Beberapa hari yang lalu, seorang kawan lama menanyakan di mana kuburan Tengku Chik Pante Kulu. Tokoh besar dalam sejarah Aceh itu jarang diketahui di mana makamnya. Beliau adalah pengarang karya dahsyat, Hikayat Prang Sabi, yang mampu menumbuhkan jiwa jihad melawan penjajah Belanda pada rakyat Aceh di masa itu.
Saya sampaikan, kuburan beliau di Lam Leu’ot, di jalan menuju waduk Keuliling, di kecamatan Kuta Cot Glie, Aceh Besar.
Kawan tersebut langsung mengatur jadwal untuk ziarah, sekaligus meminta saya untuk sedikit memberikan informasi kepada masyarakat, siapa sebenarnya sosok ulama besar tersebut.
Saya kemudian menyanggupi, bukan karena ahli, atau saya paling paham sejarah Tengku Chik, hanya sering membaca berbagai buku dan mendengar cerita saja.
Kemudian saya langsung menghubungi Cek Midi dan Tengku Herman Hamburg untuk berdiskusi dan menanyakan informasi yang mungkin ada pada beliau yang tidak saya ketahui. Banyak ilmu baru yang saya dapatkan.
Kemudian kami ke Lam Leu’ot, sempat salah belok ke arah sungai, setelah bertanya, ternyata simpang Lam Leu’ot masih beberapa ratus meter lagi di depan.
Setelah membelok ke jalan kampung sekitar 300 meter, di tepi persawahan yang sudah mulai dibajak untuk ditanam kembali, terlihat komplek makam. Ada jalan kecil menurun menuju makam, di sebelah kiri jalan ada balai dengan kulah air. Di ujung jalan itulah komplek makam. Kami dorong pintu, kami masuk ke dalam. Terlihat pohon-pohon besar di dalam komplek makam, dan deretan batu-batu nisan dari batu sungai. Batu-batu sederhana, itulah makam para syuhada’ perang Aceh. Rumput liar banyak bertumbuhan. Di dekat pohon, ada tembok setinggi satu meter, seperti dinding benteng. Tidak terlalu panjang.
Di depan tembok di tengah kuburan yang lain, terlihat tiga kubur yang dikeliling pagar kawat salah satunya dibuat dari keramik sederhana, tertulis tangan dengan huruf Arab di tembok bagian kepala: Tengku Chik Pante Kulu.
**
Tengku Chik Muhammad Pante Kulu, lahir di Pante Kulu, Titeu Keumala, Pidie tahun 1836.
Beliau seumur dengan Tengku Chik di Tiro Muhammad Saman, dan sama-sama belajar di dayah Tiro, pimpinan Tengku Chik Muhammad Amin Dayah Cut.
Setelah menamatkan pendidikan dayah, Tengku Chik melanjutkan belajar ke Mekkah. Memperdalam ilmu agama dan menjalin hubungan dengan ummat dari seluruh dunia. Di sana beliau bergaul dengan tokoh-tokoh perjuangan dari berbagai bangsa.
Selain belajar memperdalam ilmu agama, Tengku Chik gemar membaca syair para penyair di masa nabi, seperti Hasan bin Tsabit dan Ka’ab bin Malik. Selain itu sangat suka membaca sejarah para pahlawan dalam sejarah islam, dan kisah-kisah penaklukan islam. Menekuni ilmu sampai mendapat gelar Syekh di sana.
Saat di Mekkah, di Aceh pecah perang dengan Belanda. Tengku Chik berazam pulang ke Aceh ikut berperang bersama para ulama. Saat itu, perang di Aceh dipimpin oleh sahabat Tengku Chik, Tengku Chik di Tiro Muhammad Saman.
Menurut cerita, dalam perjalanan pulang dengan kapal laut dari Jeddah ke Penang, Tengku Chik mengarang sebuah hikayat yang sangat dahsyat, hikayat Prang Sabi.
