Islam merupakan agama universal yang mengatur tentang berbagai aspek kehidupan umat manusia di atas dunia ini. Mulai dari masalah u’budiyah, muamalat, munakahat sampai pada masalah jinayat. Sebagai mana sudah kita ketahui bahwa salah satu sunatullah, makhluk hidup diciptakan secara berpasang-pasangan. Untuk mengatur hubungan antara dua insan tersebut, Islam menetapkan serta mengatur tata cara yang terbaik yaitu melalui proses perkawinan.
Di dalam perkawinan, Islam mengatur kehidupan dengan berbagai aturan-aturan demi kemaslahatan umatnya sendiri dan umat manusia pada umumnya. Seperti adanya rukun-rukun nikah, syarat-syarat menjadi suami atau istri, garis nasap serta aturan lainnya. Islam juga menawarkan solusi terbaik yang tak pernah ditawarkan agama-agama sebelumnya. Di antaranya islam menetapkan konsep aturan poligami dengan aturan-aturan tertentu.
Para antropolog dan sejarawan mengatakan poligami telah dipraktekkan di sejumlah tempat sebelum Islam muncul, jadi poligami bukanlah hal yang baru yang dibawa oleh agama Islam. Poligami muncul dikarenakan sistem perbudakan yang mewarnai pejalanan kehidupan manusia. Laki-laki yang mempunyai kekuatan dan harta yang melimpah membeli budak wanita untuk dijadikan pembantu, pelacur dan sebagai simbol kemegahan. (Sumber: Syaikh Rasyid Ridha, Aduhai Kaum Hawa: Beginilah Seharusnya Wanita Bersikap, terj. Luqman Junaidi, Cet. 1 (Jakarta: Sanibil Putaka, 2006), hal.99.).
Syekh Rasyid Ridha juga menyebutkan bahwa bentuk poligami yang dipraktekkan kala itu (di luar Islam), berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya.
Poligami adalah sesuatu yang halal, dalilnya pun telah jelas di dalam al-Quran dan hadist. Lantas mengapa poligami ditentang oleh sebagian kelompok? kontroversial soal poligami bukanlah hal yang baru. Pada tahun 1973, saat RUU perkawinan diajukan ke DPR, pro dan kontra masalah ini sudah mencuat kepermukaan. RUU perkawinan yang diajukan oleh Menteri Kehakiman pada saat itu, Marseno Aji. Karena RUU itu menolak adanya praktik poligami, telah memicu perlawanan keras terutama dari masyarakat yang beragama Islam. Tidak hanya sampai di situ larangan berpoligami telah berefek kepada banyaknya anggota PNS dan TNI/Polri yang melakukan pernikahan secara sembunyi.
Ini tentunya justru melecehkan perempuan. Ironisnya lagi pemerintah hanya diam kala kasus skandal yang melibatkan pejabat pemerintahan terjadi, bahkan di kalangan bawah pemerintah seakan melegalkan praktek pelacuran atau setidaknya perhatian pemerintah dalam masalah ini amat minim. Terlepas dari persepsi di atas banyak juga kalangan yang menyatakan poligami pada hakikatnya merupakan pelecehan dan penghinaan terhadap martabat perempuan, sebab, mana ada perempuan yang rela dan bersedia dimadu, sebagaimana halnya laki-laki, mana ada dan bersedia dimadu.( Siti Musda Mulia, Islam Menggugat Poligami,).
Kaukus Perempuan Parlemen Indonesia (KPPI) menilai poligami perlu dibatasi. Karena itu KPPI mendukung penuh revisi PP No. 45 tahun 1990. Lewat revisi ini, KPPI berharap harkat dan martabat perempuan bisa terangkat dan lebih bermartabat. Hal senada juga keluar dari Husna Mulia, anggota komnas perempuan. Dia secara gamblang mengatakan poligami adalah sesuatu yang tidak adil. Ia berargumen, ketidak adilan terjadi dikarenakan sang istri hanya mencintai sang suami, sang suami mengapa malah boleh berbagi kasih? Suara kontoversi yang lebih keras muncul dari Nong Dahrol, selaku kontributor Jaringan Islam Liberal ia berpendapat sangat tidak setuju dengan poligami. Menurutnya seorang istri yang dipoligami lebih baik bercerai dari pada harus menerima suami yang berbagi kasih dengan wanita lain.
