Jokowi mungkin saja sudah dibahani kisah tragis Usman bin Affan, sehingga sebelum tiba waktu shalat Jumat (4/11), memilih untuk meninjau proyek infrastruktur di bandara, ketimbang menyambut para demontran di istana.
***
Usman bin Affan adalah sosok pemalu. Kata Nabi, “Umatku yang benar-benar pemalu adalah Usman.” Bukan hanya pemalu, Usman juga dikenal sangat cinta damai, pemurah, tak sampai hati, lemah lembut, pemaaf dan juga toleran.
Kekuatan Usman ini, sekaligus pula “kelemahannya” dalam pengelolaan pemerintahan.
Al Maududi menulis, sedikit demi sedikit ia mulai menunjuk sanak kerabatnya untuk menduduki jabatan-jabatan penting dan memberikan kepada mereka keistimewaan lain yang menimbulkan protes-protes dan kritikan-kritikan rakyat secara umum.
Dengan karakter Usman yang seperti itulah akhirnya Usman dibunuh dengan cara ditikam oleh gerombolan pemberontak yang tiba-tiba datang mengepung rumah khalifah Usman pada saat beliau sedang membaca Alquran. Bayangkan, 40 hari terkepung, dengan dua ultimatum, mundur atau dibunuh.
***
Sampai di sini, kisah Usman memang menggerikan. Jika tidak dikisahkan secara utuh, yang mendengarnya pasti terpengaruh.
Andai saya presiden, yang kebetulan memiliki beberapa sifat yang sama, mendengar kisah itu setelah mendapat informasi dari inteligen bahwa demo tidak hanya digelar di daerah tapi juga massa akan mendatangi, dan bisa jadi akan mendekati istana, maka saya pasti akan mencari cara elegan untuk menghindar, untuk tidak mengatakan lari.
***
Tapi, itu bukan kisah yang utuh. Di kisah Usman itu juga ada kisah-kisah protes dari para sahabat.
Abu Dzar al Ghifari adalah salah seorang sahabat yang selalu memberi peringatan atau protes dengan berani. Karena itu wajar jika di masa Orde Baru nama dan kisah Abu Dzar kerap menginspirasi meski sekarang protes sudah kerap disebut tidak ada dalam praktek umat Islam.
Meski banyak sahabat yang ikut melakukan protes atas kebijakan Usman,
yang perlu dicatat, tidak ada dari para sahabat itu yang berniat melakukan kudeta terhadap Khalifah Usman bin Affan.
Padahal, siapa yang tidak mengenal sosok Abu Dzar al Ghifari. Ia berasal dari qabilah Bani Ghifar. Suatu qabilah yang pada masa pra-Islam terkenal amat liar, kasar dan pemberani. Jadi, penakut bukanlah sikapnya, termasuk ketika melihat perilaku pemerintahan Usman.
Dengan pedang terhunus ia berangkat menuju Damsyik. Di tengah jalan ia teringat kepada nasihat Rasul Allah s.a.w: jangan menghunus pedang. Berjuang sajalah dengan lisan! Bisikan suara seperti itu terngiang-ngiang terus di telinganya. Cepat-cepat pedang dikembalikan kesarungnya.
Maka, dengan senjata lisan, Abu Dzar melakukan gerakan protes. Ia menyeru dengan nada yang oleh penguasa dibaca sebagai ancaman. “Aku sungguh heran melihat orang yang di rumahnya tidak mempunyai makanan, tetapi ia tidak mau keluar menghunus pedang!”
Muawiyah, Gubernur Syam, tidak tahan, dan memilih melapor Khalifah tentang hasutan “Sang Provokator” Abu Dzar, yang ujungnya lahir tindakan mengasingkan Abu Dzar ke Rabadzah.
Baik Abu Dzar, Ammar bin Yasir, dan Abdullah bin Mas’ud bukanlah muslim sembarangan. Protes mereka hanya ingin meluruskan pemerintahan yang ada agar kembali berorientasi kepada umat.
Dengan kata lain, berbagai cara, bentuk protes yang di lakukan sahabat-sahabat Rasulullah terhadap khalifah, namun tidak ada yang melakukan perlawanan apalagi ingin merusak sistem kekhalifahan, atau kudeta.
***
Dan Usman pasti tahu konsekuensi dari pengepungan atas dirinya. Sebagai khalifah yang didukung oleh orang-orang yang memiliki pertalian saudara, Usman juga pasti tahu adanya gerakan liar dibawah komando Abdullah bin Saba.
Sebagai hartawan, tidak mungkin Usman tidak bisa membentengi dirinya dengan pasukan terlatih untuk menakuti musuh. Tapi, Usman sadar bahwa jika ia melakukan perlawanan balik, maka akan banyak darah yang tumpah dari kalangan umat, termasuk juga beberapa sahabat. Maka, tidak ada perlawanan balik, tidak ada pedang terhunus, dan akhirnya ia syahid, tertikam pedang di saat ia sedang membaca al quran.
***
Andai saya pemberi nasehat, saya akan menganjurkan kepada Jokowi untuk tetap di istana, sebab yang datang pada siang hari bukan massa liar yang dikomandoi orang semacam Abdullah bin Saba’ melainkan massa terpimpin yang tertib, menjaga taman, memungut sampah, dan dipimpin oleh ulama yang walau menyatakan kemarahannya tapi tidak memiliki hajatan untuk melakukan kudeta.
Jokowi memang pulang ke istana, tapi mengapa ia pulang pada malam hari? Apakah penasehatnya memberi informasi bahwa yang datang usai jumat itu adalah massa liar yang dipimpin sosok-sosok bagai Abdullah bin Saba’ atau ia memang sengaja pulang pada malam hari usai massa liar yang dipimpin aktor politik seperti Abdullah bin Saba’ gagal mengkudetanya usai jam demo lewat, sehingga dini hari ia berhasil memberi senyum kepada sang aktor politik?