Sebagai salah satu destinasi wisata di Aceh, yang sudah dikenal sampai ke mancanegara, Sabang memiliki segalanya. Pemandangan lautnya eksotis, masyarakatnya pun ramah. Sepanjang perjalanan kami, tidak ada tatapan curiga.
Rabu (17/11/2016) sekitar pukul 13.30 WIB, kapal lambat yang kami tumpangi, berlabuh di pelabuhan Balohan, Kota Madya Sabang. Setelah antri sekian waktu, kami pun turun dan menginjak bumi Pulau Weh yang dikenal memiliki pemandangan yang luar biasa eksotis. Lautnya yang biru, terumbu karang serta sejarah dan kuliner.
Kami–saya dan istri– segera menuju penginapan yang terletak di Pantai Kasih. Kami sempat tersesat dan berkeliling di jalan yang sama. Karena ragu, istri pun turun dan menanyakan alamat. Seorang warga pun menjelaskan letak tempat yang kami tuju.
“Kalau untuk view saya merekomendasikan objek ….,” katanya sembari menyebut beberapa tempat. Mendapat penjelasan dari “guide” dadakan, tentu suatu keberuntungan.
“Makasih, Bang. Kami sudah pesan tempat di dekat kota. Biar bisa keliling Kota Sabang,” jawab istri saya sembari berterima kasih.
“Oh gitu. Ya, silahkan saja. Selamat berlibur ya,” timpal lelaki itu sembari tersenyum.
Kami melanjutkan perjalanan. Lima menit kemudian kami pun tiba di penginapan. Tidak menunggu lama, usai makan siang, kami langsung bergerak ke Tugu Nol Kilometer. Dari kota jaraknya sekutar 30 kilometer. Ketika tiba pada persimpangan dua arah, kami kembali ragu. Tak ada papan penunjuk arah.
Istri saya pun turun dan memberi salam kepada seorang lelaki yang berusia kira-kira 50 tahun. Lelaki berkacamata yang sedang membelah pinang itu, menjawab salam.
“Arahnya, jalur menurun ini. Jalan utama hanya satu hingga tiba ke Tempat Tugu Nol Kilometer,” ujarnya dengan wajah bersahabat. Ia sempat mengacungi dua jempol memuji kesantunan istri saya saat bertanya. “Anak ini punya sopan santun yang bagus. Saya yakin, Anak ini berpendidikan,” ucapnya. Ketika ia bilang itu, saya curi pandang wajah istri saya. Hahai, ia tersipu malu.
Tak perlu saya bercerita banyak, kemana saja kami bertamasya. Karena Anda semua sudah tahu Sabang seperti apa. Pulau eksotis itu cukup akrab dengan banyak orang.
Pada perjalanan kali ini, ada dua hal yang saya catat. Pertama soal keramahan. Kedua, tidak ada tatapan curiga. Nyaris semua orang yang saya temui, memiliki aura bersahabat. Baik itu warga biasa, maupun “petugas” parkir dan petugas tiket masuk. Tukang parkir di Sabang, tidak mengambil di luar tarif. Di Jalan Perdagangan, misalnya, mereka tetap mengambil Rp 1000. Tidak aji mumpung, apalagi pura-pura lupa memberikan kembalian. Padahal mereka tahu bahwa kami pendatang.
Demikian juga dengan petugas parkir di objek wisata. Mereka dengan kesantunan yang layak dipuji, memberikan karcis parkir. Wajah mereka berhias senyum dan lemah lembut kalimatnya.
“Nyaman kali kita di sini. Tidak ada wajah “militer” yang menatap penuh curiga kepada kita,” kata istri saya. Saya hanya mengangguk.
Di penginapan juga demikian. Mereka punya kesantunan yang luar biasa ketika meminta KTP kami. “Kami pasangan suami istri, tapi tidak bawa buku nikah. Sila cek saja status kami di web disdukcapil,” kata saya sembari terkekeh.
“Saya percaya bahwa Bapak dan Ibu adalah pasangan suami istri. Dari wajah saja sudah mirip. Tapi karena ini sudah menjadi aturan, maka saya pun harus melaksanakannya,” jawab room boy yang merangkap resepsionist. Wajahnya bersahabat. Usianya masih muda. Setelah melihat KTP kami, ia mengembalikan.
“Maaf Pak, bila tadi kurang berkenan. Saya hanya menjalankan aturan,” katanya dengan senyum renyah. “No problem. Bawa enjoy aja,” jawab istri saya. []