Aditya, anak muda manager Chekdun Coffee–sebuah warkop bertema modern di jantung Kota Bireuen– datang membawa dua cangkir wine coffee. Sejenak saya menghidu aromanya. “Seperti bau wine, tapi ini halal diminum,” ujar seorang rekan sembari menyeruput kopi hasil fermentasi itu.
Rasa kopi ini memang beda. Lebih cocok untuk high class. Apalagi harganya untuk kategori biasa mencapai Rp.700.000,00 per kilogram. Semenit setelah wine coffee berpindah ke lambung, tubuh saya langsung dibekap hangat. Memang cocok dikonsumsi pada bulan basah seperti September ini. Mungkin, kalau diterjemahkan dalam bahasa di bulan basah — musim hujan– kopi ini mengundang gairah menggelora serupa diorama hati sepasang remaja yang sedang dibekap asmara.
Sejak siang hujan membekap Bireuen. Tadi pagi Kota ini mencekam. Senin pagi (7/11/2016) sebuah benda mirip bom diletakkan di depan pintu Gereja Methodist Indonesi (GMI) Bireuen. Ketakutan menyeruak di wajah-wajah yang bersinggungan dengan rumah ibadah. Walau kemudian terbukti bahwa benda itu hanya batu yang dililit kawat, namun ketakutan sudah tersebar. Sehari sebelumnya, Minggu (6/11/2016) benda mirip bom juga ditemukan di Vihara Pusong,Kota Lhokseumawe.
Ahok efek! Saya menangkap pesan demikian. Aceh, dalam sejarahnya tidak pernah punya masalah dengan entitas di luar Islam. Sekencang apapun konflik, orang Aceh tetap bisa memilah antara politik dan agama. Namun usaha untuk memancing agar orang Aceh terprovokasi terus menerus dilakukan. Namun tak pernah berhasil.
Mungkin sentimen anti Ahok yang cukup terasa di Aceh hendak diupayakan tetap menghangat di jiwa rakyat. Ada upaya cipta kondisi agar lahir penyeragaman bahwa Cina dan kristen di Aceh juga bagian dari Ahok.
Saya menduga, masih akan ada serangkaian aksi serupa di daerah lain di Aceh. Bisa jadi batu bata akan tetap digunakan sebagai bahan sementara. Intelijen tentu tidak boleh lengah. Mereka harus bekerja keras untuk menemukan pelakunya, sebelum bom yang sebenarnya diledakkan di suatu tempat di Aceh.
Penciptaan kondisi untuk tetap kalut, dengan cara menyangkut pautkan dengan peristiwa besar selalu dilakukan. Walau sampai kini belum terlihat apa yang menjadi tujuan akhir, namun sepanjang konflik selalu diredistribusi, maka akan tetap ada yang kehilangan kesempatan untuk hidup. Bagi pencipta konflik (kontraktor konflik) darah, perang, darurat militer, kebencian antar etnis dan antar iman, adalah jalan untuk merengguk keuntungan finansial. Tidak ada kasih sayang, karena kelembutan hati hanya akan melahirkan kebangkrutan.
Kita harus belajar banyak hal dari Arab Spring –secara harfiah bermakna Pemberontakan Arab– adalah gelombang revolusi unjuk rasa dan protes yang terjadi di dunia Arab. Sejak 18 Desember 2010, telah terjadi revolusi di Tunisia dan Mesir; perang saudara di Libya;pemberontakan sipil di Bahrain,[5] Suriah, and Yaman;protes besar di Aljazair, Irak, Yordania,Maroko,dan Oman, dan protes kecil di Kuwait, Lebanon,Mauritania,Arab Saudi, Sudan dan Sahara Barat. Kerusuhan di perbatasan Israel bulan Mei 2011 juga terinspirasi oleh kebangkitan dunia Arab ini.
Protes ini menggunakan teknik pemberontakan sipil dalam kampanye yang melibatkan serangan, demonstrasi, pawai, dan pemanfaatan media sosial, seperti Facebook, Twitter, YouTube, dan Skype, untuk mengorganisir, berkomunikasi, dan meningkatkan kesadaran terhadap usaha-usaha penekanan dan penyensoran Internet oleh pemerintah.
Banyak unjuk rasa ditanggapi keras oleh pihak berwajib, serta milisi dan pengunjuk rasa pro-pemerintah Slogan pengunjuk rasa di dunia Arab yaitu Ash-sha`b yurid isqat an-nizam (“Rakyat ingin menumbangkan rezim ini”). (Sumber Wikipedia).
Pertanyaannya adalah, setelah Arab Spring itu sukses menumbangkan berbagai rezim, apa hasil yang didapatkan? Perang tak kunjung reda. Korban terus berjatuhan. Negara-negara itu hancur. Pemerintah boneka lahir di bawah bayangan negara asing. Negara-negara itupun kalut. Mereka kalah, setelah sebelumnya tersulut amarah.
Kita harus mewaspadai ini. Karena usaha provokasi terus dilakukan. Bentuk teror bom dengan menggunakan batu bata, dalam hemat saya adalah bagian dari pengkondisian agar lahirnya suatu kondisi meningkatnya pergesekan antar etnis, antar iman yang kemudian (diharapkan berujung) pada konflik berdarah. Poso, Papua, NTT dan tempat-tempat lainnya di Indonesia telah pernah melaluinya. Mari tanya kepada mereka, setelah terprovokasi dan bertarung dengan sesama, hari ini apa yang mereka rasakan? Mereka tak pernah bisa pulih. Karena konflik hanya akan menumbuhkembangkan dendam.
Sedangkan aktor yang bermain? Mereka dengan pongahnya menikmati hasil kerjanya. Mereka tak pernah peduli dengan kesakitan yang dirasakan oleh mereka yang saling tikam.
***
Wine Coffee selalu bisa melahirkan kehangatan. Seperti malam ini, di tengah rasa was-was akan dimana lagi teror akan berlanjut, kopi fermentasi itu telah pun menemani dengan rasanya yang khas. Kopi, ah! Oh! Sungguh layak dinikmati untuk menentramkan jiwa. Ia hangat namun tak beringas. Ia beraroma namun tak melahirkan kegilaan. []