Dari semua kandidat, siapa bakal calon gubernur Aceh yang memiliki daya tarik, dan itu membedakannya dari kandidat lain?
***
Sejenak saya terdiam, dan belum mau mengambil keputusan, siapa yang bakal saya pilih. Semuanya memang terlihat menarik. Semua ada sisi kuat, minimal tampak dari sisi kemasan luarnya.
Masalahnya, Pilkada hanya sekali dan pilihannya memberi konsekuensi lima tahunan kepada diri saya dan orang lain. Terkadang teringat juga humor Pilkada dan pil KB. Kalau jadi, maka lupalah rakyatnya, ini Pilkada. Kalau lupa maka jadilah, dan ini Pil KB.
Baiklah, untuk sementara saya melihat kemasan luarnya dahulu. Dari sisi positioning, siapa kandidat yang paling memikat saya untuk menentukan pilihan. Apa yang membuat mereka berbeda, satu dengan lainnya?
Kalau ukuran perbedaannya adalah kecerdasan sudah tidak menarik lagi. Sebab saat ini yang disebut cerdas itu tidak lagi tunggal, hanya kecerdasan intelektual saja atau Intelligence Quotient. Kini, sudah dikenal juga yang namanya kecerdasan majemuk atau Multiple Intelligences, yang terdiri dari sepuluh jenis kecerdasan. Ada juga kecerdasan emosional atau Emotional Quotient yang diperkenalkan oleh Daniel Goleman.
Terbaru adalah dimunculkannya Spiritual Intelligence yang dikenalkan oleh Ian Marshal & Danah Zohar, teolog dan filosof dari Inggris. Jika ditanya, siapa lebih cerdas Tarmizi Karim dengan Apa Karya? Jawabannya tidak langsung kita jawab secara kecerdasan intelektual saja.
Tapi, yang banyak dalam ulasan-ulasan terkini, yang dibutuhkan oleh seorang pemimpin adalah kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual. Sayangnya, untuk paham betul soal ini sangat penting bergaul secara langsung dengan semua kandidat, tidak cukup hanya dilihat dari kemasan luarnya saja.
Lantas, secara kasat mata apa yang membedakan calon gubernur yang satu dengan yang lainnya? Jika gubernur sebagai wakil atau titipan pusat juga sudah tidak menarik lagi. Soalnya hampir semua kandidat memposisikan diri sebagai titipan pusat. Awalnya positioning ini dilakukan oleh Tarmizi Karim, lalu terkini juga dilakukan oleh Irwandi Yusuf. Bahkan, ramai-ramai menegaskan bahwa dalam kedudukannya gubernur adalah wakil dari Pemerintah Pusat.
Meski begitu menarik melihat cara Muzakir Manaf memposisikan dirinya. Berbeda dengan kandidat lain, ia justru menarik garis pembeda dengan semua kandidat lain dengan cara mengkritik keputusan MK dan menyebutnya sebagai bentuk pengingkaran negara terhadap Aceh.
Terlepas dari polemik yang terbangun di publik terhadap “murkanya” Mualem, yang jelas gerak politik yang dilakukan oleh Mualem dan tim suksesnya berhasil memposisikan Mualem sebagai kandidat yang membela kepentingan Aceh. UUPA sebagai produk dari MoU Helsinki, dalam penilaian publik, memang harus dibela, tidak boleh bernasib sama seperti besi tua yang bisa dijual secara kiloan.
Image atau citra yang kini menjadi milik Muzakir Manaf ini sepertinya tidak mungkin lagi diambil oleh kandidat lain karena semua sudah memposisikan diri sebagai “sahabat” pemerintah pusat padahal pemilih ada di Aceh.
Debat dikalangan intelektual mungkin masih bisa membantu kandidat lainnya guna menjernihkan duduk persoalan tatanan peraturan di Indonesia. Tapi, dengan laku para intelektual yang umumnya masih memilih mendekat dengan poros kekuasaan maka perang opini hanya mungkin terjadi sebatas di media sosial belaka.
Dan, jika tim sukses Mualem memobilisasi para pihak untuk melakukan lobi politik dengan pusat agar bersedia melindungi kepentingan Aceh yang sudah ada di MoU Helsinki yang berwujud UUPA dan jika mereka berhasil membujuk pihak yang mengajukan JR pasal-pasal UUPA ke MK agar membatalkan gugatan maka posisitioning Mualem akan semakin menguat. Dalam stratak pemenangan, semua skenario sangat mungkin terjadi, dan publik di pasar Pilkada umumnya cenderung “membeli” sesuatu yang memang menarik.
Masih ada waktu, siapa tahu bakal ada kejutan dari kandidat lain, dan kejutan itu bisa membuat saya berpindah untuk mendukung. Salah satunya adalah soal keberpihakan kepada lingkungan hidup. []