Bulan Oktober biasanya adalah bulan menghadapi musim dingin. Angin sudah mulai menusuk tulang. Jaket tebal bermerek namun berharga murah mulai dipakai mahasiswa menggantikan kaos Tshirt yang biasa digunakan di musim panas. Kenapa murah? Karena di mulut terusan Suez, ada sebuah kota bernama Port Said, di dalam bahasa Arab yang tidak mengenal huruf P, kota itu disebut Bur Said. Ya, kota Port Said adalah kota bebas cukai. Barang-barang bermerek dijual dengan harga miring. Apalagi yang bekas, harganya sangat murah.
Mahasiswa-mahasiswi biasa berbelanja ke sana untuk keperluan musim dingin.
Ketika ke Port Said, mahasiswa biasanya menggunakan Peugeot, taksi sedan bermerek sama, ramai-ramai, memakai baju tipis dan celana tipis, tanpa sepatu. Pakai sandal biasa. Nah ketika pulang, di perbatasan kota, ada Jumruk, pemeriksaan bea cukai. Tidak perlu membayar cukai, sebab sepatu yang baru dibeli langsung dipakai, beberapa sweater dipakai di dalam, ditimpa lagi dengan dua atau tiga jaket, demikian juga dengan celana, bisa berlapis tiga.
Petugas Jumruk biasa hanya tertawa melihat tingkah mahasiswa berhemat dengan cara begitu. Apalagi saat itu krisis ekonomi di negeri-negeri Asia Tenggara.
**”
November biasa dingin sudah mulai meningkat, tidak ramai yang jalan-jalan atau berpesiar. Ramai mahasiswa yang cuma ke kuliah, kemudian pulang dan tidur-tiduran di rumah. Sebagian mengikuti pengajian. Olahraga sudah jarang. Kalau masih di Agustus dan awal September, mahasiswa bermain bola. Kalau tidak cukup lapangan, sebagian malah menggunakan jalan raya.
Demikian juga mahasiswa Aceh yang tergabung di dalam KMA, Keluarga Mahasiswa Aceh di Cairo, Mesir. Di musim dingin, di sela-sela kuliah dan pengajian, sebagian besar berkumpul di rumah beberapa kawan yang memiliki komputer dan akses internet. Kondisi Aceh saat itu sangat panas dilanda konflik, sehingga sebagian besar mahasiswa merasa sangat dekat secara batin dengan Aceh.
Berita-berita yang diterima dari internet, diperbanyak dengan dicopy ke dalam disk, dibawa ke rumah untuk dibaca di komputer masing-masing. Sebagian berita diprint, kemudian di-share ke rumah-rumah mahasiswa dari daerah lain.
Kedekatan mahasiswa dengan Aceh melalui dunia maya ini menimbulkan solidaritas tinggi atas apa yang terjadi di Aceh.
Saat itu sekitar tahun 1997 mau memasuki tahun 1998. Berbagai tulisan yang mengungkap pelanggaran HAM di Indonesia, khususnya Papua dan Timor Leste serta Aceh dimuat di beberapa situs internet dan media blog. Di Indopubs, web Uni Stuttgart, dan lainnya. Diskusi di berbagai yahoo group mulai menguat arahnya untuk menurunkan pemerintah yang dianggap zalim dan menindas rakyatnya. Berita-berita ini memupuk semangat perjuangan semua mahasiswa.
Di saat itu, banyak mahasiswa yang berasal dari jantung daerah konflik di Aceh, dari mereka kami menerima berita-berita tentang kondisi keluarga dan kekerasan yang dialami. Data-data awal itu kemudian ditambah lagi dengan hasil-hasil pantauan kawan-kawan mahasiswa dan aktifis Aceh yang kuliah di berbagai universitas, sehingga menjadi alat dan senjata yang digunakan untuk mengenalkan Aceh di luar sana.
Setelah pencabutan DOM pada awal Agustus 1998, Aceh menggelora. Kekuatan perjuangan dari berbagai kalangan meningkat. Kesadaran untuk menyingkap berbagai kekejaman menghilangkan rasa takut. Masyarakat sipil yang dimotori mahasiswa dan ulama bersemi dan tumbuh mengalahkan kekuatan militer tentara.
Kami yang jauh di sana mengikuti berbagai kondisi di kampung, mengikuti detik-detik rapat atau pertemuan seolah-olah kami hadir di Aceh. Ketika semua sepakat untuk berjuang melalui referendum pun, kami di sana mendukung dengan berbagai cara sesuai dengan keadaan kami.
Saat itu, bulan November, melalui email, kami dikirimkan langkah-langkah aksi yang akan dilakukan di Aceh. Salah satu hal yang besar, adalah di Aceh disepakati didirikan SIRA, sebagai sebuah pusat informasi untuk menggelorakan semangat referendum. Presidiumnya terdiri dari berbagai unsur dan elemen. Ketuanya dari IAIN Arraniri, bernama Muhammad Nazar.
Anak muda ini langsung membina hubungan dengan berbagai elemen di Aceh, Nusantara dan luar negeri.
Kami waktu itu tidak menunggu dihubungi, tapi menawarkan diri untuk mendukung apa yang diperjuangkan masyarakat. Kami membentuk panitia kecil untuk merespon perkembangan cepat yang terjadi di Aceh. Dengan bangga kami mendukung SIRA dan membentuk SIRA Konsul atau perwakilan Cairo, Mesir. Selain kami sasar mahasiswa Nusantara untuk mendukung penghentian kekerasan di Aceh, kami juga mendatangi berbagai media, berdiskusi dengan banyak pihak, juga membangun solidaritas mahasiswa berbagai negara untuk solusi damai ini.
Saat sidang raya masyarakat mendukung referendum di depan mesjid raya tanggal 8 November, kami membuat surat dukungan dan dibacakan di depan orang ramai.
Sesama diaspora Aceh di dalam dan di luar negeri, Australia, Malaysia, Swedia, Jerman, Amerika Serikat, Belanda dan juga Philiphina, selalu terbangun komunikasi berdiskusi masalah referendum itu. Jakarta, Bandung, Semarang dan kota-kota lainnya menjadi kota perjuangan, sebab mahasiswa Aceh di sana menjadi pendukung perjuangan saudara-saudara di kampung.
Indah masa itu. Aceh milik bersama, semua orang di dalam dan luar negeri merasakan ghirrah yang sama untuk menegakkan keadilan bagi Aceh.
Demikian lah, saat ini zaman sudah berubah. Tujuan tidak jauh berbeda yaitu menyenangkan masyarakat dan menegakkan hak mereka. Di depan kita ada pilkada.
Seluruh rakyat yang ada, turut merasakan pahitnya derita konflik. Bahkan rakyat banyak yang paling jera sebab karena tidak bisa membela diri. Semua pejuang berhutang kepada rakyat banyak. Hendaknya kita balas hutang itu dengan memikirkan kebaikan kepada mereka, tidak mengancam untuk kita paksakan kehendak. Pilkada dengan cara yang halal, salah satu cara mengobati hati, membayar hutang kepada orang ramai.
Pilkada ke depan biar menjadi kenduri bersama untuk memilih pemimpin yang disukai dan diyakini akan memberikan kebaikan kepada semua orang.
Pilkada halal, akan menghasilkan pemimpin yang berkualitas.[]