Siapa yang lebih pantas, murid Wali Hasan Tiro yang senior atau murid yang lebih kuat menjalankan amanah-amanah Hasan Tiro dalam menjaga dan merawat Aceh?
Ada riwayat panjang terkait perlawanan Aceh dan salah seorang yang ikut dalam perjalanan merintis dan menjaga ritme perlawanan Aceh itu adalah Zaini Abdullah.
Rasanya, sosok yang akrab disapa Abu Doto ini sangat paham mengapa Aceh harus memberontak, dan mengapa pula akhirnya memilih berdamai. Sosok yang menyertai terus kehidupan Wali Hasan Tiro ini tentu sangat paham apa yang diinginkan Sang Wali atas Aceh. Jadi, jika saya pilih Zaini tentu tidak salah.
Memang tidak mudah untuk membawa Aceh menuju lebih baik. Tapi, bukan bermakna sama sekali tidak bisa. Kemudahan untuk melewati masa-masa berat akan lebih mudah manakala sudah ada pengalaman pahit sebelumnya.
Sebagai Gubernur Aceh saat ini, Zaini Abdullah bukan tanpa prestasi, baik dibidang politik maupun di bidang pembangunan lainnya. Ada banyak capaian yang sudah dilakukan, dan capaian makin menarik ketika berada diujung masa kepemimpinannya. Salah satu kebijakan yang disambut antusias oleh publik adalah Pergub tentang ASI meski masih disikapi secara kontroversial, baik di Aceh maupun di kalangan elit Jakarta.
Tapi tidak bisa dipungkiri juga, ada kelemahan di sana sini, dan salah satu yang paling menonjol adalah disharmoni dengan wakil gubernur. Kelemahan ini dengan sendirinya memicu kelambatan dan memunculkan gelombang kritik dari DPRA yang memang dikuasai oleh Partai Aceh yang memilih tunduk kepada Wakil Gubernur Aceh, Muzakir Manaf.
Meski Zaini Abdullah lebih senior dan selalu dekat dengan Wali ada pecinta Wali lainnya, yang juga jadi kandidat sekaligus pernah pula menjadi Gubernur Aceh. Lebih baik saya coba lihat lainnya mumpung masih ada waktu untuk menimbang-nimbang.
Sepertinya menarik juga dengan Irwandi Yusuf. Selain pecinta Wali Hasan, juga cukup cerdas, tegas, dan sudah punya pengalaman menjadi Gubernur Aceh, sama seperti Abu Doto, Abdullah Puteh atau seperti Tarmizi Karim meski sebatas penjabat Gubernur Aceh.
Pengalaman pasti penting sehingga kekeliruan sebelumnya dapat dihindari, dan gerak pembangunan bisa lebih cepat dari periode sebelumnya. Harus diakui, gebrakan Irwandi Yusuf pada periode pertama kepemimpinan di masa damai sangat menarik perhatian dan dukungan publik, baik di Aceh maupun di nasional, bahkan program JKA menjadi inspirasi nasional, dan sampai saat ini masih dilanjutkan dalam wajah lain yang sudah direvisi.
Gaya kepemimpinan Irwandi Yusuf juga sangat diapresiasi publik dan dipandang mewakili karakter kepemimpinan Aceh. Ia sosok yang lembut jika berhadapan dengan rakyat kecil, tapi menjadi pribadi yang tegas dan terkadang keras kepada pihak birokrat, pengusaha dan penguasa Jakarta. Komitmennya terhadap lingkungan hidup juga banyak dipuji, dan bahkan pernah membuat elit bisnis Jakarta kehilangan nyali jika berhadapan dengannya, sebab untuk urusan lingkungan hidup ia tidak mau kompromi.
Itu bukan bermakna gaya kepemimpinan Doto Zaini tidak disukai. Sifat lembut, tenang, dan damai dari Abu Doto juga memiliki tempat tersendiri di mata publik. Dan keberaniannya melakukan bongkar pasang SKPA membuat dinas-dinas tidak punya kesempatan untuk melakukan aksi penyimpangan secara anggaran secara sistematis. Tapi ini juga kelemahan karena dapat memicu dugaan-dugaan yang mengarah kepada desas desus adanya kekuatan KKN dan permainan orang lingkar pinggang.
Kini, baik Zaini Abdullah maupun Irwandi Yusuf masih punya kesempatan untuk membuka informasi kekuatan mereka masing-masing dan menjernihkan apa yang sedang menjadi sorotan publik. Irwandi khususnya perlu menepis keraguan publik akibat masalah hukum yang dialami oleh Ruslan Abdul Gani yang dalam proses pemeriksaan sedang menyeret namanya meski baru sebatas dimintai keterangan. Proses pemanggilan sekalipun bisa menjadi konsumsi politik untuk membuat posisinya makin lemah minimal menimbulkan kekuatiran di publik.
Siapa dari keduanya yang lebih menarik, baik dari sisi murid Sang Wali maupun dari sisi kepemimpinan dalam menggeluarkan Aceh dari problem akut seperti kemiskinan, pendidikan dan kesehatan serta soal politik Aceh – Jakarta?
Sayangnya, di Pilkada 2017 ini, juga masih ada kandidat lain, dua diantaranya adalah Muzakir Manaf dan Abdullah Puteh. Keduanya juga pantas untuk dikenali sebelum menetapkan pilihan. Bersambung….[]