat (2) huruf g Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh itu bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Keputusan MK yang melihat UU Nomor 11 Tahun 2006 sebagai sebuah aturan yang lebih rendah, patut disayangkan. Karena kelahiran UU tersebut bukan dibuat atas usul DPR RI. Tapi lahir karena proses konflik yang panjang. Ini tentang sebuah sejarah besar. Tentang cerita perang yang berbelit-belit.
Hilangnya pasal dalam UUPA karena dihapus oleh MK–di masa depan– merupakan ancaman serius. Bayangkan, oleh mereka yang merasa kepentingannya terhambat, satu-persatu akan menggugat UUPA ke MK. Hingga akhirnya taring undang-undang itu sendiri akan hilang, sehingga menjadi macan ompong.
Untuk itu, menangnya Abdullah Puteh kali ini jangan sekedar dilihat sebagai unggulnya demokrasi dan patuhnya MK kepada aturan hukum. Bagi orang Aceh, untuk konteks ini merupakan ancaman yang serius. Jakarta–dalam hal ini MK– dengan hanya melihat aturan formal, tidak akan segan menganulir satu persatu pasal di UUPA. Mereka hanya menunggu “agen” untuk menggugat.
Selamat datang Abdullah Puteh. Semoga bila menang kali ini, tidak mengulang kenakalan seperti masa lalu. Selamat bertarung di pilkada Aceh 2017. []