Ia bukan perempuan biasa. Kesetiannya kepada suami sudah dibuktikan, jauh sebelum Aceh bergelimang dana dari pusat. Bahkan, ia rela berpisah dengan semua orang yang ia cintai, demi mendukung cita-cita sang suami, merengkuh kemerdekaan Aceh. Air mata, senyum kecut, gundah, bahkan siksaan fisik telah ia rasakan.
Swedia bukanlah tanah tempat ia menancapkan mimpi besarnya. Negeri Skandinavia itu hanya singgahan. Kekentalan kuah pliek mujahet dan keurupuk mulieng, telah menyatu dalam tiap tetes darah di kandung badan. Ia memaksa diri bergumul salju, padahal ia rindu berseluncur di bukit yang penuh naleung lakoe.
Umi Niazah, atau Niazah A. Hamid. Istri tercinta Zaini Abdullah yang kini dipercaya oleh rakyat untuk memimpin Aceh bersama Muzakir Manaf. Seorang perempuan sederhana yang tidak sungkan tersenyum kepada siapapun. Seorang first lady yang berjiwa pengabdi. Pejuang yang tidak ingin disebut pahlawan.
Menjadi istri Zaini Abdullah tidaklah mudah. Dokter lulusan Universitas Sumatera Utara itu– dulunya– adalah seorang yang berseberangan pandangan politik dengan Republik Indonesia. Ia memilih bersetia berjuang bersama Wali Neugara Aceh, Tengku Hasan Muhammad di Tiro.
Waktu itu tentu sah saja Umi Niazah muda punya dan bisa membuat pilihan. Parasnya nan rupawan tentu diidam-idam oleh pemuda lain. Apalagi isi kepalanya cespleng. Namun, ia tetap setia pada janji. Bahwa Zaini adalah cintanya yang pertama dan terakhir kali. Ia tidak peduli bahwa sebagai wanita ia butuh kenyamanan dan kesejahteraan hidup. Ia memilih “bergerilya” membela Aceh bersama sang pujaan hati.
“Tidak mudah menyintai seorang yang diburu oleh pemerintah serta keadaan ekonominya seret kala itu. Tapi umi–layaknya istri-istri setia lainnya– tetap kukuh mendampingi sang pujaan hati. Menjadi istri pentolan GAM tidak mudah,” ujar seorang kenalan.
Menjadi istri Gubernur Aceh bukanlah cita-citanya. Untuk itu pula, walau terlalu banyak gosip yang ditimpa kepadanya tentang upayanya mempengaruhi kebijakan Zaini, ternyata ia tidak melakukan satu pun dari fitnah itu. Umi Niazah mampu memisahkan antara urusan domestik dan negara.
“Tak sekalipun Umi membawa kepentingan pribadinya dalam tiap keputusan Abu Doto. Hanya mereka yang tidak mengenal beliaulah yang tega menghasut,” kata seorang sumber.
Kini, tersiar kabar bila Zaini tidak lagi terpilih Niazah akan kembali ke Swedia. Tentu haba itu “menusuk” Umi. Dalam sebuah wawancara ia pernah berkata bahwa yang paling ia rindui ketika di luar negeri adalah Aceh.
“Aceh adalah nafas saya. Bersetia mendampingi Abu adalah wujud bila saya menyintai negeri ini. Bagi saya Aceh adalah destinasi. Sebuah negeri harapan untuk menguatkan Islam dan entitas bangsa kita,” ujar Umi.
Umi mengaku bila saat ini dirinya sedang proses naturalisasi. Sebagai pelarian politik, ia tidak menerima amnesty layaknya pentolan GAM. Mungkin kala itu ia tidak masuk hitungan.
“Saya ingin dikubur di Aceh. Saya tidak ingin kembali ke tanah pengasingan. Saya bukan orang asing. Niazah adalah putri Aceh. Inong Aceh yang bersetia basa bersama samlakoe untuk membela Aceh. Saya sedang melalui proses naturalisasi,” ujarnya.
Ia tahu semua kabar miring itu dipanahkan ke dirinya, dengan tujuan merontokkan Abu Doto. Sebagai istri ia sudah siap. Sudah banyak hal yang dia buktikan untuk sebuah pengabdian.
“Derita Abu Doto adalah derita Umi Niazah. Mereka menyintai untuk saling melengkapi. Mereka berjuang sampai usia senja, demi sebuah mimpi. Mencapai Aceh yang gemilang,” imbuh seorang kenalan.[]