Sepertinya, politik belah bambu sudah berganti menjadi politik belah duren. Ini pertanda jika sisi kejam dari politik belah bambu sudah diganti dengan sisi leukit dari politik belah duren.
Itu artinya, para elit politik di nasional, dengan kewenangan yang mereka miliki dalam hal penetapan calon gubernur di daerah pada Pilkada serentak tahun 2017 ini sedang melakukan politik belah duren terhadap kandidat di daerah, termasuk di Aceh?
Berdasarkan pengakuan lepas beberapa kandidat, minimal tim sukses kandidat, maka bisa disimpulkan bahwa ada elit partai yang hanya membelah duren besar (kandidat gubernur dan wakil) saja, dan juga ada yang membelah hingga duren kecil (kandidat bupati/wali kota dan wakilnya).
Barangkali, para elit politik di Jakarta terinspirasi dengan lagu Julia Perez berjudul “Belah Duren” yang oleh Jupe diklaim enak apalagi di malam hari, sambil pintu terkunci, agar tidak ada yang mengetahui.
Ya, Jupe benar. Dalam politik belah duren para kader di daerah tidak tahu nikmat apa yang sedang dinikmati oleh para elit di Jakarta. Jikapun tahu hanya sekedar aromanya saja.
Selain aroma, ada juga yang harus dikelola oleh kader partai nasional di daerah, yaitu “duri” dari “duren” yang dihasilkan dari pembelahan bersama. Para kader harus legowo dan mengamankan keputusan yang diambil oleh elit. Dengan mengacu kepada undang-undang dan peraturan organisasi, kader di daerah tidak bisa tidak selain mengikuti perintah. Jika tidak maka sang kader harus keluar atau dipecat jika mendukung calon lain.
Apakah wujud nikmat duren yang sedang dinikmati oleh para elit politik nasional itu? Ada yang bilang ragam macam, mulai dari uang mahar atau uang hangus, sampai dengan bagian-bagian yang bisa diatur oleh seorang calon bila keluar sebagai pemenang.
Wujudnya bisa izin perkebunan, izin pertambangan, janji jumlah kursi DPRA, posisi garapan atas dinas, plus sekedar uang pesta Pilkada 2017. Ada yang bisik, ini semua wujud menjadikan Pilkada 2017 sebagai mesin mengisi ATM elit politik untuk Pilpres 2019. Benarkah?
Sayangnya, seperti Jupe bilang, karena belah durennya di malam hari, dengan pintu terkunci, maka tidak ada yang mengetahui, apalagi sampai mendapatkan bukti. Tiba-tiba saja kita semua mencium aroma, dan para kaderpun mengalami ekstasi sambil membuang aneuk drien dan kulet drien, terkadang malah hingga tangan tergores bahkan terluka. Duh!
Untuk Aceh, kader yang militan untuk buang aneuk dan kulet drien hanya sedikit. Hanya mereka yang bersedia jilat aso drien bekas dimakan elit. Fenomena yang tampak justru politik terbelah, di nasional dukung si A, di daerah dukung si B. Elit dukung si C, kader diam-diam dukung yang lainnya, atau memilih diam-diam saja. Nyo meunan? Kadang! []