ACEHTREND.CO, Banda Aceh – Apa beda politik bagi Aceh dan Jakarta? Bagi politisi di Jakarta khususnya dikalangan para elit, politik hanya dilihat sebagai permainan statistik tanpa emosi dan hati. Oleh karena itu Rasa, emosi, dan empati tidak dilibatkan. Tidak melibatkan elemen-elemen manusiawi yang sangat kompleks.
Penilaian itu disampaikan Wiratmadinata, Wakil Ketua Partai NasDem Aceh. Wira selama ini juga dikenal sebagai penulis, peneliti, ahli Resolusi Konflik dan pengajar di beberapa Universitas.
Berhubung abai terhadap aspek kemanusiaan, maka keputusan politik atas Aceh yang dihasilkan oleh elit partai di pusat semata didasarkan pada perhitungan angka, statistik, dan kalkulasi matematik yang disederhanakan. Sehingga sering tidak produktif dan malah berpotensi konflik.
“Bagaimana posisi survey si A dibanding si B, atau berapa modal finansial yang dimiliki si A dibanding si B, dan apa yang bisa diberikan si A dibanding si B jika dimenangkan adalah aspek utama pertimbangan elit politik di Jakarta,” urai Wira.
Elit di Jakarta, menurut Wira, sama sekali abai terhadap gairah, semangat, bahkan militansi, serta keringat dan air mata para kader politik. Para politisi bahkan aktir-aktor politik secara umum hanya dilihat sebagai elemen, yaitu pion-pion politik. Tidak dilihat dalam relasi sosial dan psikologis kemanusiaan. Oleh karena itu cara melihatnya sangat matematis, faktor-faktor sosial, dan kemanusiaan bisa dikalahkan oleh faktor finansial, dan kesepakatan yang bisa dihasilkan dari proses politik.
“Bagi saya, semua itu jadi kontrademokrasi dan bertolakbelakang dengan gairah politik yang sedang terbangun di Aceh paska konflik,” tegasnya.
Dalam pencermatannya, relasi politik di Aceh masih kental dengan segenap aspek kemanusiaan, seperti rasa, emosi, empati dan lainya.
“Itu sebabnya politik di Aceh senantiasa bernadi, memiliki jiwa, nyawa dan hidup bahkan bergairah. Bertolakbelakang dengan relasi politik di Jakarta, tidak berhati, tidak berperasaan dan tidak memiliki intrinsik manusiawi,” sebutnya.
Wira mengingatkan pentingnya memiliki sikap hati-hati dengan putusan politik yang dihasilkan di Jakarta.
“Ketika berbicara tentang Aceh.
Jakarta selalu merasa paling pintar dan lebih tahu.
Justru disitulah akar masalahnya.
Seperti Belanda, kata kawanku Fikar W. Eda,” pungkasnya. []