ACEHTREND.CO, Banda Aceh – Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh DPP PDI-P di Hotel Hermes pada Sabtu (27/8), yang menghadirkan panelis tunggal Saifuddin Bantasyam SH MA, ibarat “wake-up call” untuk Aceh. Data yang disajikannya memang sama sekali bukan data baru. Publik juga bisa membacanya melalui laporan BPS dan liputan media massa. Tetapi presentasi itu tetap sangat menarik, karena mampu memperlihatkan kondisi paradok dalam beberapa isu.
Isu pertama adalah adanya paradok antara dana yang masuk ke Aceh yang sangat banyak misalnya melalui dana otonomi khusus, dan juga dalam bentuk Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asiang (PMND/PMD) yang terus meningkat tiap tahun. Tetapi Aceh masih tergolong provinsi miskin bersama dengan 10 provinsi lainnya di Indonesia. “Di Sumatra, Aceh nomor dua termiskin setelah Bengkulu,” kata Saifuddin tanpa menafikan bahwa sesungguhnya angka kemiskinan di Aceh terus turun sejak 2006 sampai dengan 2015, namun belum mendekati rerata nasional.
Isu kedua adalah berkenaan dengan keberadaan UUPA dalam sistem hukum nasional. Panelis mengatakan bahwa UUD 1945 memberi peluang untuk Aceh untuk mengelola satuan pemerintahannya sendiri dengan berbagai keistimewaan dan kewenangan yang ada di dalamnya. Namun peran pemerintah pusat tetap kuat dalam mengawasi pelaksanaan UUPA. Di sisi lain, UUPA adalah modal terpenting Aceh yang lahir dari proses perdamaian yang dituangkan dalam MoU Helsinki, yang beberapa pasalnya sudah dilakukan judicial review (JR) dan diterima oleh Mahkamah Agung. Saifuddin memperkirakan akan adanya JR berikutnya atas UUPA, yang bisa mengganggu ruh UUPA.

Isu ketiga berkait dengan dana yang juga sangat besar dialokasikan dalam APBA untuk sektor pendidikan termasuk untuk siswa, berada di urutan kedua nasional setelah DKI Jakarta. Tetapi berdasarkan Neraca Pendidikan Aceh Tahun 2015, angka kelulusan Ujian Nasional (Indeks Integritas Ujian Nasional), posisi Aceh berada di peringkat ke-32 dari 34 provinsi di Indonesia dg nilai di bawah rerata nasional yaitu 54.97 sementara nilai nasional adalah 63.28. “Demikian juga hasl ujian Kompetensi Guru, Aceh berada di urutan ke-3 terbawah di atas Maluku dan Maluku Utara, dg nilai bawah rerata nasional yaitu 48,33 sementara nilai nasional adalah 56,69,” kata Saifuddin.
Dosen FH dan FISIP Unsyiah itu juga menyampaikan isu kesiapan Aceh menyambut Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Katanya, MEA itu memberi banyak kesempatan kepada Indonesia tetapi sekaligus juga tantangan yang tidak ringan. Kita bisa menanam investasi keluar Indonesia, tapi regulasi investasi di Indonesia sangat lemah dalam proteksi investasi asing di Indonesia.
“Indonesia bisa juga mengirimkan tenaga kerja (termasuk dari Aceh) ke negara-negara lain, tapi ada juga resiko ketenagakerjaan terhadap Indonesia sebab Indonesia lemah dari sisi pendidikan dan produktivitas dibanding Singapore, Malaysia, Vietnam, Thailand,” kata Saifuddin.
Kandidat gubernur yang hadir adalah Abdullah Puteh, Irwandi Yusuf (didamping cawagub Nova Iriansyah), Tarmizi Karim (didamping Zaini Jalil), dan T Alaidinsyah (cawagub dari cagub Zakaria Saman). Pada setiap selesai membahas masing-masing isu di atas, Saifuddin yang juga peneliti Pusat Studi Perdamaian dan Resolusi Konflik Unsyiah itu, dibantu moderator Yarmen Dinamika, mengajukan pertanyaan kepada masing-masing kandidat. Seratusan lebih peserta FGD tentu kemudian dapat mengira-ngira, mana di antara kandidat tersebut yang beragumentasi secara kuat, dan mana yang mungkin asal bunyi. []