ACEHTREND.CO, Jakarta- Konflik bersenjata yang sedang terjadi di negara tetangga Myanmar baru-baru ini sudah memasuki tahapan yang sangat ekstrim. Sehingga korban yang ditimbulkan bukan hanya materi namun juga nyawa, hal ini tidak sejalan dengan nilai kemanusiaan yang oleh masyarakat internasional menekankan perlindungan.
Koordinator The Aceh Human, Afrizal, dalam rilisnya, Rabu (23/11/2016) mengatakan hakikat Hak Asasi Manusia (HAM) terletak pada penghargaan nilai kemanusiaan, sebagaimana yang terkandung dalam komentar umum Nomor 15 dari Komite PBB tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya bahwa negara memiliki kewajiban menghargai (to respect), kewajiban melindungi (to protect), dan kewajiban memenuhi (to fulfil).
“Dalam konteks HAM, perlindungan manusia baik dalam kondisi perang/konflik maupun kondisi normal harus diutamakan, dengan tanpa mengenal warna kulit, agama, suku dan lain sebagainya,” jelas Afrizal.
Menurut hemat Afrixal, kasus yang terjadi di Myanmar merupakan pelanggaran HAM yang oleh negara manapun di dunia harus berupaya dengan berbagai cara untuk menghentikannya, hal ini dikarenakan telah menimbulkan pembunuhan atau penyiksaan lainnya dan menhakibatkan korban di kalangan sipil (dalam hal ini anak-anak dan perempuan).
Kemudian, bagaimana dengan posisi Indonesia yang telah merativikasi berbagai konvenan internasional (misalnya tentang Hak Sipil Politik / International Convention on Civil and Political Rights [ICCPR]), kami menilai.
Menurutnya, Indonesia harus berlaku tegas dalam melakukan upaya perlindungan HAM di Myanmar, walaupun bukan teritorialnya Indonesia, namun upaya ekstrem perlu dilakukan, misalnya pemutusan hubungan diplomatik negara, menarik konsulat Indonesia yang berada di Myanmar sebagai bentuk protes.
“Indonesia jangan hanya mengaku prihatin, namun langkah politik harus diupayakan dengan segala ketegasan. Mungkin Indonesia keberatan untuk membantu korban di Myanmar dengan alasan Islam, nah dengan alasan kemanusian. Kenapa tidak?” Katanya.
Cara lain adalah membuka pintu teritorial laut, yang tujuannya adalah untuk ruang gerak pengungsi supaya bisa mendapatkan perlindungan walaupun bersifat sementara.
Dalam hal ini The Aceh Human menilai, kekerasan yang terjadi di negara tetangga tersebut, sudah melampaui akal sehat manusia beradap. Tidak ada alasan untuk melakukan pembunuhan secara sadis, penyiksaan, pembantaian etnis dan lain sebagainya.
Hal ini bisa dipelajari dalam International Convention on Civil and Political Rights (ICCPR), antara lain menerangkan tentang betapa pentingnya Hak untuk hidup, Pelarangan penyiksaan, Pelarangan perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan, Pelarangan perbudakan, Kedudukan yang sama dalam hukum, Kebebasan berpikir dan beragama, Kebebasan berkumpul, Kebebasan berekspresi.
“Terlepas dari berbagai latar belakang politik, sosial, budaya, agama dan ekonomi negara tersebut (dalam hal ini Myanmar), namun kami menilai perlindungan manusia harus diutamakan dengan berbagai konsekwensi,” imbuhnya.