Sesampai di Aceh, turut berperang dengan pejuang Aceh di Kuta Aneuk Galong dan kawasan sekitarnya. Tengku Chik Pante Kulu syahid di daerah Lam Leu’ot, Aceh Besar.
Hikayat Prang Sabi
Beliau hidup dalam sunyi. Selain sunyi dari kajian-kajian tentang karya-karya beliau, masyarakat pun banyak tidak tahu tentang sejarah hidup Tengku Chik, jiwa dan semangatnya. Termasuk makamnya yang kurang dirawat.
Hikayat Perang Sabi karya Tengku Chik adalah cara terakhir memberikan pesan aqidah yang dalam kepada masyarakat yang saat itu kurang jiwa perjuangan. Hikayat Prang Sabi membuat masyarakat yang apatis menjadi berkobar semangatnya sehingga tergerak untuk berperang habis-habisan melawan musuh.
Sebagai ahli strategi perang, Tengku Chik sengaja mengarang Hikayat Prang Sabi dalam bahasa Aceh, padahal saat itu ulama-ulama Aceh mengarang kitab dalam bahasa Melayu, sebagai bahasa populer dan bahasa diplomasi.
Hal ini menjadi kejutan bagi Belanda, sehingga mereka frustasi dan tidak mampu memadamkan api semangat yang berkobar. Kaphe Belanda pada Agresi itu tidak mempelajari bahasa Aceh asli, karena berdasarkan nasehat Snock Hurgronje, orang Aceh hanya ada bahasa Arab dan Melayu
Ternyata hikayat, syair dan nazam yang dikarang oleh ulama dan sastrawan tentang perang Aceh, memegang peranan yang sangat penting dalam menghadapi besarnya mobilitas mesin perang Kaphe Belanda saat itu.
Yang lebih menarik lagi, hikayat Prang Sabi bukan hanya pesan perjuangan melawan ‘kaphe budok’ Belanda, tetapi di dalamnya terdapat pesan aqidah, ibadah, dan pendidikan.
Saat perlawanan merebak, banyak pejabat Belanda dibunuh dalam berbagai kesempatan, sehingga Belanda kehabisan akal dan timbul istilah Atjèh-moord atau Aceh pungo.
Tidak mampu menghadapi gelombang perlawanan, kaphe Belanda menjadi hilang akal. Seluruh kitab yang ditemukan dibakar atau disita dibawa ke Belanda oleh marsose yang selamat. Kaphe Belanda hendak memutuskan hubungan antara rakyat Aceh dengan ulama-ulama dan pemimpin, dengan cara membumihanguskan semua karya mereka.
**
Beberapa tahun yang lalu sekitar tahun 2012, sempat diberitakan bahwa Tropenmuseum di Belanda yang banyak menyimpan manuskrip dan kitab-kitab dari Aceh, ditutup karena kekurangan dana dan untuk efisiensi.
Sebagian barang yang disimpan museum dilelang dan sebagiannya dikembalikan ke negara asal. Pemerintah Aceh harus proaktif untuk mempertanyakan masalah ini, baik melalui kedutaan Indonesia di sana atau kementerian Luar Negeri, sehingga aset endatu kita Aceh bisa diselamatkan dan jatuh ke tangan yang berhak.
Demikian juga kepada kita semua, harus mempelajari pemikiran dan karya-karya hebat ulama kita dahulu, merawat kuburan dan peninggalan mereka. Itu semua adalah jembatan yang akan mengikat masa lalu dengan masa kini, sehingga kita mengenal identitas kita, dan tidak menjadi bangsa yang merasa lebih rendah dari orang lain.
Kita lihat semua negara maju, merawat makam, sejarah, peninggalan dan warisan dari pemimpin, raja-raja, tokoh-tokoh dan orang-orang besar dan semua pahlawan, diajarkan tentang sejarah kebesaran mereka kepada generasi muda, sehingga timbul semangat yang tinggi untuk bisa mengikuti bahkan melampaui para pendahulu mereka.
(Dari berbagai sumber)