Siapa yang lebih baik, pemimpin yang sudah menjalani masa hukuman, atau pemimpin yang pernah menjalani masa-masa pemberontakan?
Abdullah Puteh juga pernah jadi Gubernur Aceh. Sayangnya waktu beliau jadi gubernur tidak cukup beruntung karena berada di masa puncak konflik. Jika boleh berandai, barangkali Aceh bisa lebih baik jika gubernurnya Abdullah Puteh? Barangkali!
Sayangnya lagi, masa tidak bisa dimaju undur. Dan fakta yang mesti diterima adalah Abdullah Puteh pernah menjadi terhukum dan sudah menjalani masa pembinaan.
Jika kita mengacu kepada kisah-kisah masa silam, tidak semua orang bersalah akan selamanya menjadi orang salah. Sebaliknya, ada juga orang saleh yang menjadi salah. Ada banyak kisah-kisah mengagumkan dari orang-orang yang punya masa lalu yang gelap.
Dalam konteks hukum Indonesia terkini, semua warga negara diberi hak untuk memilih dan dipilih, dan urusan dipilih atau tidak diserahkan sepenuhnya kepada pemilih. Mantan narapidana juga dibenarkan untuk mencalonkan diri sejuah dirinya jujur menjelaskan statusnya sebagai pernah dihukum.
Terakhir Muzakkir Manaf. Sebagai Panglima yang pernah memimpin perlawanan di medan tempur pasti paham betul bagaimana kondisi masyarakat yang dahulu akrab dengan prajurit. Kedekatan itu tentu membuat sosok yang akrab dipanggil Mualem ini paham ragam kesusahan rakyat. Modal sosial ini sangat penting bagi pemimpin bagi melahirkan kebijakan pro rakyat.
Sebagai Wakil Gubernur, tentu Muzakir Manaf sudah memiliki kesempatan untuk mengetahui seluk beluk dunia birokrasi, dan pengalaman yang tidak mudah sebagai wakil, bisa jadi juga modal perubahan jika ia terpilih sebagai gubernur Aceh, khususnya dalam menjaga hubungan harmoni dengan wakil gubernur.
Apalagi posisinya sebagai orang pertama di Partai Aceh yang menguasai DPRA. Bagaimanapun harmonisasi eksekutif dan legislatif akan menentukan percepatan proses pembangunan.
Sebagai yang pernah terhukum, Abdullah Puteh tentu tahu betul akibat bagi diri dan keluarga sekaligus dampaknya bagi pembangunan. Korupsi memang tindakan yang secara langsung menghentikan daya dorong pembangunan. Karena itu wajar manakala segenap kalangan sepakat bahwa korupsi mesti dihentikan.
Kita bisa membayangkan, dengan pengalaman dan riwayat pedihnya hidup dipenjara, betapa Abdullah Puteh akan menjadi Panglima Pemberantas Korupsi di Aceh. Medan korupsi yang dahulu amat diketahui dalam dunia pemerintahan sudah pasti akan mudah untuk ditaklukkannya. Selama ini, siapapun yang menjadi Gubernur, tidak tertutup kemungkinan berujung masuk penjara, sebagaimana yang telah dialami sendiri oleh Abdullah Puteh.
Kita juga bisa membayangkan, dengan pengalaman hidup yang berat di medan juang, Muzakir Manaf juga sangat mungkin menjadi Panglima Pembangunan. Potret derita rakyat yang pernah disaksikannya di berbagai pelosok negeri menjadi pengetahuan yang kuat untuk menghadirkan program pembangunan yang berpihak kepada rakyat kecil.
Bukan hanya itu, kedekatan Mualem dengan rakyat sebagai pelindung utamanya di masa perang dan kedekatannya dengan alam, sangat mungkin untuk menghadirkan kepemimpinan yang penuh kasih sayang kepada rakyat dan peduli lingkungan.
Tapi memang, semua sifat-sifat utama yang dibutuhkan rakyat dan Aceh dari pemimpin memang bisa ada pada siapa saja. Pengetahuan dan pengalaman hanya menjadi faktor pendukung. Untuk itu, dalam konteks Pilkada 2017, masih perlu juga kita cermati positioning masing-masing kandidat, dan itu akan diulas lebih lanjut. Di pasar Pilkada, siapa yang lebih menarik pemilih, apakah sosok yang menempatkan dirinya sebagai titipan pusat, atau sosok yang menggambarkan dirinya sebagai pembela Aceh.
Dalam konteks keberpihakan lingkungan barangkali juga perlu untuk dicermati khususnya dari beberapa mantan Gubernur Aceh, termasuk penjabat Gubernur Aceh. Apa yang sudah pernah mereka lakukan di Aceh terkait lingkungan hidup. Semua ini saya lakukan sebelum memantapkan pilihan di Pilkada 2017. Kata orang, ini agar tidak terjadi “beli kucing dalam karung.” []