Salah satu pembahasan dalam dunia tasawuf yang masih menjadi kontoversi dikalangan ulama dan cendekiawan muslim semenjak dulu sampai sekarang adalah mengenai pemahaman wahdatul wujud.
Interpretasi tentang wahdatul wujud telah menimbulkan konflik dan kesenjangan berawal dari kesalahan fahaman mengenai esensi wahdatul wujud itu sendiri. Problema wahdatul wujud tidak terlepas dari dunia tasawuf atau sufi. Terkadang slogan sesat bahkan kufur yang selayaknya tidak perlu terjadi dialamatkan kepada golongan tasawuf atau sufi yang bertitel arifbillah. Hal ini ekses dari pemahaman keliru tentang wahdatul wujud bahkan tidak sedikit yang menyamaratakan ungkapan sesat kepada semua elemen sufi dan tarekat.
Namun ada juga sebagian masyarakat yang dapat memahami dan menghayati faham wahdatul wujud dengan benar sesuai petunjuk dan bimbingan dari ulama sufi dan para arifbillah. Tidak sedikit dengan ilmu dan wawasan yang terbatas sehingga mereka menamakan diri firqah sufi, padahal kaum tasawuf dan sufi mereka terlepas diri dari mereka.
Secara global kaum pengkritisi wahdatul wujud, sejatinya mereka tidak tahu terhadap interpretasi wahdatul wujud yang esensial dalam kaca mata kaum sufi dan tasawuf, yang telah berinteraksi langsung dengan meminta pencerahan dan penjelasan dari mereka terlebih para thalibul ilmi dalam meniti dan mencari kebenaran dan bukan untuk mencari pembenaran.
Tidak sedikit pada mulanya para pengkritik dan pencela golongan tasawuf dan sufi, begitu alergi dan bencinya. Namun apa yangterjadi? dikala mereka bergaul dan bersahabat bahkan berguru, kebencian yang telah tumbuh dan mereka lakoni, tiba-tiba mereka mencintai ajaran sufi bahkan menjadi sosok dan tokoh ulama sufi terkemuka dunia dikemudian hari.
Sebut saja di antara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Sebelum mengenal golongan sufi (tasawuf) ia melarang putranya berinteraksi dengan ahli sufi. Tetapi setelah beliau mengenal dan mempelajari lebih dekat dengan Syekh Abu Hamzah Al-Baghdadi r.a, seorang sufi, beliau berkata kepada anaknya:
“Wahai anakku. Hendaklah kamu duduk bersama-sama dengan kaum tersebut (sufi). Sesungguhnya ilmu mereka, muraqabah mereka, ketakutan mereka kepada Allah Swt, zuhud mereka dan semangat mereka, lebih banyak dari kita.” (Tanwir Al-Qulub M/S: 405).
Hal yang sama dialami oleh pengarang kitab Al-Hikam Imam Ibnu ‘Atha’illah As-Sakandari ra yang merupakan salah seorang ulama Al-Azhar. Beliau, yang pada awalnya menolak kaum sufi, Namun setelah bertemu dengan Syekh Abul Abas Al-Mursi r.a (murid Imam Abul Hasan As As-Syadzali r.a.), beliau akhirnya menjadi orang yang paling banyak berkhidmat dalam menyebarkan ilmu kaum sufi yang benar. (Imam As-Sakandari, Lata’if Al-Minan ).
Tidak sedikit para ulama yang mengalami hal demikian, yang pada awalnya mengingkari para sufi secara umum, akhirnya mendukung kaum sufi, karena menemukan kebenaran yang disampaikan oleh kaum sufi tersebut. Oleh karena itu, jika seseorang tidak memahami istilah-istilah yang digunakan oleh para sufi, maka janganlah cepat latah dan tergesa-gesa menyalahkan dan menghukum sesat suatu perkara. Karena hal ini bisa membawa pada berburuk sangka.
