Hampir setiap kali pemilukada selalu ada fenomena calon kepala daerah yang diajukan oleh partai politik tingkat provinsi dan kabupaten kota tidak searah dengan kebijakan partai tingkat nasional. Sehingga banyak kader-kader partai terbaik di daerah yang menjadi korban kebijakan partai politik tingkat pusat DPP.
Baru-baru ini kita melihat kasus yg dialami oleh DPD Partai NasDem aceh, dimana pencalonan ketua Nasdem Aceh Zaini Djalil sebagai calon wakil gubernur mendampingi Tarmizi Karim harus dikocok ulang dan itu harus diterima karena perintah DPP (?). Terlepas hal tersebut sebagai sebuah strategi dan hasil keputusan partai koalisi.
Kemudian ketua DPD partai Golkar Aceh T.M.Nurlif yang sudah jauh-jauh hari mendeklarasikan diri sebagai calon Gubernur Aceh juga harus menerima kenyataan pahit bahwa yang diusung kemudian T. Macksalmina sebagai calon wakil gubernur, T.Macksalmina tak lain adalah sekretaris Nurlif di DPD Golkar Aceh. Lagi-lagi diputuskan melalui keputusan DPP Golkar di Jakarta.
Kemudian yang sedang hangatnya, DPP Partai Amanat Nasional menarik dukungan yang telah diberikan untuk calon gubernur Muzakkir Manaf dan DPD PAN provinsi Aceh tetap akan mendukung Muzakkir Manaf dimana harus melawan keputusan DPP.
Dari beberapa kasus di atas peranan DPP partai politik masih sangat tersentralisasi bahkan sangat – sangat tidak mengakomodir aspirasi DPD tingkat Provinsi dan Kabupaten Kota. Padahal semangat desentralisasi untuk mengatur daerah diri sendiri sudah sangat lama dikobarkan. Karena yang paling tahu kebutuhan daerah adalah daerah itu sendiri.
Mengutip tulisan wiratmadinata , ”Bagi politisi di Jakarta khususnya dikalangan para elit, politik hanya dilihat sebagai permainan statistik tanpa emosi dan hati. Oleh karena itu Rasa, emosi, dan empati tidak dilibatkan. Tidak melibatkan elemen-elemen manusiawi yang sangat kompleks” (Acehtrend 25/9/2016).
Apa yang disampaikan Wira bahwa Pusat cenderung melihat daerah sebagai sebuah statistik ada benarnya. Semestinya hal tersebut tidak akan terjadi jika partai politik sudah tidak menganut sistem sentralisasi.
Negara saja pasca reformasi sudah tidak lagi menganut sistem sentralisasi. Ini menjadi aneh ketika partai politik masih ketinggalan dengan sistem yang lama.
Kita menginginkan semangat desentralisasi menyentuh partai politik. Sehingga tidak ada kader-kader partai politik terbaik di daerah yang menjadi korban kebijakan DPP Jakarta.
Sudah saatnya bagi seluruh DPD tingkat Provinsi dan Kabupaten Kota ketika saat munas, kongres dan lain-lain apalah namanya untuk memperjuangkan desentraliasi DPD. Jangan hanya menjadi penonton dan penggembira ketika munas. Sehingga ketika pemilukada keputusan untuk mengajukan calon kepala daerah bukan cuma sekedar rekomendasi yang tidak memiliki arti.
Pada akhirnya semua kembali kepada dewan pimpinan daerah partai politik tingkat provinsi, kabupaten/ kota, apakah berani meminta jatah yang sudah menjadi haknya. Sehingga ke depan keputusan untuk mengusung calon kepala daerah ada di DPD untuk mengusung kader-kader terbaik di daerah masing-masing.