8 November 1999, Sulaiman, seorang karyawan perusahaan bonafit di Batam, tidak masuk kerja. Sejak sehari sebelumnya ia terus-menerus diserang gundah. Maklum saja, ia sedang mengatur planning untuk memindahkan keluarganya ke luar Aceh.
Ketika televisi mulai menyiarkan kegiatan referendum Aceh yang digelar di depan Mesjid Baiturahman yang dihadiri paling kurang 500.000 orang, Sulaiman semakin gundah.
“Kala itu saya berpikir, hidup di negara yang baru merdeka tentu tidak mudah. Akan banyak revolusi kecil terjadi di inter Aceh. Kondisi melarat ekonomi pun akan sangat terasa. Maka saya punya inisiatif hendak memindahkan keluarga,” ujar Sulaiman kepada aceHTrend, Selasa (8/11/2016).
Namun, apa yang dirisaukan Sulaiman tidak pernah terjadi. Isu referendum pun tenggelam seiring berjalannya waktu. Peristiwa besar itu pun tidak pernah lagi dikenang. Bahkan aktornya pun mulai dilupakan.
Menurut beberapa sumber, referendum Aceh itu merupakan moment paling tepat untuk memproklamirkan kemerdekaan Aceh. Banyak pihak terlibat secara langsung. Kala itu aparat keamanan pun seolah kehilangan kendali untuk meredam massa. Namun tidak sepakatnya antara GAM luar negeri dan dalam negeri dengan para penggiat sosial politik yang terdiri dari akademisi dan aktivis Aceh menjadi penghalang. Hingga akhirnya peluang untuk merdeka pun tertutup rapat.
“GAM luar negeri tidak merestui,” kata seorang sumber beberapa waktu lalu.
“Mereka tidak mau tahu dengan darah dan air mata rakyat Aceh. Padahal, andaikan mereka mengangguk, kala itu kita bisa memproklamirkan kemerdekaan Aceh. Momennya pas dan tidak bisa diulang,” imbuh seorang aktivis Aceh yang kala itu ikut merumuskan kegiatan besar tersebut.
Benarkan GAM di luar tidak mendukung? Kita pantas menunggu jawaban mereka. []
Foto: Ist.