Menghadapi fenomena yang demikian, Imam An-Nawawi telah mewarning dalam untaian perkataannya yang sering dipermasalahkan oleh sebagian pihak terhadap para sufi: “Jika kamu mendengar ucapan-ucapan mereka (yang samar maknanya), maka ta’wilkanlah dia dengan tujuh puluh ta’wilan (untuk baik sangka kepada mereka)” (Syarh Al-Muhadzdzab).
Menghadapi fenomena yang demikian, Imam An-Nawawi telah mewarning dalam untaian perkataannya yang sering dipermasalahkan oleh sebagian pihak terhadap para sufi: “Jika kamu mendengar ucapan-ucapan mereka (yang samar maknanya), maka ta’wilkanlah dia dengan tujuh puluh ta’wilan (untuk baik sangka kepada mereka)” (Syarh Al-Muhadzdzab).
Hal yang senada dilontarkan oleh Salah seorang faqih yang popular dengan nama Imam As-Subki, beliau berkata: “Ada dari kalangan fuqaha yang walaupun secara lahiriyah menjaga syariat, mengamalkan perintah dan meninggalkan laranganNya, namun malangnya, mereka bersikap meremehkan fuqara (kaum sufi) dan ahli tasawwuf dengan menafikan kebaikan pada mereka.
Mereka mencela kaum sufi hanya karena mendengar perkara-perkara yang disebutkan tentang kaum sufi, padahal kabar dari pendengaran berbeda di kalangan manusia. Orang yang meremehkan kaum sufi sebenarnya tidak mengetahui tentang mereka. Wajib bagi kita untuk menyerahkan (tafwidh) keadaan mereka kepada mereka sendiri.
Kita tidak boleh menyalahkan mereka semata-mata ungkapan-ungkapan yang keluar dari mulut para sufi, yang secara lahiriyah menyalahi. Jika boleh menta’wil perkataan mereka, maka lakukanlah. Ta’wilkan dengan ta’wilan yang baik, terutama perkataan mereka yang diakui sebagai kepercayaan. Sesungguhnya, saya (Imam As-Subki r.a.) tidak menjumpai seorang faqih pun yang mengingkari kaum sufi dan mencela mereka, melainkan Allah SWT. membinasakannya…”. (Imam Subki, Ma’id An-Ni’am)
Interpretasi tentang wahdatul wujud melahirkan pemahaman yang beragam baik yang sesuai dengan syariat atau yang kontradiksi, tergantung dari “haisiah” (perspektif) mereka yang menafsirkan sesuai dengan tingkat keilmuan masing-masing. Tidak sedikit pemikir non muslim yang mencoba mengakaji dan menganalisa faham wahdatul wujud sebagai khazanah keilmuan yang pernah heboh dalam literaur sejarah dengan berakhirnya meninggalnya tokoh faham itu sendiri diakhir hayat dengan lintas waktu dan tempat yang berbeda. Di antaranya Syekh Yusuf Al-Halaj di jazirah Arab, Syekh Hamzah Al-Fanshuri dan para muridnya di negeri ‘’Serambi Mekkah”Aceh, Syekh Siti Jenar di pulau Jawa dan lainnya.
Penulis tidak ingin mengkaji lebih lanjut keranah terbunuh para ulama tersebut, siapa yang salah dan harus disalahkan. Para ulama telah “berijtihad” sesuai dengan analisa dan kemampuannya.
Namun penulis mencoba membuka mengkaji sedikit dengan kefaqiran ilmu penulis ke subtansi faham itu sendiri. Sebagian Golongan yang memahami “Wahdatul-wujud” dengan makna: Allah dan makhluk adalah satu (manunggal). yaitu, makhluk bersatu dengan Allah. Mereka memahami Wahdatul-wujud sebagai makna hulul (Allah bergabung dalam makhluk) dan ittihad (Allah dan makhluk adalah menyatu dzat-Nya).
Dengan konsep pemahaman semacam ini sehingga para penentang menyerang pencetus faham ini seperti Al-Hallaj, Ibnu Araby dan para sufi lainnya kedalam kelompok sesat menyesatkan bahkan kafir. Dengan asumsi penganut pantheisme (wahdatul wujud) adalah ajaran yang menyimpang dari syariat.