ACEHTREND. CO, Semarang – 6 November 2016 : Sejumlah mahasiswa Aceh yang tergabung dalam organisasi Ikatan Pelajar Aceh-Semarang (IPAS) Meminta Majelis Hakim Memberi Putusan Yang Adil dalam gugatan Warga Negara terhadap Menteri Dalam Negeri, Pemerintah Aceh, dan DPR Aceh, terkait tidak masuknya nomenklatur Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dalam Qanun Aceh Nomor 19 Tahun 2013 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh.
Saat ini, tata ruang yang baru belum mampu mengatur ruang dengan jelas. Akibatnya berbagai praktek illegal kerap terjadi di Kawasan Ekosistem Leuser, ditambah dengan meningkatnya intansitas banjir setiap tahunnya.
Pengesahan qanun dianggap hanya mengejar target, sebagaimana Koordinator lapangan Shaivannur menegaskan “Pengesahan qanun RTRW pada akhir 2013 hanya mengejar target. Tak partisipatif, dan tidak mampu mengatur ruang dengan jelas. Tata ruang tersebut tidak menguntungkan masyarakat Aceh hanya saja keuntungan jelas bagi kapitalis besar yang nantinya memanfaatkan hutan sebagai lahan investasi,” ujarnya
Shaivan melanjutkan “padahal dalam pasal 150 UU No.11/2006, secara tegas telah disebutkan, baik Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten di Aceh dilarang mengeluarkan izin di KEL. Tapi hingga saat ini ada 93 perusahaan di wilayah KEL yang menguasai 351,000 hektar lahan. Di sini terlihat jelas bahwa, pengelolaan kawasan hutan di Aceh tidak menguntungkan masyarakat hanya saja keuntungan murni dirasakan oleh kapitalis. Rakyat dirugikan melalui perusakan hutan secara ektrektif, sehingga mereka harus menghadapi bencana setiap tahunya”.
Dalam aksi tersebut, terlihat setiap mahasiswa memegang tulisan “#saveLeuse. Mereka meminta Kawasan Ekosistem Leuser secepatnya dimasukkan ke dalam RTRW, agar kawasan tersebut tetap lestari dan dilindungi.
Pada kesempatan lainnya, Nurul Ikhsan selaku Koordinator Kuasa Hukum GeRAM menyatakan bahwa “Gugatan perbuatan melawan hukum diajukan terhadap Mendagri, Gubernur Aceh dan DPR Aceh sebagai penyelenggara negara yang dengan sengaja melanggar UU dan lalai menjalankan tugasnya dan akibat perbuatannya itu merugikan kepentingan para penggugat”.
Lebih lanjut dikatakannya “Mendagri dianggap lalai mengawasi Pemerintah Aceh dalam penetapan Qanuan RTWA Aceh. Seharusnya Mendagri membatalkan Qanun RTRW Aceh karena ditetapkan mengabaikan kawasan strategis nasional KEL, dengan demikian Mendagri terkesan melakukan pembiaran. Padahal Mendagri memiliki fungsi pengawasan terhadap pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Nurul Ikhsan menambahkan “Sementara itu, Gubernur Aceh dan Ketua DPR Aceh digugat karena mengesahkan Qanun Aceh Nomor 19 Tahun 2013 tentang RTRW Aceh dengan tidak memasukan beberapa substansi penting yang diamanahkan dalam RTRW Nasional, seperti Kawasan Strategis Nasional Ekosistem Leuser.”
Lebih dari 69,000 orang dari Aceh, Indonesia dan seluruh dunia menandatangani petisi yang dibuat untuk mendukung gerakan ini melalui change.org/lindungileuser. “Keputusan akhir gugatan yang dikeluarkan akan menjadi sebuah momen besar, dan kami sangat berterima kasih kepada temanteman yang telah mendukung dan membantu menyebarkan berita gugatan ini ke seluruh Indonesia dan dunia,” ujar Farwiza.
KEL merupakan cagar biosfer dan ASEAN Heritage Park yang merupakan habitat bersama bagi gajah Sumatera, badak sumatera, harimau sumatera, dan orang utan sumatera yang merupakan empat spesies kunci Sumatera. Apabila kawasan tersebut tidak dimasukkan ke RTRW dan hutan terus dijarah maka habitat langka tersebut akan terancam.***