Poligami pada dasarnya bersifat natural. secara fisolofis, semua makhluk hidup “jantan” tercipta dengan bakat poligami. Islam pun tidak melarang masalah ini bahkan juga tidak mencelanya. Tetapi Islam memberikan batasan dan aturan-aturan dalan praktek poligami. Anggapan poligami merupakan fasilitas pemanjaan nafsu para leleki adalah prasangka belaka yang amat tidak relevan. Sesuai dengan hukum islam, lelaki yang dapat menjadi seorang suami yaitu laki-laki yang sehat mental, fisik dan ekonomi. Secara logika lelaki yang dapat menjadi suami akan lebih sedikit dibanding dengan perempuan yang membutuhkan suami. Maka poligami adalah suatu solusi yang amat relevan untuk menyeimbangi antara supply and demand, sehingga tidak akan menimbulkan permesuman diluar nikah, yang tentunya akan amat melecehkan kaum perempuan sendiri.
Poligami sendiri menurut beberapa pakar dan ulama membawa efek-efek positif bagi kehidupan masyarakat. Di antaranya meminimalkan pelacuran yang jelas-jelas telah diharamkan Allah Swt. Juga membawa wanita kepada martabat yang luhur serta menjadikan kultural suatu bangsa lebih baik dan bermatabat.
Dr. Gustaf lebon yang merupakan seorang pemikir produktif telah meneliti masalah poligami Islam memberikan pendapat dalam bukunya peradaban Islam tentang keadilan hukum Islam yang berkenaan dengan poligami. Mengingat kondisi masyarakat memang menuntut untuk itu. Hal senada juga diungkapkan Lady cokce, yaitu penulis terkenal dalam surat kabarecho. Beliau mengatakan “… begitu pedihnya beban para wanita. Mereka harus menanggung nafakah anak-anaknya sendiri…”. Van Uhne Muslis juga berpendapat poligami sangat penting dan menjadi suatu kemestian bangsa Arya untuk memperbanyak dan melestarikan keturunannya. (Syaikh Rasyid Ridha, Aduhai Kaum Hawa: Beginilah Seharusnya Wanita Bersikap, terj. Luqman Junaidi, Cet. 1 (Jakarta: Sanibil Putaka, 2006), hal. 99.)
Poligami sebenarnya mengangkat martabat kaum wanita, bukan malah melecehkannya. Karena poligami yang dibolehkan dalam Islam bukanlah poligami secara mutlak tanpa aturan. Poligami dalam Islam memiliki aturan aturan sebagaimana yang termaktub didalam Al Qur’an surat An Nisa’ ayat 3, yang berbunyi: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bila mana kamu mengawininya) maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya’ (QS. An-Nisa:3)
Jelas ayat itu memberikan keterangan bahwa Islam memberikan batasan bagi para lelaki untuk memiliki istri yang boleh dinikahi sesuai dengan kemaslahatan keturunan yaitu satu hingga empat orang istri. Itupun dengan ketentuan mampu berbuat adil terhadap para istri-istrinya. Berdasarkan Ayat di atas menyebutkan bahwa suatu kebenaran. Jadi setiap orang yang menentang kebenaran ayat ini, bisa di hukumi musyrik bahkan kafir, karena meragukan isi kandungan Al Qur’an dan mengharamkan sesuatu yang telah dihalalkan sama dengan telah keluar dari Islam. (Isnaeni Fuad, Berpoligami Dengan Aman, (Jombang: Lintas Media, tt), hal. 9).
Walaupun demikian, kebenaran berpoligami bukanlah satu peluang yang baik kepada kaum lelaki. Tetapi merupakan satu tanggung jawab yang besar sekiranya diamalkan. Seseorang yang hendak berpoligami hendaklah mengikuti peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh syara’ supaya perkara-perkara yang tidak diinginkan tidak terjadi. Poligami yang diamalkan dengan baik dan mengikuti syariat Allah akan mendapat berkat dan bahagia di dunia dan di akhirat. Sedangkan poligami yang mengikut hawa nafsu tentunya akan dilaknat dan dimurkai oleh Allah Swt.