Setiap datang tanggal 16 September masyarakat Aceh mengenang sosok Safwan Idris, Rektor (mantan) Universitas IAIN Ar-Araniry (sekarang UIN Ar-Araniry). Salah satu kampus terbesar di Aceh yang telah banyak melahirkan intelektual.
Safwan Idris benar-benar sejatinya pemimpin tulis jurnalis senior Risman Rachman pada status facebooknya. Safwan Idris telah menunjukkan keteladanan dalam hal etika kepemimpinan. Ia tidak sudi manakala menjadi pemimpin harus menempuh cara-cara kotor dan senantiasa menghisap diri dengan pertanyaan kunci: apakah saya pantas untuk jabatan itu?
Pernyataan serupa datang dari Bung Alkaf, salah satu intelektual Aceh yang menulis tentang Safwan Idris “Untuk Dia yang tidak pernah mati: Safwan Idris.” Saya kutip penggalan tulisan Bung Alkaf “Pak Safwan adalah pemimpin yang sebenar-benarnya pemimpin. Rusydi Ali Muhammad, Rektor IAIN Ar-Raniry yang menggantinya, sampai menulis bahwa dia bukan-lah Rektor, melainkan pengganti Safwan Idris.”
Konflik politik yang berujung pada duet maut antara GAM versus Pemerintah saat itu ikut melibas orang-orang yang tidak menginginkan pertarungan itu terjadi, salah satu yang menjadi korban Safwan Idris.
Safwan Idris ditembak di rumahnya, di Darussalam, pada 16 September 2000. Beliau meninggal dunia beserta meninggalkan misteri tentang sosok pelaku pembunuhan. Hingga saat ini misteri itu belum terungkap. Dalam hal inilah, salah satu esensi kehadiran KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) menjadi penting ada di Aceh untuk mengungkap fakta kebenaran secara resmi. Selama kebenarannya tidak terungkap secara jujur, maka kedua pihak yang bertikai akan terus menjadi terduga!
Bicara konflik kekerasan di Aceh, ingatan saya tertuju pada Soeharto, pemimpin tertinggi rezim Orde Baru. Sosok yang meraih kekuasaan untuk menjadi Presiden dengan cara-cara “kotor dan jahat”. Dan cara-cara itu ia pertahankan dalam memimpin pemerintahannya. Siapa pun yang bersebrangan atau melawan ‘digebuk’ olehnya tanpa ampun. Termasuk menghadapi Aceh. Dengan dalih menumpas gerakan separatis diberlakukan kebijakan operasi militer. Sebuah kebijakan yang membawa Aceh dalam situasi chaos yang berdarah-darah.
Pemerintahannya juga menumbuh subur praktik KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme). Salah satu bukti hukum, putusan Mahkamah Agung No. 140 PK/2015 yang menyatakan Yayasan Supersemar milik Soeharto telah melakukan perbuatan melawan hukum dan wajib membayar uang sebesar Rp.4,4 Triliun. Tapi Soeharto tidak pernah dipidana karena deponir karena kondisi kesehatan yang memburuk dan akhirnya meninggal.
Dari dua cerita tokoh di atas, siapa yang pantas dinobatkan sebagai Pahlawan?
Pahlawan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Sifat seorang pahlawan adalah kerelaan berkorban. Tidak mementingkan diri sendiri.
Salah satu syarat untuk mendapat gelar pahlawan yang disebutkan didalam Undang-Undang No. 20/2009 adalah memiliki integritas moral dan keteladanan, berkelakuan baik, setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negaranya.
Nama Soeharto dinobatkan untuk mendapat gelar pahlawan. Wacana memberi gelar pahlawan pada Soeharto sudah muncul sejak zaman Presiden SBY. Tapi ditunda karena penolakan dari masyarakat. Kini, di era Presiden Jokowi, wacana itu muncul kembali. Meski mendapat penolakan dari masyarakat. Pemerintah bergeming. Bahkan kabarnya bulan November 2016, gelar pahlawan akan disematkan pada mendiang Soeharto.
Jika gelar pahlawan tetap disematkan kepada Soeharto. Merujuk kembali kepada cerita di atas, pertanyaannya adalah pantaskah?
Amanah dari orang tua mengatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Mengingat jasa para pahlawan, berarti juga mengaplikasi nilai-nilai luhur (mulia), dan tauladan dalam kehidupan sehari-hari.
Apa yang akan kita wariskan kepada generasi selanjutnya, sangat ditentukan sikap dan tauladan masyarakat saat ini dalam memproduksi nilai-nilai kepemimpinan dan kepahlawanan. Semoga kita tidak mewarisi nilai-nilai kepemimpinan dan kepahlawanan yang membawa malapetaka bagi kelangsungan hidup manusia!
Puncak Bogor, 170916.