Walau Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh belum menentukan siapa saja akan mengikuti Pilkada Aceh 2017, namun perang urat saraf antar pendukung kandidat kian tajam, baik melalui medsos maupun via media yang bersimpati kepada mereka. Namun, sejauh ini hanya empat kandidat yang benar-benar disorot, Irwandi, Zaini Abdullah, Muzakir Manaf, Tarmizi Karim. Bila dipilah lagi, tiga kandidat yang awalnya satu induk –Irwandi, Zaini, Muzakir– adalah tiga (tidak) serangkai yang benar-benar beradu klaim tentang siapa yang paling unggul.
Ketiganya adalah para kandidat yang mengelola Aceh saat daerah ini bergelimang dana. Bahkan bila lebih jeli melihat. Irwandi adalah yang paling beruntung. Karena di masa Teungku Agam memimpin Aceh, Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi (BRR) NAD-Nias, serta ratusan NGO sedang berlimpah uang membangun Aceh pasca bencana gempa dan tsunami.
Irwandi, dalam konteks ini sebagai Pemerintah Aceh, sangat terbantu dengan adanya support nyata dari berbagai badan dunia, NGO dan BRR sendiri yang berjibaku bersama pemerintah membangun Aceh. Hingga akhirnya Irwandi berhasil menggagas program monumental yaitu Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) dan bantuan beasiswa untuk anak yatim di Aceh.
Banyak hal, kala itu, tugas pemerintah yang “diambil alih” oleh donor asing dan BRR. Sebut saja pembangunan kembali rumah rakyat, pemberdayaan ekonomi rakyat dan bantuan untuk eks kombatan TNA–khusus TNA– ditangani oleh Badan Reintegrasi Aceh (BRA).
Bila ditamsilkan, kala Irwandi “mewarisi” Aceh, daerah ini masih dalam kondisi berlimpah uang. Ia seperti generasi ke enam dalam sebuah trah kaya yang kayanya mencapai tujuh turunan.
Beberapa narasumber pernah berkata, apabila kala itu pasangan Zikir (Zaini Abdullah-Muzakir Manaf) memimpin Aceh, akankah program JKA dan beasiswa untuk anak yatim akan lahir?
Seorang yang lain balik bertanya. Apakah dengan bejibunnya uang Aceh kala itu, pasangan Zikir takkan punya gagasan yang sama walau dengan nama yang berbeda?
Kita tentu sepakat bahwa lahirnya program di atas tidaklah bisa dipisahkan oleh kerja kolektif. Irwandi tentu tidak mungkin sendiri. Minimal–kalau hendak menafikan peran Abu Doto dan Mualem– anggota DPRA yang mayoritas dari Partai Aceh, ikut merestuinya.
Semua pihak mengakui bahwa terobosan program tersebut telah meringankan beban rakyat Aceh yang miskin. Walau hanya kelas III, berobat gratis sangat membantu kaum papa untuk mendapatkan pelayanan kesehatan “gratis” itu. Tentu standing applaus harus diberikan untuk lelaki kelahiran Bireuen itu.
Anak yatim pun bergembira. Beasiswa yang diberikan sangat membantu mereka. Lihat saja, wajah mereka berseri-seri ketika musim cair uang itu tiba. Mereka berterima kasih kepada Irwandi.
Pilkada 2012, peta politik berubah. Takdir menempatkan pasangan Abu Doto dan Muzakir memimpin Aceh. Mereka melanjutkan dua program monumental itu. JKRA dan beasiswa yatim. Rakyat tetap memberikan standing applaus. “Nikmat” itu tetap berlanjut.
Oh ya, Irwandi punya program moratorium tebang hutan. Zaini-Muzakir pun punya moratorium tambang. Program pemberdayaan eks kombatan pun tetap mereka lanjutkan.
Mungkin, untuk melihat siapa yang lebih unggul, tentu harus melihat realisasi anggaran lainnya. Seberapa besar berdampak bagi hilangnya kemiskinan di tubuh rakyat. Evaluasi ini penting untuk dilakukan, agar kita mendapat pembanding yang adil bagi ketiganya.
Ada satu perbedaan besar yang menjadikan ketiganya berbeda. Bila di era Irwandi BRR dan lembaga donor lain meu wet-wet di Aceh dengan uang yang bejibun, masa Zaini-Muzakir, semuanya sudah angkat kopor dari Aceh. Misi mereka sudah selesai.
Kembali ke persoalan awal, bilakah Zaini-Muzakir memimpin Aceh di tahun 2006, akankah program mercusuar itu lahir? Pastinya program itu mereka lanjutkan. Jangan pernah lupa prinsip lelaku kolektif kolegial. Mereka tidak berdiri terpisah satu dengan lain.
Hal utama menyikapi periode 2017-2022 adalah sikap kritis dan jeli membaca semua bakal pemimpin Aceh, dan telaah rekam jejak dalam porsi yang pas memang diperlukan. Tapi apa yang bakal mereka rekam untuk masa depan rakyat Aceh yang lebih baik lagi, jauh lebih utama lagi. Kita harapkan, tidak ada kandidat yang sombong, sebab kini pemilih bergerak dinamis dalam memberi dukungannya. []